Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

Eksploitasi dalam Konten ‘Bahan Bersyukur’

Muhammad Haidar Sabid A

4 min read

Pada suatu siang yang biasa, seorang pria setengah baya duduk di trotoar, menyeka keringat, menikmati seporsi nasi bungkus setelah setengah hari berkerja. Ia tidak tahu bahwa di seberang jalan, seseorang diam-diam mengangkat ponselnya, merekam momen itu, lalu mengunggahnya ke media sosial dengan caption: “Masih ada yang tetap bersyukur dalam keterbatasan. Kita yang lebih beruntung, harus lebih banyak bersyukur.”

Ribuan orang melihat video itu, mengetik komentar penuh haru, menekan tombol like dan menganggap diri mereka telah menjadi manusia yang lebih baik karena menyaksikan kesederhanaan seseorang yang tidak mereka kenal. Tetapi bagaimana dengan si pedagang? Apakah ia ingin wajahnya menjadi bahan empati massal? Apakah ia merasa kehidupannya patut dijadikan pengingat moral bagi orang lain? Atau jangan-jangan, ia hanya ingin menikmati makan siangnya dalam ketenangan?

Baca juga:

Inilah gejala sosial yang semakin menguat dalam lanskap digital hari ini: setiap individu yang berada di ruang publik berisiko direduksi menjadi sekadar bahan konten. Privasi bukan lagi sesuatu yang terbatas pada ruang domestik, melainkan menjadi sesuatu yang nyaris mustahil dipertahankan, bahkan di jalanan yang ramai sekalipun.

Privasi yang Direnggut dan Era Post-Panopticon

Ruang publik, dalam konsepsi klasiknya, adalah tempat interaksi sosial di mana individu dapat bergerak bebas, bertemu orang lain, dan menjalani aktivitas sehari-hari tanpa harus merasa diawasi. Tetapi, dalam gelanggang digital hari ini, ruang publik mengalami mutasi yang cukup ganjil—ia sering kali menjadi panggung voyeurisme massal yang tidak beretika. Ia berubah menjadi medan pengawasan tak kasat mata yang dilakukan oleh sesama warga.

Di masa lalu, konsep pengawasan sering dikaitkan dengan negara. Michel Foucault, dalam Discipline and Punish, menggambarkan bagaimana kekuasaan modern bekerja melalui mekanisme panoptik—di mana individu diawasi secara terus-menerus tanpa menyadari bahwa ia sedang diawasi. Tetapi hari ini, pengawasan tidak hanya dilakukan oleh lembaga negara atau perusahaan teknologi. Kita sendiri, tanpa sadar, telah menjadi bagian dari panoptik itu sendiri. Setiap orang yang memiliki kamera ponsel bisa menjadi pengawas, bisa mengubah siapa pun menjadi objek tontonan massal.

Maka tak berlebihan rasanya jika saya menyebut bahwa kita telah memasuki era Post-Panopticon, di mana pengawasan tidak lagi bersifat hierarkis atau terpusat, melainkan menyebar ke dalam relasi horizontal antar-individu. Jika kemudian pada panoptikon apa yang diawasi berkisar pada realitas yang ada, maka dalam pos-panoptikon pengawasannya bermutasi menjadi pengawasan dan “penafsiran sepihak” atas apa yang terjadi.

Zygmunt Bauman menyebut fenomena ini sebagai Liquid Surveillance—pengawasan yang tidak lagi terbatas pada institusi negara atau korporasi besar, tetapi mengalir melalui jejaring sosial dan interaksi antar-individu. Jika dalam panoptikon klasik, kekuasaan berada pada “menara pengawas” yang mengawasi tahanan di “sel-sel” mereka, maka dalam Liquid Surveillance, setiap individu bisa menjadi pengawas dan yang diawasi sekaligus.

Di sinilah letak persoalannya: individu di ruang publik kehilangan hak atas citranya sendiri. Mereka bisa direkam, dijadikan simbol kemiskinan yang tabah, atau bahkan bahan hiburan semata, tanpa diberi kesempatan untuk menentukan bagaimana diri mereka direpresentasikan. Dan lebih parah lagi, mereka sering kali tidak pernah tahu bahwa hidup mereka telah menjadi konsumsi orang-orang yang bahkan tidak mereka kenal.

Maka yang terjadi di ruang publik saat ini bukan sekadar kontrol dari atas ke bawah, melainkan peer-surveillance—pengawasan yang dilakukan oleh warga terhadap sesamanya. Kita tidak hanya diawasi oleh kamera CCTV, tetapi juga oleh lensa ponsel orang asing yang bisa merekam, mengunggah, dan membuat kita viral dalam sekejap.

Baca juga:

Fenomena orang-orang yang direkam tanpa izin dan dijadikan konten adalah manifestasi konkret dari realitas Post-Panopticon. Pengawasan tidak lagi dilakukan oleh “institusi resmi,” melainkan oleh siapa saja yang memiliki perangkat digital. Tidak ada lagi menara pengawas, karena setiap inci ruang publik telah menjadi arena pengintaian yang cair.

Poverty Porn dan Kapitalisasi Empati

Salah satu bentuk eksploitasi ruang publik yang paling kentara adalah fenomena poverty porn—perekaman dan penyebaran gambar atau video orang miskin dengan tujuan membangkitkan simpati, tetapi dalam praktiknya justru mengobjektifikasi mereka.

Dalam logika poverty porn, orang miskin tidak memiliki agensi atas narasi hidup mereka. Mereka tidak dilihat sebagai individu dengan kompleksitas sosial, melainkan sebagai elemen visual yang berfungsi untuk membangkitkan rasa iba. Seorang anak yang menjajakan tisu di lampu merah, seorang pemulung yang tersenyum di tengah kepulan debu, atau seorang nenek tua yang berjalan sendirian di trotoar—mereka semua direkam, diberi narasi moralistik, lalu dijadikan konten yang diproduksi dan dikonsumsi oleh kelas menengah digital yang ingin merasa lebih bersyukur atas kehidupannya sendiri.

Logika ini memiliki implikasi yang serius. Pertama, ia melanggengkan ilusi bahwa kemiskinan adalah sesuatu yang ‘indah’ atau ‘inspiratif’, bukan sebagai akibat dari struktur ekonomi dan kebijakan yang timpang. Kedua, ia mengalihkan tanggung jawab sosial dari perubahan sistemik menjadi sekadar konsumsi emosional. Dengan menekan tombol like, orang merasa telah berpartisipasi dalam ‘kebaikan’, padahal yang mereka lakukan hanyalah mengamplifikasi narasi tanpa memberikan solusi nyata.

Sering saya menemukan konten dengan caption: “Bersyukurlah dengan hidupmu, lihatlah mereka yang masih bisa tersenyum meski serba kekurangan“. Hal ini membawakan kita pada suatu tafsiran bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami sebagai hasil dari sistem ekonomi yang timpang, tetapi sebagai samsak moral bagi mereka yang ingin merasa lebih baik tentang hidupnya.

Sebuah foto yang menyentuh hati bisa membuat orang tersentuh sesaat, tetapi setelah itu, tidak ada yang berubah. Dalam konteks poverty porn, yang terjadi bukanlah peningkatan kesadaran sosial, melainkan reproduksi pasif dari ketidakadilan yang sudah ada.

Sebagaimana dikatakan oleh Susan Sontag dalam On Photography, citra memiliki kekuatan untuk membentuk dan mendistorsi realitas. Sebuah foto atau video yang diunggah ke internet bisa saja menampilkan seseorang dengan wajah tersenyum di tengah keterbatasan, tetapi apakah senyum itu benar-benar berarti kebahagiaan? Atau justru itu adalah senyum yang dipaksakan, yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan narasi yang disematkan oleh sang perekam?

Orang yang Bahagia Juga Bisa Jadi Korban

Yang lebih ironis, eksploitasi di ruang publik ini tidak hanya terjadi pada mereka yang hidup dalam kesulitan ekonomi. Bahkan kebahagiaan pun bisa menjadi objek tontonan yang tidak berizin.

Seseorang yang duduk sendirian di angkringan, pasangan yang tertawa lepas di kafe, atau seorang pria dengan pakaian nyentrik yang menikmati harinya—mereka semua bisa tiba-tiba menjadi viral hanya karena ada yang merasa tingkah laku mereka ‘unik’, ‘lucu’, atau ‘menghibur’. Dalam kasus-kasus semacam ini, perekam sering kali tidak memiliki niat buruk. Tetapi persoalannya tetap sama: mereka merekam tanpa izin, mengubah seseorang yang sedang menikmati hidupnya menjadi bahan konsumsi massal, lalu membiarkan ribuan komentar dari orang asing menentukan bagaimana individu itu seharusnya dipahami.

Richard Sennett, dalam The Fall of Public Man, mengingatkan bahwa ruang publik seharusnya memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri tanpa takut kehilangan kontrol atas identitasnya. Tetapi yang terjadi sekarang adalah sebaliknya: ruang publik justru menjadi tempat di mana siapa saja bisa direduksi menjadi sekadar meme atau fenomena viral.

Dalam ekosistem digital ini, tidak ada yang benar-benar aman. Orang miskin dijadikan bahan bersyukur, orang bahagia dijadikan bahan hiburan, dan semua orang berada dalam risiko menjadi objek tontonan tanpa persetujuan.

Mengembalikan Etika di Ruang Publik

Jika ruang publik telah berubah menjadi panggung voyeurisme digital, maka bagaimana kita bisa mengembalikan martabatnya?

Pertama, kita harus memahami bahwa ruang publik bukan hanya tentang kebebasan bergerak, tetapi juga tentang etika dalam berinteraksi. Hanya karena seseorang berada di ruang publik, tidak berarti kita memiliki hak untuk mengabadikan mereka tanpa persetujuan.

Kedua, kita perlu mengubah cara kita memahami empati. Empati yang sejati bukanlah sekadar merasa iba setelah menonton video viral, melainkan bertanya: apa yang bisa saya lakukan untuk mengubah keadaan ini? Jika kita benar-benar peduli pada kemiskinan, maka yang perlu kita lakukan bukan merekam, melainkan mendukung kebijakan yang mengurangi ketimpangan sosial.

Ketiga, kita harus mulai menghargai hak individu atas citra dan narasi hidupnya sendiri. Setiap orang memiliki hak untuk menentukan bagaimana dirinya direpresentasikan. Dan yang lebih penting, setiap orang berhak untuk tidak menjadi konten.

Pada akhirnya, dunia digital telah membawa kita pada dilema baru: bagaimana menjaga batas antara berbagi dan mengeksploitasi? Bagaimana memastikan bahwa ruang publik tetap menjadi ruang kebersamaan, bukan sekadar arena pengawasan massal? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Muhammad Haidar Sabid A
Muhammad Haidar Sabid A Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email