Pohon-pohon gersang di sana. Tanahnya kering. Tak ada air sedikit pun. Tak ada manusia. Hanya dia seorang dan enam raksasa yang saling baku hantam. Dari enam raksasa itu bentuknya berbeda-beda. Raksasa yang pertama bertubuh kurus, berambut gondrong, dan bercula satu di atas kepalanya, sedang melawan raksasa bertubuh gendut dan berkepala babi, di tangan kanannya menggenggam kapak. Raksasa yang ketiga bermata satu, mulut, dan hidungnya moncong seperti kuda, raksasa itu sedang bertarung dengan raksasa berkulit hitam pekat dan lidahnya sangat panjang menjulur ke bawah hingga dada. Dan raksasa yang kelima dan terakhir berwajah normal seperti manusia, hanya saja di pantat kedua raksasa itu memiliki ekor yang panjang. Dan di ujung ekor itu, ada semacam senjata yang biasanya digunakan untuk berperang. Bentuk keduanya berbeda. Yang satu berbentuk bola besi disertai duri-duri yang menonjol di sisinya, sementara di ujung ekor milik raksasa lawan bertarungnya berbentuk tombak.
Dia gemetar ketakutan, ke mana dia harus meminta pertolongan, sementara dia hanya sendirian di sana? Tak ada seorang pun. Di sisi lain, dia juga kebingungan, bagaimana mulanya dia bisa berada di sini, bukannya tadi dia sedang membaca buku di perpustakaan daerah? Dia tak tahu lagi harus apa dan bagaimana, dia mencoba menutup matanya dan menyumbat lubang telinganya dengan ke dua tangannya. Tiba-tiba dia teringat sebuah masa lima belas tahun silam, di mana dia masih berumur lima tahun. Saat itu dia selalu merasa aman, tidak ada ketakutan yang mengancam dirinya, sekalipun ada, di dekatnya akan orang-orang yang melindunginya. Semasa kecilnya, dia selalu dekat dengan kakeknya. Ketika ada bahaya atau masalah yang mengganggunya, yang pertama dia panggil adalah nama kakeknya.
Pernah satu saat ada seekor kucing betina yang mencakar pipinya sebab dia mengelus-ngelus anak kucing itu. Dia menangis dan menjerit sambil memanggil nama kakeknya. Kakeknya datang dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Lalu, kakeknya hanya tersenyum ketika melihat seekor kucing yang menyusui anak-anaknya yang dipinggir kucing itu ada dirinya sedang menangis dan memegangi pipinya yang berdarah sebab cakaran kucing. Kemudian kakeknya masuk ke dalam untuk mengambil kain sebagai perban untuk menutupi darah yang mengalir di pipinya.
“Dia hanya mencoba untuk melindungi anaknya. Tidak ada sekali pun niat jahat untuk melukaimu. Karena hakikatnya hewan itu hanya memiliki hati, tidak dengan akal pikiran. Kucing itu menggerakkan seluruh tubuhnya melalui perintah dari hatinya. Karena kucing itu mencintai anak-anaknya, jadi dia mencoba melindungi anaknya dari seluruh marabahaya. Berbeda dengan manusia, selain memiliki hati, manusia juga memiliki akal pikiran, manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Tetapi sayangnya, manusia selalu mengotori hatinya dengan seluruh isi pikirannya. Makanya kita harus berhati-hati, jangan sampai kita menodai hati kecil ini.”
Kakeknya menyentuh dadanya dengan jari telunjuk. Dia hanya sesenggukan menyelesaikan sisa tangis. Tak mengerti dengan seluruh apa yang dikatakan sang kakek. Tapi dia selalu tenang ketika kakeknya berbicara. Entah dari mana asal ketenangan itu, hingga membuat rasa sakitnya lenyap. Seumpama saat ini di sampingnya ada sang kakek, mungkin ketakutan dan kebingungan yang melandanya sekarang akan mereda. Tetapi sayangnya, saat ini dia sedang sendirian. Benar-benar sendiri.
***
Dia mencoba melepaskan kedua tangannya dari daun telinganya, dan mencoba membuka kedua matanya. Dia tersentak kaget dan otomatis memundurkan badannya beberapa langkah. Ternyata ke enam raksasa itu sudah berhenti bertarung, dan saat ini mereka telah berbaris rapi menyamping sambil menatap dirinya. Dia semakin ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Tak lama kemudian, enam raksasa itu perlahan-lahan berubah menjadi kepulan asap hitam yang mengambang di udara. Lalu, asap itu begitu cepat menghampirinya, dia terkaget dan langsung membalikkan badan dan berlari begitu kencangnya. Tetapi itu tak membuahkan hasil, sebagian asap itu keburu memasuki ke dua matanya hingga dia merasakan perih yang begitu dahsyat, dia mengerang, tetapi terus berlari. Tak lama, sebagian asap itu lagi memasuki tenggorokannya melalui mulutnya. Dia merasakan cekikan yang begitu mematikan hingga membuatnya memuntahkan cairan kental merah, tetapi dia terus berlari tak peduli. Lalu, sebagian asap hitam itu lagi, memasuki ke dua lubang telinganya, dia merasa seperti ada tombak kecil yang menusuk-nusuk daun telinganya. Dan terakhir, asap hitam itu menyelundup melalui lubang bawah celananya, dan dia merasakan seperti ada benturan yang begitu dahsyat menerpa benda di bawah pusarnya. Dia tak sanggup lagi berlari. Dia terjatuh. Terkapar layaknya bangkai onta di tengah gurun pasir.
***
“Mas, mas, bangun! Perpustakaan sudah mau ditutup!”
Dia tersentak bangun dari tidurnya, mencoba mengucek-ngucek kelopak matanya. Petugas perpustakaan itu berkata lagi.
“Bangun, mas. Sebentar lagi perpustakaan akan ditutup. Anda boleh berkunjung lagi besok.” Kemudian petugas perpustakaan itu pergi.
Dia masih tak percaya, mencoba mengucek-ngucek lagi matanya. Ternyata benar. Hanya mimpi. Dia merasa hanya kelelahan setelah membaca buku-buku Jean-Paul Sartre. Namun di sisi lain, dia masih tak percaya. Kejadian itu seperti terasa nyata. Tapi dia berusaha untuk menghapus semuanya. Dia bangun dari kursi tempatnya membaca, lalu meletakkan buku yang berjudul The Age of Reason di rak buku Filsafat dan Sastra.
Dia keluar dari perpustakaan daerah itu, tapi tak segera pulang menuju rumahnya. Mencoba duduk di kursi yang tersedia di pinggir lorong depan perpustakaan. Menyalakan rokok yang sempat dimatikannya tadi sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Dia memang sering berkunjung ke perpustakaan daerah itu, namun bukan berarti dia hobi membaca. Dia pergi ke sana hanya untuk menenangkan pikirannya. Karena di sana sepi pengunjung, dia merasa di sanalah tempat paling nyaman untuk bersembunyi dari keramaian. Termasuk keramaian isi kepalanya, keramaian isi hatinya.
Tiba-tiba dia terkaget ketika mengingat sesuatu yang terjadi di dalam mimpinya. Dia mematikan rokoknya dengan cara menggosokkannya ke tiang besi di sampingnya, dan mulai berpikir, siapa sebenarnya kakek yang diingatnya di alam mimpi tadi, padahal sejak kecil dia tak pernah didampingi dengan seorang kakek. Dia hanya dibesarkan oleh seorang perempuan yang dia tahu, bukanlah ibu kandungnya sendiri. Dia juga merasakan sedikit sakit pada bagian-bagian yang tadinya dimasuki asap hitam di alam mimpinya itu. Dia menerka-nerka tentang apa maksud dari sebuah mimpi itu. Namun dia mencoba menghalau semuanya. Dia beranjak dari kursi itu dan hendak pulang ke rumahnya karena langit mulai petang dan mungkin akan turun hujan. Tapi ternyata tak semudah itu, di sepanjang trotoar, mimpi tadi terus mengusik kepalanya.
Benar, di tengah perjalanannya hujan turun lebat. Dia melihat ada toko di pinggir jalan yang sedang tutup, di depan toko itu ada seorang gelandangan. Dia terpaksa duduk di sampingnya untuk berteduh. Karena hujan semakin deras.
***
Dia terbangun dari tidurnya, menoleh ke arah sekitarnya. Dia merasakan sesuatu begitu menjanggal. Bagaimana mungkin? Padahal baru saja tadi dia berteduh di depan toko pinggir jalan saat hendak pulang ke rumahnya. Sekarang dia berada di sini lagi, di tempat saat dia bertemu dengan enam raksasa yang bentuk-bentuknya begitu aneh.
Dia berdiri dari tidurnya, mencoba berjalan beberapa langkah. Tak lama, dia merasa tubuhnya semakin membesar, terus membesar, hingga dia tersadar saat ini tubuhnya sudah menjadi raksasa yang bertubuh kurus, berambut gondrong, dan bercula satu di atas kepalanya. Saat tubuhnya menjadi raksasa, dia kehilangan kendali atas dirinya. Dia mengamuk, menghantam segala yang ada di sisinya, sampai dia kelelahan dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Lalu, tubuhnya mengecil, semakin mengecil hingga kembali seperti semula, akan tetapi, rasa sakit itu merajalela di seluruh tubuhnya. Hingga membuatnya terkapar dan tak sadarkan diri lagi.
***
“Bang, bang. Bangun, bang, hujannya sudah reda, barangkali mau beranjak pulang…”
Gelandangan yang tadi dia bentak gara-gara meminta makanan kepadanya mencoba membangunkannya.
Dia terbangun. Mengucek-ngucek kedua matanya. Dia merasa keanehan ini tak bisa jika harus dihalau lagi, ini bukanlah sebuah mimpi. Ini seperti kehidupan dua dunia yang saling berkaitan yang harus diselaraskan. Dia membuka tas yang dibawanya. Mengambil sebungkus roti, dan memberikannya kepada gelandangan itu.
*****
Editor: Moch Aldy MA