Sering Nongkrong di Berandamu
saat kubuka media sosial
kulihat akunmu sedang lengang
bersantai di beranda fesbuk
asyik membaca komentar haters
yang tampak begitu ngeri
setelah kubaca-baca
mereka memang cukup terlatih
seperti juga di instagram dan twiter
mereka lincah mengumbar amarah
rupanya benar persangkaanku
mereka memang begitu autodidak
meramu diksi-diksi penuh emosi
menebar benci lewat caci dan maki
apa peduliku? aku memang bukan siapa-siapa
hanya follower yang duduk di berandamu
sambil ngopi di senja-senjaku
membubuhkan like kecil di status-statusmu
setidaknya
itu jadi bukti
di berandamu yang ramai
ada aku yang sunyi.
7/3/2021
Jari yang Pandai Berkata Kasar
jari-jari itu menari
meletakkan kata demi kata
tanpa tedeng aling-aling
berkata sekenanya
di mana jari-jari itu bersekolah?
tanda tanya yang mungkin ada di kepalamu
sejak smartphone itu menggenggam
tangan-tangan polos kita
kita merasa begitu keren
menjadi primitif di era modern
alat-alat dibuat canggih
makin berkuasa makin lirih
jari-jari itu kini menggantikan mulut
mereka pandai berkata kasar
menghinda dina sesama manusia
mencela dan menista
jari-jari itu kini makin tak beradab
tapi perlu dicatat
kebiadaban itu lahir dari kepala
yang begitu pandai melupa
apa yang diungkapkan jari-jari itu
adalah sebuah kedangkalan nyata
bukti kita gagap
tak bisa sembuh dari luka-luka.
7/3/2021
Di Kolom Komentar
apa yang sedang anda pikirkan?
tanya fesbuk setiap waktu
“apa urusanmu? mau tahu saja,”
jawabku sedikit ngegas
lalu aku geser ke bawah
melihat statusmu yang cetar
jari-jariku gemetar
tahan, tahan barang sebentar
kuatkan aku menahan komentar
tuhan, tolonglah
tolong hambamu yang lemah
yang kuat menahan lapar
tapi tak tahan ingin komentar
kolom itu memanggil-manggil
disambut jempolku yang gigil
rasanya begitu gatal
ingin segera memperkaya jejak digital
aku akan menahannya sampai sabtu
tapi perlu kau tahu
betapa malam ini jariku linu
kangen komen sadis di statusmu.
4/3/2021
Imajiku Emojimu
kau tampak sedih sekali
di kolom percakapan instan itu
wajahmu tampak mendung
seperti langit di tepi pantai
yang megap-megap dirundung gelap
kucoba geser layar ke atas
percakapan kita tampak biasa saja
malah, hanya sedikit kau berbicara
mungkin sulit menata kata-kata
atau dengan alasan apa
aku tak bisa memahaminya
berserakan senyum dan tawa
yang jelas kusangsikan benar/tidaknya
hingga akhirnya percakapan kita pun usai
emoji darimu belum juga tuntas berderai
beberapa lama, ponselku mulai terasa panas
terlalu lama emojimu menatap mataku
sementara, imajiku sedari tadi berserakan
di tepi beranda twiter
yang lusuh di-unfolow zaman
yang koyak diserang buzer
mendengar kabar itu
kau begitu terbahak, meski cuma
lewat ikon bundar kuning di layar itu
kau menertawaiku yang sedang benar-benar pening
diterpa kangen yang tak pernah kering.
7/3/2021
Pada Ponsel yang Tak Cukup Cerdas
pada ponsel yang tak cukup cerdas
jemariku tersesat di profilmu
kebingunganku menjadi
saat pesanmu seketika terhenti
entah habis kuota atau
sudah cukup menuai derita
pada kolom yang sempit itu
lagi-lagi kubuatkan kau puisi
yang nadanya agak mendayu
dengan diksi-diksi sedikit merayu
celakanya kau malah pergi
menganggapku bagai angin lalu
tak terasa, batrei ponselku cepat habis
disedot pria tak punya kerjaan ini
saban hari mengirim kata-kata manis
untuk perempuan yang tak punya rasa
mungkin ia hanya pede belaka
atau terlewat gede rasa
pada layar yang hampir sejengkal ini
tak bisa kugenggam lagi percakapanmu
centang biru perlahan sayu
apa iya, begitu tega kau blokir aku
memandangi foto profilmu
sejak saat itu jadi rekreasi batin bagiku
sebab itu sedikit mengobati kangenku
yang sudah bernanah, luka, dan infeksi
disayat-sayat harapan yang karam
ditambah kini hatiku tertimpa garam
makin sakit, makin lama ia membusuk.
9 s.d 11/3/2021
Jalan Lain ke Hatimu
terpejam, tubuhmu telentang
kulihat cahaya berkelebat
begitu cepat menerangi tubuh kita
yang gigil diderai angin malam
kabut subuh tiba lebih cepat
kepalaku yang pusing mulai
berhalusinasi tentang jalan panjang
jalan menuju hatimu
yang kelok dan terjal
aku bisa mampir ke ceruk dadamu
juga bisa hampiri lembah belukarmu
tapi kadang aku tersesat
tak tahu jalan pulang
hingga kadang putingmu jadi pemandu
menghabiskan waktuku
menepi dari ponsel pintar itu
yang begitu erat menjerat tanganku
angin berembus saat kita telanjang
begitu membuatku ingin memelukmu
memberi hangat pada permukaan kulitmu
yang perlahan kisut ditempa waktu
kita ninabobokkan saja malam ini
lupakan, lupakan sejenak mimpi itu
sebab alamat ke hatimu
sudah ada di genggamanku
sudah kusimpan baik-baik di kepalaku
tak mungkin kan aku melupakanmu?
11/3/2021
***
Buku kumpulan puisi terbaru Ahmad Soleh berjudul Memutus Wabah Pilu Menyemai Benih Rindu (Diva Press, 2020). Instagramnya @ahm_soleh.