Nasib transisi energi di Indonesia kembali berada di persimpangan jalan pasca pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu yang menunjukkan keengganannya untuk “terjebak” dalam skema Perjanjian Paris, serta menurutnya Indonesia tidak perlu terburu-buru melakukan transisi energi. Sikap tersebut muncul, merespons keputusan Trump yang menarik diri dari Paris Agreement paska dilantik kembali menjadi Presiden Amerika Serikat (AS).
Penarikan diri AS dari Paris Agreement seolah dijadikan alasan atau momentum pemerintah untuk mengendurkan komitmennya atas transisi energi, yang semula sudah lemah. Pemerintah seakan lupa bahwa transisi energi bukan sebuah “pilihan” apalagi sekadar “ikut-ikutan”, tetapi “keharusan” untuk mencapai keberlanjutan energi nasional dan menanggulangi krisis iklim.
Realisasi Transisi Energi di Indonesia
Pada 2016, Indonesia mengambil tanggung jawab dalam aksi iklim internasional melalui penandatanganan Paris Agreement. Penandatangan tersebut adalah bentuk komitmen pemerintah terhadap pembangunan rendah karbon untuk menjaga suhu rata-rata dunia 1.5°C-2°C di atas pra-industri pada tahun 2030. Tujuannya, untuk mencegah atau menekan dampak krisis iklim yang tengah berlangsung, khususnya terhadap negara-negara kepulauan seperti Indonesia.
Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC), pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) 31,89% tanpa syarat dan 43% dengan bantuan internasional. Target ini naik dari target NDC pertama (2016) dan Update NDC (2021); 29% tanpa syarat dan 41% dengan dukungan internasional. Komitmen tersebut juga meluas ke jangka panjang, Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) yang menargetkan net-sink di sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2050 dan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Transisi energi menjadi faktor esensial untuk mencapai target penurunan emisi jangka menengah (E-NDC) dan jangka panjang (LTS-LCCR dan NZE). Sektor energi tercatat menyumbang emisi terbesar kedua (34,49%), di bawah kebakaran gambut yang menyumbang 50,13% dari total emisi nasional.
Baca juga:
Manifestasi komitmen pemerintah terhadap transisi energi sudah tampak, bahkan dua tahun sebelum penandatanganan Paris Agreement yaitu melalui PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain mendorong transisi energi, kebijakan ini juga bagian dari upaya diversifikasi energi dan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, serta menciptakan keberlanjutan energi di Indonesia.
KEN menetapkan target bauran energi primer nasional yang meliputi: (1) Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% tahun 2025 dan 28% tahun 2038; (2) Gas 22% tahun 2025 dan 25% tahun 2038; (3) BBM maksimal 0,4% tahun 2025 dan maksimal 0,1% tahun 2038; dan 4) Batu bara maksimal 55% tahun 2025 dan maksimal 47% tahun 2038. Namun, realisasi target bauran energi EBT jauh dari kata tercapai atau hanya 13,93% per tahun 2024. Sedangkan 86% bauran energi sisanya bersumber dari energi fosil, yang didominasi batu bara. Sejak 2018 hingga sekarang, target tahunan bauran energi EBT yang ditetapkan tidak pernah sekalipun tercapai.
Ketidaktercapaian bauran energi EBT nasional inheren dengan realisasi bauran energi sub-sektor ketenagalistrikan, yang nasibnya tidak jauh berbeda. Realisasi bauran energi yang berasal dari pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT baru mencapai 13%-14%, jauh dari target 23% yang ditetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038.
Masih rendahnya bauran energi EBT berbanding lurus dengan kapasitas pembangkit terpasang nasional. Per tahun 2023, kapasitas pembangkit terpasang masih didominasi oleh PLT berbasis fosil (85,12%), sedangkan PLT berbasis EBT masih kecil (14,88%). Berbeda dengan tren kapasitas terpasang PLT EBT yang cenderung stagnan di angka 15%, tren kapasitas pembangkit terpasang PLTU terus naik dari 49,61% pada 2018 menjadi 54,58% pada 2023.
Kegagalan mencapai target bauran energi EBT, alih-alih mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan menemukan strategi yang tepat, pemerintah justru menurunkan target bauran EBT. Pemerintah menurunkan target bauran energi EBT nasional yang sebelumnya 23% pada tahun 2025 yang diatur dalam PP No. 79 Tahun 2014 tentang KEN menjadi 17%—19% dalam draf RPP KEN yang baru (masih sedang dibahas). Bahkan, dalam RUKN 2024, yang baru ditetapkan pada 29 November 2024 lalu, pemerintah menurunkan target bauran EBT ketenagalistrikan lebih rendah lagi atau 15,9% pada tahun 2025, dari target 23% pada RUKN sebelumnya.
Komitmen Setengah Hati dan Kepentingan Bisnis Energi Kotor
Penurunan target bauran EBT mengindikasikan upaya pemerintah menutupi kegagalannya dalam mencapai target bauran EBT dengan menurunkan target bauran EBT sebelum memasuki masa waktu seharusnya target terealisasi. Revisi tersebut juga menyiratkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap transisi energi dan kuatnya kepentingan untuk mempertahankan energi fosil.
Lemahnya komitmen pemerintah dan kuatnya kepentingan mempertahankan bisnis energi kotor bukan dugaan baru. Pengesahan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang masih mengizinkan pengembangan PLTU-PLTU baru misalnya. Ketentuan tersebut termuat dalam Pasal 3 ayat 4 huruf b, yang mengecualikan pembangunan PLTU baru untuk industri hingga tahun 2050. Dengan kebijakan tersebut, pasar bahan bakar fosil, terutama batu bara kedepannya masih akan tetap eksis. Sebaliknya, pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan niscaya akan terhambat dan pada akhirnya akan memperpanjang ketergantungan Indonesia pada energi fosil.
Baca juga:
- Danantara dan Kepentingan Elite Batu Bara di Lingkar Istana
- Menyadarkan Elit NU dan Muhammadiyah yang Dimabuk Batu Bara
Padahal pemerintah dalam United Nation Climate Change Conference UK 2021 telah berkomitmen untuk mempercepat pencapaian NZE pada 2060 atau lebih awal dengan mempercepat penghentian operasi (phasing out) PLTU pada 2040-an. Hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut akan menghentikan operasional PLTU batu bara dalam 15 tahun ke depan di KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil pada 2024 lalu.
Komitmen pemerintah yang setengah hati menjadi salah satu faktor yang menyebabkan investor ragu berinvestasi untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Padahal untuk mencapai NZE 2060, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit. Misalnya, sektor ketenagalistrikan sekurangnya membutuhkan investasi kumulatif sebesar USD 800-1.380 miliar atau sekitar USD 30-40 miliar per tahunnya. Namun, jangankan mendekati USD 30-40 miliar, investasi EBT di tahun 2023 yang ditargetkan mencapai USD 4 miliar, realisasinya tidak sampai setengahnya atau hanya USD 1,6 miliar.
Dengan kata lain, keberhasilan transisi energi bukan hanya bergantung pada persoalan teknokratis, tetapi juga persoalan politis. Sebagaimana ungkapan pakar kebijakan energi, Byrne dan Rich (1983), salah satu alasan mengapa transisi energi cenderung berlarut-larut adalah karena pemain lama (pengusaha energi fosil) tidak cepat menerima pendatang baru (energi bersih). Ada kekuatan ekonomi-politik yang berusaha terus mempertahankan dan mengembangkan pasar bahan bakar fosil sehingga menyulitkan pengembangan dan pemanfaatan energi bersih.
Sudah bukan rahasia bahwa para pemain dalam bisnis energi kotor, terutama batu bara di Indonesia adalah para konglomerat yang memiliki jaringan dan pengaruh kuat di pemerintahan. Kekayaan mereka adalah hasil akumulasi dari bisnis energi kotor. Karena itu, selama energi fosil masih menjadi komoditas berharga untuk terus meningkatkan kekayaan mereka dan selama belum ada kesungguhan dan keberanian pemerintah, maka selama itu pula kita akan kesulitan dalam menggeser dominasi bahan bakar fosil, khususnya batu bara di sektor energi nasional. (*)
Editor: Kukuh Basuki
