Julia (nama samaran), transpuan di kota Cirebon, selama 15 tahun hidup tanpa memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berkali-kali mengurus, namun selalu gagal. KTP ini sangat dibutuhkan ketika Julia ingin melamar sebagai karyawan di salah satu salon kecantikan. Namun, karena Julia tidak memiliki KTP, ia hanya dihadapkan pada satu pilihan. Yakni menjadi pekerja di pinggir jalan sebagai pengamen.
Dari Kesambi menuju Harjamukti, Julia berjalan kaki seorang diri dengan membawa bass petot andalannya. Ia menganggap rutinitasnya itu sebagai pekerjaan seni. Berada di pinggir jalan sebagai pengamen merupakan bentuk keputusasaannya karena tidak kunjung mendapat pekerjaan. “Aku bukan beban, aku juga sama seperti kalian. Aku manusia yang butuh dipenuhi haknya sebagai warga negara. Sulitnya mendapat KTP membuat aku sulit bekerja” terang Julia mengakhiri.
Transpuan masih dianggap sebagai manusia kelas dua. Berbagai stigma dan tuduhan terus dilekatkan pada transpuan, disebarkan dari generasi ke generasi. Lihat saja bagaimana transpuan dianggap sebagai dosa, malapetaka, dan ancaman. Ketika ada gempa bumi, misalnya, keberadaan transpuan dianggap sebagai salah satu penyebabnya.
Dengan stigma seperti ini, sulit bagi transpuan mendapat pekerjaan layak. Mereka seolah-olah hanya layak bekerja di sektor informal. Itu pun dibatasi, di salon kecantikan, make-up artis, atau penghibur.
Beberapa di antara mereka yang beruntung memiliki modal memang ada yang menjadi perancang busana dan berusaha mendirikan usaha salon kecantikan milik mereka sendiri. Namun, proses mendirikan usaha pun bukan hal mudah. Persyaratan administrasi yang mengharuskan melampirkan KTP kerap menjadi masalah yang dihadapi oleh transpuan.
Terbatasnya lapangan kerja dan sulitnya mengurus administrasi untuk membuat usaha membuat banyak transpuan akhirnya lebih memilih bekerja di pinggir-pinggir jalan sebagai pengamen. Pekerjaan ini dianggap sebagai pekerjaan seni. Karena memainkan alat musik, vokal, dan merias diri sebelum mengamen bukan pekerjaan mudah. Semua butuh keahlian dan kreativitas.
Baca juga Marapu, Agama Leluhur yang Tersingkir dan Terasing
Aib dan Dosa
Sialnya, pekerjaan mengamen di jalanan dianggap sebagai aib oleh Dinas Sosial. Mereka menganggap pengamen jalanan mengganggu ketertiban umum. Transpuan pengamen pun perlu diamankan dan dibina. Dinas Sosial tidak peduli bahwa menjadi pengamen merupakan upaya transpuan bertahan hidup. Menjadi pengamen adalah jalan keluar setelah gagal mendapat pekerjaan dan mendirikan usaha.
Razia terhadap pengamen jalanan pun diatur dalam aturan resmi. Lihat saja peraturan daerah nomor 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum, dan pergub nomor 221 tahun 2009 tentang penunjuk pelaksanaan perda nomor 8 tahun 2007.
Sementara Dinas Sosial melakukan razia, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) masih suka mengolok dan menceramahi transpuan. Contoh terbaru terjadi di Jawa Timur saat persatuan waria kota Surabaya hendak melakukan rekaman KTP elektronik (E-KTP) di Dispendukcapil. Ketika mereka menjalani wawancara dengan dispendukcapil untuk mendapatkan KTP elektronik, mereka ditertawakan.
Padahal, surat Kementrian Dalam Negeri RI Nomor 470/11320/Dukcapil sudah jelas. Surat itu meminta melakukan pendataan dan penertiban dokumen adminduk bagi penduduk transgender. Tetapi, masih banyak di antara transgender yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan KTP elektronik.
Kejadian seperti itu berbanding terbalik dengan kemunculan Aprilia Santini Manganang yang sebelumnya beridentitas sebagai perempuan, kini memutuskan menjadi laki-laki. Sersan Dua yang akrab disapa lanang itu terlihat mudah dalam mendapatkan E-KTP. Tidak sesulit transpuan. Ia menerima E-KTP dengan identitas baru sesuai identitasnya saat ini. Bahkan, dokumen kependudukan baru itu diserahkan langsung oleh Dirjen Dukcapil Kemendagri. Setelah Aprilio Perkasa Manganang mempunyai E-KTP, ia ditugaskan di Direktorat Pembekalan dan Angkutan sebagai koki oleh KSAD Andika Perkasa yang kini menjabat sebagai Panglima TNI.
Kemudahan yang diterima Aprilio harusnya menjadi standar untuk semua transgender. Baik transpuan maupun maupun gender yang lain, keduanya memiliki hak yang sama untuk dilayani dengan baik.
Pemerintah harus memastikan Dispendukcapil sebagai ruang aman dan setara. Implementasi pendataan dan penertiban dokumen adminduk bagi penduduk transgender wajib dilayani dengan baik. Tanpa stigma dan segala bentuk yang melecehkan. Sehingga, transpuan tidak lagi dianggap sebagai manusia nomer sekian. Transpuan bukan dosa, malapetaka, dan ancaman stabilitas. Transpuan adalah warga negara yang harus dijamin hak-haknya.