Awas Berhala
awas—berhala itu tumbuh
seperti jamur di musim krisis,
berjalan telanjang di Senayan,
berkacamata hitam di halaman Istana,
berjemur di teras lembaga
kesenian yang sudah kehilangan api,
berbaring malas di sofa lobi
media massa
yang menjual kebenaran kiloan,
dan menyamar jadi resepsionis
di rumah penginapan
ber-AC rusak,
sambil menghitung uang
suapan yang dilipat seperti puisi cinta.
mereka sembah,
dengan wajah girang—
seperti anak-anak baru
lulus akademi perwira,
dengan senjata yang dicium
seperti kitab suci,
dengan jiwa yang digadai
di koper kredit rumah subsidi,
dengan raga yang dipoles
serum anti-tua,
dan nyawa yang diserahkan
kepada pasar modal.
mereka tawarkan Jakarta,
seperti gadis perawan dalam
lelang kuno,
dan Indonesia,
sebagai mahar yang dicicil
lunas oleh undangan makan malam.
awas—berhala menyala di matahari
yang retak,
di hati yang belum
percaya pada hujan,
di pagar besi yang dilukis
warna bendera palsu,
di teka-teki silang yang
kehilangan kata kunci,
di mulut petahana yang
berbicara seperti iklan detergen,
di lutut oposisi yang gemetar
di ruang debat televisi,
dan di kaki-kaki demonstran
yang lari karena gas air mata
yang baunya seperti parfum
kelas menengah.
ia ada di sana,
di sini,
di tiap terowongan
stasiun yang penuh grafiti ketakutan.
awas—berhala ini bisa jadi teman
minum kopi di warung
remang-remang,
jadi kawan merokok di
teras kantor dinas,
jadi pemerintahan yang
bersumpah di atas kitab
tebal dan kosong,
jadi Tuhan yang dikutip
dalam akun media sosial birokrat,
jadi pemakluman atas
pemerkosaan yang dijustifikasi
dengan alasan “demi pembangunan”
dan jadi lawan yang
duduk di meja sidang
seraya mengetuk palu
seperti mencabut nyawa nyamuk.
awas—berhala ada di dunia yang
tak lagi percaya pada
masa depan,
di surga yang dijual paket
umrah lima jutaan,
di neraka yang terbit tiap
pukul lima sore dalam
bentuk tagihan listrik,
di seluruh negara yang
dibungkus plastik
“bangkit dari keterpurukan”
di baju tentara yang
masih bau tanah longsor,
di rak baju bekas Pasar Senen,
di sandal jepit anak-anak
yang belajar menulis demokrasi di tembok-tembok toilet sekolah.
ia ada
di meja makanmu,
di dompet lusuhmu,
di mata ibumu yang
menunggu kabar
rekruitmen CPNS,
di peluh sopir ojol
yang mengantar nasi kotak
untuk pesta ulang
tahun anak pejabat,
di mana-mana—
di setiap lipatan peta,
dan di napasmu sendiri.
iya, awas.
(2025)
–
Jalan Masuk Menuju Hari yang Tak Bernama
langit pagi meludahi kata sifat
yang tumbuh jadi burung,
aku menutup jendela, burung
mengetuk-negetuk kaca
dengan paruh emasnya.
aku hanya ingin tidur
sementara kopi di meja
bergolak pelan, menagih
cerita yang tak pernah
kutulis di atas roti bakar hangus.
bocah-bocah melukis
warna di daun yang gugur ke trotoar
wajahku—daun itu bicara,
bertanya tanggal berapa kini.
di jalan, mobil-mobil
berbisik pada aspal licin,
radio memutar dongeng yang
membuat mata ikan menetes,
dan manusia mulai bekerja
tanpa kata kerja;
manusia tergesa sambil
berharap waktu membusuk.
pukul tujuh pagi, jalanan
jadi sungai lumpur kaca,
jalan keluar? masuk,
lalu kunci pintu dengan mantra.
aku ingin mandi dengan
sabun yang menghapus makna
lalu tidur siang, sampai
malam menukar bayangan
jadi sutra.
(2025)
–
Jangan
j a n g a n, j a n g a n lagi-lagi itu terjadi, jangan pernah kolonialisme menjajah pagi, jangan biarkan malam dilipat jadi selimut besi yang berkarat di kening republik, jangan sampai orde baru tumbuh jadi tumor di dahi negeri, jangan rakyat dibungkam, jangan rakyat dibiarkan menelan janji basi yang basi, b a s i, b a s i seperti nasi seminggu di meja sidang, j a n g a n coba-coba percaya pidato yang dihafalkan seperti mantra kosong yang diludahin berkali-kali, jangan sampai tentara menginjak kepala Marsinah di Senin pagi yang dingin, dingin seperti papan nisan yang hilang alamatnya, jangan Wiji Thukul hilang di antara sepatu lars yang menggilas puisi, puisinya, puisiku, p u i s i kita yang habis dibakar sebelum dibaca, jangan lagi-lagi ras, suku, budaya jadi label harga di rak pasar politik yang bau amis darah kambing, j a n g a n percaya muslihat politisi yang menjual negara dengan tanda tangan murahan, murah, murahan, semurah kata-kata yang hilang makna di atas panggung kampanye, jangan sampai gas air mata berterbangan di halaman Istana seperti burung gagak mencari daging, jangan lagi ladang padi mati kehausan, buah jatuh busuk sebelum dipetik, sayuran layu sebelum dijual di pasar yang tutup lebih awal dari biasa, jangan lupa gaji guru tinggal angka di neraca, nol koma nol koma kosong koma belas kasihan, buruh cuma angka di laporan laba yang ditertawakan rapat direksi, j a n g a n percaya Asing dan Aseng saat bicara soal merah putih dengan lidah bercabang yang menjilat dan menyayat, jangan takut pada hantu komunisme yang disulap di layar kaca yang retak, takutlah kapitalisme yang mengunyah upah dan meludahkan sisa-sisa ke wajah anak-anakmu yang lapar, jangan percaya penguasa yang memamerkan senyum di spanduk, lalu menusuk di lorong gelap yang sunyi, jangan lupa kekuasaan membuat manusia melupakan manusia, melupakan namanya, melupakan sejarahnya, melupakan saudaranya, jangan cerita kemerdekaan di telinga rakyat yang masih diikat hutang, hutang, hutang, hutang yang diwariskan dalam kartu keluarga, j a n g a n pedulikan air mata buaya di podium pejabat yang dibersihkan tiap pagi, jangan puas pada berita yang hanya angka dan jargon, angka yang berjalan tanpa arah seperti kawanan domba buta, jangan lupa belajar sejarah yang dikubur di halaman belakang perpustakaan, jangan sampai pendidikan dijual ke perusahaan, dijajah laba-laba laba laba laba sampai jaringnya menusuk mata, jangan merasa merdeka ketika suara-suara dipotong jadi iklan promosi, ketika suara ibu jadi suara operator bank, jangan bicara apa-apa dengan pengecut yang menunduk pada amplop, yang mencium uang seperti mencium kitab suci, jangan lupakan revolusi yang ditiup pelan di lorong-lorong gelap kota, jangan pedulikan penjilat di kursi yang mengelap sepatu mereka dengan lidah sendiri yang kapalan, jangan pedulikan aktivitas yang keadilannya digelembungkan di ruangan dingin itu, pendingin ruangan dan hati yang mati rasa, jangan percaya apapun dari mulut penguasa yang bau tanah dan janji sisa, janji busuk yang disusun dalam draft undang-undang, jangan lupa kejahatan dan kebodohan bersepakat dalam pesta jamuan negara, di atas meja makan yang masih hangat dari darah p e t a n i, jangan percaya pendukung pemerintah yang menepuk pundakmu di depan umum lalu menusukmu di belakang dengan senyum, jangan pedulikan penjilat kurang ajar peliharaan kekuasaan yang sudah lupa rasa lapar, rasa haus, rasa malu, jangan mau begini saja, jangan sampai begini saja, jangan pernah percaya bahwa begini-begini saja bisa berubah begitu saja, jangan mau, jangan diam, jangan tunduk, jangan lupa,
j a n g a n pernah berpikir semua baik-baik saja, karena tidak, tidak ada yang baik-baik saja, tidak pernah baik-baik saja, tidak pernah, tidak sekarang, tidak nanti, jangan sampai mati dalam keadaan dijajah b a n g s a s e n d i r i.
(2025)
–
Elegi di Antara Fragmen yang Retak
Jika kulihat engkau,
sebuah bayang retak di cermin waktu,
aku mengenali kesedihan itu—
menetes perlahan seperti embun di atas trotoar
yang telah kehilangan nama.
Air matamu,
adalah sisa lagu purba
dari para malaikat yang terbuang,
yang kini berdagang sunyi di lorong kota asing.
Tanganku,
menghapusnya pelan
dengan sehelai saputangan
yang pernah kubawa ke pemakaman janji-janji,
dan kelembutan ini,
bukan lagi milikku,
melainkan pinjaman dari puisi
yang lupa bagaimana merangkai doa.
Aku memberi,
seperti bunga plastik
yang layu di altar para dewa palsu.
Tanpa syarat.
Tanpa harap namaku diukir
pada batu yang kau letakkan di taman ingatan.
Bahkan sekadar bayangku
tak perlu singgah di ruang harimu yang sempit.
Hiduplah,
jika bahagia masih punya makna
di antara promosi diskon rasa
dan katalog cinta yang diperbarui setiap musim.
Biarkan aku memikul reruntuhan ini,
merangkainya jadi kuil sabar
di atas pasir waktu yang selalu mengalir,
tak kembali.
Beri makan egomu,
biarkan ia tumbuh rakus,
seperti dewa-dewa algoritma
yang lapar akan pemujaan digital.
Sebab sabarku,
adalah server usang
yang masih menyimpan fragmen wajahmu
meski sandinya telah hilang
di padang sunyi peradaban yang retak.
(2025)
*****
Editor: Moch Aldy MA