“Jason Ranti menunjukkan bahwa musik bukanlah sekadar musik, tetapi bisa membuat pendengarnya menjadi filsuf.”
Kebanyakan dari kita mungkin tidak asing dengan musisi nyentrik yang satu ini: Jason Ranti. Musisi yang juga akrab disapa “Jejeboy” ini berhasil mewarnai dunia permusikan Indonesia berkat lagu-lagunya yang unik dan eksentrik. Album perdananya yang berjudul “Akibat Pergaulan Blues” berhasil membuat namanya melambung ke angkasa permusikan nasional.
Lirik-liriknya yang puitis, penuh kritik, satire dan sarkasme membuat pendengarnya seolah sedang mendengarkan orasi filsafat. Dalam lagu-lagunya, Jeje mampu merekonstruksikan pikiran dan kritiknya dalam verbal yang terstruktur tanpa terdengar sok tahu ataupun menggurui.
Oleh karenanya, bagi saya, Jason Ranti tak cukup layak disebut sebagai musikus, sebutan “filsuf” mungkin lebih cocok baginya.
Untuk itu, mari mengenal Jason Ranti dengan saksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Menggeluti Musik dan Sastra sejak SMP
Patrick Jason Ranti, atau akrab disapa “Jeje”, merupakan musisi asal Jakarta. Penampilan dan gaya bermusiknya yang nyentrik membuat Jeje tampak berbeda dari musisi yang lain. Ia hanya mengandalkan sebilah gitar—sesekali disandingkan dengan harmonika—untuk mengiringi lagu-lagunya.
Namun, sebelum terkenal seperti sekarang ini, kecintaannya pada dunia sastra dan musik mulai terbentuk sejak dini. Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia mulai berkenalan dengan gitar klasik dan menjadi awal keterikatannya dengan dunia musik.
Setelah itu, ia kemudian diperkenalkan oleh tantenya dengan lagu-lagu dari Jimi Hendrix, sejak saat itu ia mulai merambah ke dunia rock dan mengubah haluannya dalam bermusik. Selain itu, Jeje juga gemar membaca. Hal ini yang membentuknya menjadi penulis lirik yang memiliki karakter unik.
Pria kelahiran Jakarta ini juga mengaku, minatnya terpantik untuk menggeluti dunia sastra lantaran guru SMA-nya membacakan puisi yang berjudul “Nyanyian Angsa” karya WS Rendra. Jeje mengaku, bait gubahan Rendra tersebut adalah salah satu puisi yang mengubah pandangan hidupnya.
Dari Stairway to Zinna hingga Solois
Perjalanannya dalam bermusik diawali bersama sebuah band rock/blues rock bernama Stairway to Zinna. Ia memulai kariernya sebagai gitaris dalam band tersebut. Bersama band ini, Jeje menciptakan album perdananya berjudul “Asisi” pada tahun 2012. Namun, seiring kesibukan dari masing-masing personel, Stairway to Zinna tidak lagi menjadi band aktif.
Meskipun begitu, itu bukan berarti akhir perjalanan Jeje dalam dunia musik. Sebagai seseorang yang tak bisa lepas dari musik, ia terus menuliskan ide-ide dari buah pemikirannya yang kelak menjadi karya-karyanya dalam bermusik.
Hingga akhirnya, pada tahun 2017, ia berhasil meluncurkan album perdananya yang berjudul “Akibat Pergaulan Blues” digawangi Demajors Record di Kemang, Jakarta Selatan. Album yang diproduseri oleh Junior Sumantri ini, berisi 11 lagu yang ditulis Jason Ranti sendiri. Sejak saat itu, ia memulai kariernya sebagai solois dalam dunia musik.
Sebelum peluncuran album debut Jeje, musik folk dalam negeri belum memiliki banyak penggemar. Namun, berkat lirik dari lagu-lagunya yang nakal, kritis, estetis dan sarkastik, Jeje mampu membuat musik folk mendapat panggung dalam kancah nasional.
Sejumlah media bahkan memberikan apresiasi terhadap album pertamanya itu. Majalah Rolling Stone Indonesia menempatkan album tersebut pada urutan kedua dalam daftar peringkat “Album Indonesia Terbaik 2017”. Album tersebut juga menduduki posisi dalam “Album Pilihan” tahun 2017 versi Majalah Tempo.
Kemudian pada tahun 2019, Vice Indonesia kembali merilis “Album Terbaik Indonesia Satu Dekade Terakhir” yang menempatkan album “Akibat Pergaulan Blues” berada pada urutan keenam. Hingga saat ini, Jeje berhasil menetaskan tiga album, “Akibat Pergaulan Blues”, “Sekilas Info”, dan “Jalan Ninja” beserta satu single berjudul “Hari Hari Musik”.
Lebih Cocok Disebut ‘Filsuf’
Dalam bermusik, Jeje menyebut Prof. Bambang Sugiharto, guru besar filsafat di Universitas Parahyangan sebagai salah satu inspirasinya. Ia mengatakan inspirasinya bisa datang dari berbagai macam hal. Bisa saja saat mandi, ketika mendengar ceramah Emha Ainun Nadjib, atau bahkan dari pertandingan sepak bola.
Tak jarang juga lagu-lagunya banyak terinspirasi dari puisi-puisi penyair Indonesia seperti Sapardi Djoko Damono, Iwan Simatupang, WS Rendra, Toeti Heraty, Amien Kamil dan banyak lainnya.
Tak hanya itu, kemampuannya dalam merekonstruksikan pemikiran, fenomena sosial, hingga urusan politik ke dalam lirik lagu menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang berpengetahuan luas. Jeje bercerita tentang fenomena yang terjadi di sekitarnya, sisi liar imajinasinya dalam menulis lirik menjadi poin yang membuat orang tertarik untuk menikmatinya.
Lagu-lagunya yang terhimpun dalam tiga album tersebut dikemas dengan gaya bertutur yang nakal, humoris, dan sarkastik. Terlebih pada albumnya yang berjudul “Sekilas Info”, Jeje memperlihatkan kepiawaiannya dalam bermain kata, ia sekadar main-main, tetapi main dengan sungguh-sungguh. Ia semakin liar dalam mengeksplorasi lirik, permainan kata paradoksal dan satire banyak ditemui di tiap lagu-lagunya.
Seperti salah satu lagunya berjudul “Pulang ke Rahim Ibunya” yang bait-baitnya sarat dengan tafsiran sufistik. Jeje memainkan logika-logika yang tampak absurd, tetapi kemudian kita tersenyum dibuatnya. Coba saja simak deretan kalimat ini.
//Lisa berhenti hidup tapi tak juga mati/
/Ia merasa redup semua mimpinya mati/
/Lisa pergi ke gunung ia merasa murung/
/Ia pergi ke Tuhan ia tak kenal Tuhan/
/Ia buat rencana pulang ke rahim ibunya//
Kemudian judul lain “Sabda Tiang Listrik” yang mengisyaratkan bahwa kekuasaan tertinggi adalah milik Tuhan. Apalagi dalam salah satu baitnya ia berani menyindir Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, bahwa di atas kekuasaannya masih ada istrinya yang lebih berkuasa darinya—semacam satire suami takut istri.
Begitulah beberapa lirik dari lagu Jeje yang penuh fantasi kejahilan dan humor. Mungkin bagi sebagian orang akan merasa risih dan kurang sreg dengan lagu-lagunya, karena gaya bermusiknya yang cenderung frontal dan liar.
Terlepas dari itu, Jeje seolah memberikan pesan pada pendengarnya bahwa bersikap kritis terhadap segala sesuatu itu penting, apa pun harus dibaca, fenomena maupun wacana.
Lewat lagunya juga, ia menyiratkan bahwa kebebasan dalam berekspresi harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa harus merasa takut diintimidasi dan dipolitisi. Memang, selera adalah perkara personal, tapi kebebasan berekspresi tentu adalah persoalan kita semua.
Jadi, bagaimana? Apakah tertarik untuk mendengarkan lagu-lagu Jason Ranti?
*****
Editor: Moch Aldy MA