Pengamat media sosial.

Homeless Media: Keuntungan dan Kerugiannya bagi Publik

Latifa S.

2 min read

Menjamurnya homeless media di media sosial mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya username yang digunakan adalah nama kota seperti @infojkt24, @info.surabaya, @infobandungraya dan masih banyak lagi, bahkan ada homeless media yang cakupan wilayahnya di tingkat kecamatan hingga desa. Akun-akun ini seringkali menyediakan informasi berita dengan judul menonjol pada postingan dan keterangan singkat pada caption.

Sebagai pengguna media sosial, saya juga mem-follow beberapa homeless media untuk mencari informasi, rekomendasi kuliner, event dan wisata di daerah saya. Meskipun demikian, saya cukup resah dengan banyaknya homeless media yang tidak memiliki standar verifikasi informasi yang jelas. Pasalnya, informasi yang disampaikan terkadang tidak memenuhi kaidah 5W +1H sehingga audience kebingungan ketika membaca berita.

Menurut Geger Riyanto dalam penelitiannya yang berjudul Understanding Homeless Media: A Study on Social Media Based Informal Local News in Five Indonesian Cities 2024 menyatakan bahwa homeless media adalah media berita yang tidak memiliki “rumah” atau platform resmi seperti situs web. Mereka hanya eksis di media sosial dan biasanya dengan pengikut cukup banyak.

Homeless media juga tidak mengungkapkan siapa yang bertanggungjawab mengenai konten mereka atau informasi lengkap tentang kantor dan alamatnya. Akibatnya, mereka tidak dilindungi oleh peraturan resmi yang biasanya berlaku bagi media tradisional. Selain itu, jika terjadi kesalahan atau penyebaran informasi yang menyesatkan maka pengelola homeless media bisa terkena sanksi hukum, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketiadaan status legal juga membuat homeless media tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas sehingga risiko tuntutan atau permasalahan hukum menjadi lebih tinggi.

Kecepatan vs Akurasi

Perbedaan mendasar antara homeless media dan media tradisional terletak pada SOP (Standard Operating Procedure) dan kode etik yang dimiliki. Media tradisional memiliki aturan yang ketat dalam menyajikan berita, seperti memastikan informasi yang disampaikan sudah diverifikasi, sesuai fakta & data, dan memenuhi standar jurnalistik. Sebaliknya, homeless media lebih mengutamakan kecepatan dalam menyebarkan informasi.

Meskipun demikian, homeless media juga ada yang menerapkan prinsip jurnalistik dalam menyebarkan berita. Hal ini dijelaskan oleh Frances Alexander dalam artikelnya yang berjudul Peran Homeless Media dalam Melakukan Penyebaran Informasi di Media Sosial Instagram (Studi pada Opini.id). Menurut penelitian tersebut, homeless media seperti Opini.id tetap menerapkan prinsip jurnalistik dalam pembuatan konten seperti validasi, konfirmasi dan ketetapan. Tapi tidak semua homeless media melakukan hal yang sama seperti yang Opini.id lakukan. Melalui platform Instagram, ada banyak homeless media yang isi kontennya hanya repost konten orang lain dan berita tidak lengkap.

Masalah homeless media muncul ketika kecepatan lebih diutamakan daripada akurasi. Hal ini sering menghasilkan informasi yang tidak utuh sehingga audiens cenderung membuat asumsi sendiri. Ketika hal ini terjadi, potensi bahaya meningkat karena dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat dan memicu penyebaran hoaks.

Siapa yang Diuntungkan?

Salah satu keuntungan adanya homeless media adalah menyediakan akses informasi yang cepat untuk masyarakat. Isu-isu yang terabaikan oleh media massa juga bisa terangkat ke publik dan mendapat perhatian dari berbagai pihak. Contohnya, ketika ada jalan raya berlubang maka homeless media bisa menginformasikannya di media sosial agar beberapa pihak terkait segera menangani.

Dari sisi lain, pengelola homeless media sudah pasti juga mendapat keuntungan finansial. Akun-akun homeless media itu bisa menghasilkan pendapatan dari pengiklan yang tertarik mempromosikan produk atau jasa yang mereka sediakan. Tarifnya pun bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung dari jangkauan dan tingkat engagement media-media ini. Sayangnya, tidak semua homeless media selektif dalam memilih iklan yang mereka terima. Saya pernah menemukan iklan skincare abal-abal yang tentunya bisa merugikan audience jika membeli dan memakai produk tersebut.

Selain itu, beberapa homeless media juga menerima iklan dari tokoh politik tertentu. Tendensi untuk menampilkan salah satu tokoh politik ini bisa menjadi bagian dari strategi politik praktis sang tokoh untuk tujuan mempengaruhi persepsi masyarakat secara halus. Ketika media semacam ini mulai mempromosikan agenda tersembunyi melalui konten, audiens bisa terpengaruh tanpa menyadari bahwa mereka sedang diarahkan pada kepentingan politik tertentu.

Munculnya fenomena homeless media mengingatkan kita pada pentingnya literasi digital. Sebagai pengguna media sosial, kita perlu membekali diri dengan kemampuan berpikir kritis dan ketelitian dalam menerima informasi. Hanya karena sebuah berita dibagikan oleh akun dengan banyak pengikut, bukan berarti berita tersebut benar. Kita harus bijak dalam memilih sumber informasi dan tidak langsung percaya pada segala sesuatu yang kita baca atau lihat di media sosial.

Pemilik homeless media juga perlu meningkatkan standar mereka dalam menyajikan informasi. Kecepatan memang penting, tetapi keakuratan jauh lebih krusial. Jika ingin terus bertahan dan dipercaya oleh audiens, homeless media harus lebih bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi.

Fenomena homeless media ini adalah gambaran nyata dari evolusi distribusi informasi di era digital. Informasi kini berada di ujung jari tetapi tantangan terbesarnya memastikan bahwa informasi tersebut benar dan bisa dipercaya.

Latifa S.
Latifa S. Pengamat media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email