Luh Sagra, tokoh utama dalam cerpen Sagra itu berkelindan dengan karma, layaknya warisan dari kedua orangtuanya. Keluarganya dan orang-orang kasta Brahmana itu menyimpan begitu banyak rahasia atau mungkin lebih tepat disebut aib keluarga.
Kumpulan cerpen Sagra karya Oka Rusmini menghadirkan cerita-cerita berlatar budaya Bali. Tentu bukan hanya dari sisi estetik, namun ada hal yang terbilang cukup berani dikuaknya, termasuk pertalian Karmaphala dan Kasta. Sagra salah satunya.
Dalam cerpen Sagra tercium aroma mistik yang begitu kuat. Nuansa tanam-tuai (Karmaphala) begitu kuat semenjak dibukanya paragraf pertama. Di sana ada cerita tentang kematian seorang anak, yang pada akhirnya menghidupkan cerita ini.
“Karmaphala sendiri terdiri atas dua kata, Karma dan Phala. Karma berarti tindakan, dan Phala (pala atau pahala) berarti hasil atau buah. Jadi, Karmaphala berarti hasil dari tindakan,” kata dokter Wayan Mustika – pengasuh Komunitas Rumah Semesta di Bali.
Luh Sagra, perempuan cantik itu tumbuh di keluarga sudra yang terlahir sebagai penebus karma. Sejak kematian Made Jegog, dia pun hidup berdua dengan ibunya Luh Sewir. Perempuan sakit-sakitan itu tak seperti ibu pada umumnya. Dia kerap memandang sinis pada anak perempuannya, bahkan saat memergoki Luh Sagra mengenakan pakaian kebaya brokat merah jambu terbaik miliknya.
Ibu Sagra tak mau mengakui kalau Sagra tumbuh menjadi perempuan yang amat cantik. Kecantikan yang begitu agung, kulitnya putih bersih, aura kebangsawanan kian menyeruak seiring pertumbuhannya. Kuat usaha Luh Sewir untuk menutupi, tapi Sagra tetap memancarkan sinar yang dibawanya sejak lahir.
Rahasia Keluarga Brahmana-Sudra
Sepeninggal ayahnya yang berkasta sudra, Sagra diminta ibunya untuk tinggal di rumah keluarga Pidada. Dia terus memaksa, mendesak agar anaknya itu mau tinggal dan mengabdi sebagai pelayan di rumah keluarga kasta Brahmana yang terpandang di desa mereka. Alasannya sederhana, agar hidup Sagra bisa lebih terjamin daripada hanya tinggal dalam kondisi miskin.
“Sagra tak habis pikir, apa lagi yang diinginkan ibunya. Harusnya perempuan kurus dan sakit-sakitan itu sadar, bahwa bersyukur adalah juga ritus kehidupan yang harus ditunaikan manusia. Mengapa ibunya tidak bersyukur? Kenapa perempuan itu menginginkan dia tinggal di griya dan mengabdi sebagai pelayan?!” -halaman 96
Sepeninggal ibunya, Sagra tak punya pilihan. Suka tak suka dia harus tinggal di rumah itu. Selain bentuk amanah, dia juga tahu kalau selama ini hidupnya dan keluarga banyak disokong keluarga kaya raya itu.
Lama-kelamaan, Sagra mulai menerima kondisinya dan rela hati mengabdi sepenuhnya sampai-sampai membuat cucu pertama keluarga itu jatuh hati padanya. Meme, begitu panggilan yang diberikan Ida Bagus Yoga Saputra pada pengasuhnya, Luh Sagra.
“Sering Sagra bertanya pada dirinya, kenapa setelah menginjakkan kaki di griya itu dia merasa menjadi bagian dari keluarga pidada? Ada rasa memiliki, juga ada rasa cinta yang dalam untuk keluarga itu. Setiap menatap Ida Ayu Pidada dia selalu teringat Luh Sewir, ibu kandungnya.” -halaman 95
Tugus, begitu panggilan cucu bangsawan itu yang begitu lengket dengan Sagra. Makan, minum, tidur, semuanya hanya mau dilakukan bersama pengasuhnya itu, sampai-sampai memunculkan rasa iri di hati Cemeti, ibu kandung Tugus.
Tugus dan Tugek, dalam kasta Brahmana keduanya merupakan pesengan (sapaan), Gung De, Gung Is untuk wangsa Ksatria, Ngurah, Gek untuk wangsa Waisya. Perbedaan tersebut bagi masyarakat di luar Bali kerap dianggap sebagai suatu keunikan. Namun bagi sebagian orang Bali, kasta dilihat sebagai sesuatu yang ruwet dan kaku.
Dalam buku berjudul Mengurai Benang Kusut Kasta yang ditulis oleh Kerepun (2007), kasta di Bali diartikan serupa benang kusut, ruwet, dan kompleks. Kerepun juga hendak membongkar bagaimana sistem kasta di Bali coba dilestarikan. Kasta dianggap memiliki sebuah kekuatan yang dianggap sebagai tradisi Bali, sehingga harus dilestarikan.
Kasta dan Hindu di Bali
Dikutip dari Prasi: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajarannya – Ejournal Udiksha;
Eriksen (1998:242) menyatakan bahwa sistem kasta sebagai sebuah tatanan yang mengelompokkan semua masyarakat Hindu-Bali ke dalam kelompok-kelompok endogam dengan keanggotaan herediter, yang serentak memisahkan dan menghubungkan seseorang dengan yang lainnya melalui tiga karakteristik, yakni: pemisahan menyangkut perkawinan dan kontak, pembagian kerja dalam setiap kelompok yang mewakili satu profesi tertentu, dan akhirnya hirarki, sehingga masyarakat akan diurutkan pada sebuah skala yang memilah mereka ke dalam kasta tinggi dan rendah.
Terdapat beberapa definisi tentang kasta. Pertama, kasta dalam Dictionary of American English diartikan sebagai “Caste is a group resulting from division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job”.
Kedua, dalam Encyclopedia Americana (volume 5, halaman 775) yang menyebutkan kasta berasal dari casta yang dalam bahasa Spanyol dan Portugis berarti “kelas, ras, keturunan, golongan, pemisahan, tembok atau batas”.
Kata kasta juga diduga berasal dari Bahasa Latin “castus” yang berarti memotong atau memutus. Ketiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V kasta diartikan sebagai golongan (tingkat atau derajat) manusia dalam masyarakat beragama Hindu.
Agama Hindu Bali tidak mengenal istilah kasta, melainkan warna. Akan tetapi, banyak yang mengira bahwa kasta berasal dari istilah Sansekerta dari Agama Hindu itu sendiri. Istilah kasta merupakan “pemberian” dari Bangsa Portugis. Istilah kasta pernah digunakan oleh Bangsa Spanyol dalam menjajah dunia baru, mereka mengartikan kasta sebagai “silsilah”.
Sistem kasta di Bali terbagi atas empat pengelompokkan, yakni kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Kasta Brahmana adalah mereka yang berasal dari keturunan pendeta atau rohaniawan. Kasta Ksatria merupakan mereka yang berasal dari keturunan raja. Berikutnya yang ketiga kasta Waisya merupakan keturunan pedagang. Yang terakhir kasta Sudra adalah orang-orang yang berasal dari budak, abdi, buruh, dan petani (Wiana, 2006:10).
Kasta, Cinta, dan Karmaphala
Cinta terlarang jadi penyulut terjadinya hubungan saling-silang antara dua keluarga. Seorang perempuan Brahmana, Ida Ayu Pidada membiarkan dirinya ditanami benih Made Jegog, seorang laki-laki sudra. Sebaliknya, Luh Sewir menyerahkan dirinya untuk dibuahi oleh laki-laki yang begitu dicintainya, dia seorang Brahmana yang tak lain adalah Ida Bagus Baskara suami Ida Ayu Pidada.
Dari Luh Sewir terlahir Luh Sagra, dan dari Pidada terlahir Ida Ayu Cemeti. Keduanya pembawa darah Brahmana dan Sudra. Namun, karena di Bali menganut garis keturunan ayah, maka Luh Sagra-lah yang dianggap anak bangsawan yang sesungguhnya.
“Inikah dosa itu Hyang Widhi?Inikah yang harus ditebus dari perjalananku sebagai manusia? Beginikah bentuknya? Tajam sekali! Tak henti-henti dibuatnya aku berdarah. Jantungku dihancurkannya diam-diam. Pikiranku dicungkili setiap aku menarik napas.” -halaman 99
“Benih laki-laki itu tertanam ditubuhku, Jegog. Benihmu ertanam di tubuh Ida Ayu Pidada. Hidup apa yang kita jalani ini, Jegog? Cinta apa yang kita pahami? Keindahan apa yang kita miliki sebagai manusia? Jejak apa yang kita sisakan untuk seluruh rahasia yang kita tanam berempat : aku, kau, Pidada, dan suaminya. Buah apa yang kita tanam ini, Jegog? Kau lihat! Sagra tumbuh jadi perempuan yang amat cantik, karen sesungguhnya dia bukan perempuan sudra, bukan perempuan kebanyakan. Dia seorang bangsawan, Jegog!” -halaman 100
Kemelut cinta empat orang manusia itu akhirnya banyak mengundang malapetaka, ketidaktenangan, dan mengundang Karmaphala. Kondisi yang akhirnya harus ditebus dengan kematian para laki-laki dan perempuan dari kasta Brahmana yang tak lain suami, ayah, dan ibu Pidada, juga Made Jegog kekasihnya dari kasta Sudra. Nyawa mereka harus berakhir hanyut di Kali Badung.
Hidup Sagra kian pelik karenanya Keburukan yang menimpa keluarganya dianggap sebagai pembawa sial bagi seluruh penduduk desa. Dalam benak Sagra, ada rahasia besar yang disembunyikan antara keluarganya.
“Hubungan apa yang ditanam perempuan-perempuan ini?” tanya Sagra dalam hatinya.
Meski tak mendapat jawaban, namun Sagra bisa melihat dari sikap Pidada yang kerap ikut campur atas segala hal yang berhubungan dengan keluarganya, termasuk menanggung upacara ngaben untuk ibu dan ayahnya.
Upacara Ngaben (kremasi mayat) pada wangsa Brahmana dan Ksatria menggunakan sarana petualangan berupa lembu dan bade metumpang.
Puncak kebingungan Sagra adalah saat cucu perempuan dari keluarga griya, Ida Ayu Prami ditemukan mati tenggelam di dalam bak mandinya, yang disusul dengan kematian Ida Ayu Cemeti. Dia memilih bunuh diri karena merasa begitu kehilangan atas Tugek Prami.
Sagra limbung, dia makin tak paham. Inikah Karmaphala?
“Aku tahu apa yang kaupikirkan. Satu catatan untukmu, Sagra. Hidup ini adalah tumpukan rahasia. Bila kau mampu memecahkan rahasia itu, bukan hidup lagi namanya! Makin penuh pertanyaan, semakin bagus. Itu tandanya kau masih hidup,” kata Pidada pada Luh sagra.
Di kamar itu Sagra terdiam. Hidupnya bukan lagi tentang dirinya, tapi juga tertaut Karmaphala keluarga griya.
***
Editor: Ghufroni An’ars