Dies Irae

Nirmata Wanalema

2 min read

Hari itu matahari bersinar tanpa ampun, seperti satu mata raksasa yang marah menatap bumi. Tapi di dalam kamar kecil apartemennya yang sempit, Rum duduk membatu di pinggir ranjang, menatap layar ponsel yang berkedip-kedip. Dunia, katanya, akan berakhir besok. Ada benda asing mahabesar, entah asteroid, entah mata raksasa, yang meluncur cepat ke arah bumi. Dan tidak ada yang bisa menghentikannya.

Berita itu mengalir seperti kabut gelap ke seluruh kota, dan orang-orang bereaksi seperti hewan-hewan tak berakal: berlarian tanpa arah, merampok swalayan, memeluk orang yang mereka cinta. Sebagian berdoa keras-keras, sebagian lagi mabuk sampai pingsan.

Di kamarnya, Rum hanya memandangi cincin perak di jari manisnya. Di tengah kekacauan itu, satu pikiran mengunci Rum: Das. Besok seharusnya hari pernikahan mereka. Undangan sudah tersebar, baju pengantin tergantung di lemari, kue bertingkat sudah dipesan. Tapi semua itu kini terasa sepele, di hadapan kiamat yang semakin dekat.

Dengan jaket tipis menempel di tubuhnya, Rum berjalan pelan menuju rumah orangtua Das, menabrak manusia-manusia panik di sepanjang jalan. Namun, sesampainya di sana, rumah itu kosong. Jendela-jendela terbuka, tirai berkibar liar. Seolah rumah itu bukan lagi tempat tinggal, melainkan cangkang kosong yang ditinggalkan semut-semut yang tahu lebih dulu tentang akhir dunia.

Pikiran Rum melompat cepat. Ia tahu di mana harus mencarinya. Ada sebuah taman. Taman kecil dan sepi yang terjepit di antara sebuah masjid tua dan gereja kecil berwarna batu kapur. Setiap pagi suara azan dan gema lonceng bersahutan di taman itu, seperti sebuah percakapan yang entah bagaimana, terasa memilukan. Tempat di mana Das, tanpa dia sadari, telah meninggalkan sebagian dirinya.

Rum menemukan kekasihnya di sana. Das duduk di bangku kayu, mengenakan sweater abu-abu yang lusuh, dan tampak seperti potongan kenangan yang tak pernah selesai ditulis. Dia menangis.

Rum berjalan mendekat, napasnya berat seperti gravitasi menarik dadanya ke tanah. Das tidak menyadari kehadiran Rum, hingga Rum duduk di sampingnya. Lalu tanpa kata, Das bersandar ke bahu kekasihnya, seperti seseorang yang akhirnya menyerah terhadap kerapuhan dirinya sendiri.

“Aku minta maaf,” bisik Das, hampir tak terdengar.

Rum tidak menjawab. Das tahu, kata-kata tidak berguna lagi ketika dunia runtuh di sekitarmu. Angin bertiup aneh, membawa bau debu dan karet terbakar. Di kejauhan, sirine meraung, memekakkan telinga lalu menghilang begitu saja.

Dalam hatinya, Rum tahu. Das juga mencintainya. Tapi cinta, sebagaimana banyak hal di dunia ini, tidak pernah tumbuh dengan utuh. Ada bekas luka, ada ruang-ruang kosong yang tidak bisa diisi hanya dengan komitmen untuk bersama. Rum tahu, di dalam dada Das, masih berdenyut nama yang lain—sebuah bayangan yang selalu tampak saat ia melihat ke taman itu. Sebuah ruang tunggu, bagi setiap pasangan yang terlalu berbeda untuk bisa bersatu.

Rum memeluk Das. Rum memeluknya seolah Rum bisa menghentikan waktu, menambal dunia yang pecah. Ia memeluk Das, meski tahu bahwa cintanya masih dan akan selalu tak pernah utuh.

“Aku tahu,” kata Rum pelan, “aku tahu semuanya.”

Das menangis lebih keras, tubuhnya bergetar hebat seperti daun disapu badai.

Di atas mereka, langit mulai retak. Garis-garis merah membelah biru pucat, seperti urat-urat darah pecah di bawah kulit langit. Tapi taman itu tetap hening. Masjid tetap berdiri, gereja tetap membisu. Seolah waktu memilih berhenti di tempat itu sedikit lebih lama.

Rum mencium rambut Das, menghirup aromanya, aroma sabun murah dan sisa air mata. Ia tahu, sebentar lagi semua ini akan berakhir—rasa sakit, cinta, kehilangan. Segala yang terasa begitu menyesakkan itu, tak sebanding di hadapan hari akhir yang sudah pasti.

Dan saat dunia runtuh, mereka tetap duduk di bangku kayu itu. Memeluk kehampaan dan kebenaran yang telanjang, sambil diam-diam, dalam hati masing-masing, berterima kasih karena pernah mencintai, dan dicintai, meski tidak pernah utuh.

“Aku mencintaimu,” kata Das sambil terisak.

Rum hanya tersenyum. Rum tahu, perempuan, bahkan sampai kiamat datang, masih bukan tentang apa yang dia ucapkan. Matanya. Mata perempuan, selalu berkata lebih lantang dari bahasa.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Nirmata Wanalema

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email