“Ini adalah kali kedua saya memilih Pak Presiden,” kata lelaki berkemeja putih yang mengambil tempat duduk di sampingku. “Jika sang Jenderal masih tak mampu mengalahkannya, mungkin ia harus menembak kepalanya sendiri dari pada hidup menanggung malu.”
Lelaki itu tersenyum padaku. Aku kira ia sedang berbicara kepada seseorang. Aku menoleh sekeliling tapi semua orang terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak seorang pun selain diriku yang memperhatikannya barusan berbicara. Gadis bermasker yang bermain gim ponsel di samping kiriku berteriak girang. Ia naik level permainan Angry Bird.
“Nama saya Budiman,” ia tersenyum. Aku meraih tangannya dan memperkenalkan namaku juga.
“Sudah lama, Bung?” Ia bertanya lagi.
Aku mengangguk.
“Saya datang ke sini pagi-pagi. Pukul 8,” kataku.
“Wah sungguh warga negara yang baik,” lelaki itu tersenyum pada seorang nenek yang memberi tabik dan merapikan kursi untuknya, “duduk di sini, Nek. Ayo silakan.”
Sepertinya ia orang yang ramah.
“Ya. Banyak orang mengatakan saya seorang yang ramah. Tapi bagi saya ini hanyalah etika dasar saja. Setiap warga negara wajib menghormati orang tua,” ia berbisik sebentar kepada si nenek di samping kanannya lalu kembali kepadaku. “Sudah dipikirkan matang-matang pilihannya, Bung?”
Dipanggil dengan sebutan Bung sedikit menggangguku. Aku adalah seorang mahasiswa tapi aku tak pernah bergabung dengan organisasi kiri atau bersimpati dengan slogan-slogan nasionalis, kamerad, atau omong kosong semacamnya.
“Maafkan saya,” ia tertawa kecil, “ini mungkin pengalaman pertama Bung memilih… Hmm… Dinilai dari penampilan, Bung nampaknya seorang mahasiswa. Intelektual muda, semester awal, dan tertarik pada hal-hal yang berbau politik.”
“Ya, Anda benar,” kataku. “Tapi saya baru melihat Anda di sekitar sini,” aku mencoba menjauhkan topik tentang diriku.
“Semua orang yang bertemu dengan saya akan mengatakan itu,” katanya. “Saya bekerja di luar kota… Ah tidak. Saya bukan seorang konsultan politik. Saya kembali ke lingkungan ini semata karena hak pilih saya terdaftar di TPS ini. Sebagai warga negara yang baik saya harus ikut menyukseskan pesta demokrasi. Mengenai pekerjaan saya, lebih baik kita tak usah bicarakan…”
Bukan sebuah kebetulan kalau ia berusaha menolak sebutan konsultan politik. Itu karena aku mengira-ngira lelaki ini memang berprofesi demikian. Budiman berusia sekitar lima puluhan. Ia memiliki rambut klimis disisir ke belakang dan guratan-guratan usia paruh baya melingkar di bawah matanya. Dari caranya berbicara, juga fakta bahwa ia telah berulang kali menebak pikiranku membuat aku tak bisa tidak mengaitkannya dengan pekerjaan sejenis itu.
Tiga orang terlihat keluar dari bilik suara. Aku mengenali seorang di antaranya sebagai Bu Dammi, penjual pecel di sekolah dasar tempatku sekolah dulu. Bu Dammi memberi tabik dan tersenyum padaku. Petugas TPS lalu memanggil nama lain.
“Orang-orang seperti mereka hanya menjadi benalu bagi demokrasi,” lelaki itu berkata sinis. “Saya tak pernah bisa memahami bahwa hari ini pilihan kita masih ditentukan oleh preferensi agama.”
Aku mengangguk. Ibuku membangunkanku pagi-pagi sekali hanya untuk ini. Meski ia yakin bahwa kami sekeluarga akan memberikan suara kepada sang Jenderal tapi sampai saat ini aku belum menentukan pilihan. “Pilihlah yang kepadanya ulama menjatuhkan pilihan, Nak,” pesan ibuku di pintu.
Tetapi bagaimana mungkin lelaki itu bisa tahu pilihan Bu Dammi dan dua orang yang lain? Apa ia sekadar iseng menebak atau sungguh punya kemampuan membaca pikiran orang.
“Sepertinya sang Jenderal akan menang telak di wilayah ini,” kataku coba menguji pendapat sendiri.
Lelaki itu memandangiku aneh.
“Di permukaan memang nampaknya seperti itu. Dan adalah sebuah kenyataan memalukan yang harus dijalani bangsa kita setelah tujuh puluh tahun lebih merdeka, ketika kemajuan pembangunan fisik di segala sektor kehidupan justru meninggalkan perkembangan pikiran di belakang.” Lelaki itu memperbaiki duduknya, terlihat lebih serius. “Seperti yang saya katakan tadi, Bung. Problem kita hari-hari ini adalah begitu senangnya melibat-libatkan Tuhan untuk urusan sepele. Para elit politik tahu itu, lalu mereka memanfaatkannya. Bung tahu ketika hasrat berkuasa bertemu dengan kekuatan konservatif agama maka awan kegelapan akan menggelayuti sebuah negeri.” Ia mengepalkan kedua tinjunya, lalu berbisik, “kita bisa bayangkan Indonesia ke depannya bila pemerintahan dipimpin oleh…”
“Tapi, bukankah di pemilu kali ini semua calon sedang berlomba-lomba menarik simpati umat beragama?” Sesuatu dalam diriku memaksaku memotong pembicaraannya. “Mereka tampil di televisi, kampanye dengan berlomba terlihat saleh…”
Gadis yang mengenakan masker di sampingku tergelak. Tapi sepertinya bukan karena percakapan kami. Gadis itu pasti naik level permainan lagi. Meski begitu Budiman nampak tersinggung. Ia berdehem dan melemparkan pandangan tak senang sampai si gadis menyadarinya dan memberikan anggukan permintaan maaf. Setelah berhasil membuat si gadis menyesal Budiman segera melompat kembali ke pembicaraan kami.
“Hmm, itu benar,” ia merapikan letak leher kemejanya dan berdehem sekali lagi. “Tapi ini adalah langkah politik yang dibutuhkan.” la melafalkan ‘dibutuhkan’ dengan hati-hati dan penuh penekanan. “Pada akhirnya politik tetaplah kembali pada definisi pragmatisnya, upaya menggalang dukungan. Kita tahu, bila Pak Presiden tak melakukan konter segera, maka anasir-anasir konservatif akan memenangkannya. Dan Bung tahu artinya itu, kemunduran bagi demokrasi. Kenyataannya, perebutan suara umat Islam ini merupakan medan penyelamatan demokrasi. Apakah Bung bisa bayangkan Suriah baru, Yaman baru, konflik Timur Tengah yang berkepanjangan itu terjadi di negara kita? Tidak, saya tidak menyatakan bahwa inilah yang terbaik. Bung mungkin berpikir saya sedang berapologi, tapi saya tidak akan malu-malu mengatakan di mana saya berpihak. Saya berdiri di sisi demokrasi.”
Entah sudah berapa banyak kata demokrasi berhamburan keluar dari mulut Budiman, aku tak sempat menghitungnya. Yang menakjubkan, ia menjawab lebih cepat dari proses pengolahan informasi di otakku. Maksudku, butuh waktu sepersekian detik untuk setiap gagasan dalam kepalaku untuk mengaktual keluar, dalam wujud verbalnya. Aku bahkan belum menemukan kata-kata yang pas, ketika ia telah mengantisipasi semua pikiran-pikiranku.
“Demokrasi menghargai ketidaksempurnaan,” Budiman menaruh tangannya di pundakku. “Saya tahu Bung sulit menerima kenyataan ini, tapi percayalah, kita di sini bukan untuk memilih yang sempurna. Dalam politik tak ada yang betul-betul baik seluruhnya, jahat seluruhnya. Indonesia masihlah dalam tahap membangun. Satu periode tak cukup bagi Pak Presiden untuk membawa bahtera bangsa kita berlayar ke masa depan, berdiri sejajar dengan bangsa lain. Tapi lihatlah sekeliling, berapa banyak pencapaian-pencapaian pembangunan infrastruktur. Pembangunan bandara, pusat bisnis, investasi, lapangan kerja…”
“Tol laut,” tambahku. Lelaki itu mendorong telunjuknya mendekati mukaku seperti bilang tepat sekali. Ia lalu memperhatikan sekeliling dan menurunkan volume suaranya. “Berapa harga yang harus bangsa ini bayar bila kita menyerahkan kepemimpinan ke tangan pelanggar HAM? Jangan pura-pura tidak tahu,” suaranya makin berbisik, “di masa lalu fasisme negara membunuh ratusan ribu orang, sementara di depan sana, orang yang sama, jenderal yang sama mengundang fasisme agama untuk bersekutu. Saya katakan kepada Bung, inilah sikap terbaik yang saya percaya tentang politik sampai hari ini. Kita memilih untuk mencegah yang terburuk berkuasa.”
Petugas TPS memanggil namaku. Aku menyiapkan berkas pemilihku dan memohon undur dari kuliah politiknya. Terakhir, Budiman berpesan bahwa masa depan bangsa ini ditentukan oleh generasi muda seperti kami.
“Saya harap Bung tak kehilangan optimisme. Orang-orang tua kalian sudah memasrahkan segala urusan kepada Tuhan, sementara kalian masih percaya kekuatan sendiri. Kalian percaya demokrasi.”
Kata-katanya berputar-putar seperti sekawanan lebah di kepalaku, membayang hingga ke bilik suara. Dari sudut mataku aku bisa merasakan ia terus mengawasiku. Aku membuka kertas suara. Mengambil paku dan memikirkan kembali satu pertanyaan mengganjal. Apakah benar Bu Dammi yang selalu baik hati di sekolahku itu adalah benalu demokrasi? Apakah hanya karena ia memilih berdasarkan pertimbangan agama lantas dianggap tidak pantas bagi demokrasi? Aku memandangi Budiman sekali lagi, ia mengangkat jempol dan tersenyum kepadaku. Bisa jadi ia sedang membaca pikiranku, pilihanku saat ini juga.
Kuarahkan paku ke gambar pasangan calon presiden, para manusia terbaik yang akan menjadi penguasa di negeri ini. Sementara itu satu tanganku yang lain mengambil sebuah spidol dari kantong celanaku. Aku menutup mata dan mulai membayangkan masa lima, sepuluh tahun ke depan di bawah langit optimisme. Akan tersedia banyak lapangan kerja untuk kami semua, jalan-jalan tol menembus hutan, investasi baru. Aku membayangkan setiap orang bisa menjalankan agamanya dengan tenang, tanpa persekusi. Aku membayangkan ibuku tidak harus lagi dipersulit oleh administrasi yang berbelit-belit di kecamatan. Terakhir, aku membayangkan presiden baik hati yang berdiri di sisi rakyatnya. Sementara tanganku yang kanan mulai menggambar sesuatu di antara kedua calon pemimpin bangsa ini, seperti bergerak otomatis, tanpa beban. Sebuah gambar menyerupai rudal mengacung ke langit dengan telinga gajah di dasarnya. Persis yang dilakukan remaja yang mengklaim diri mereka anarkis di tembok-tembok lingkungan kami.
Aku meletakkan paku, dan melihat sekali lagi gambar itu. Aku melipatnya segera dan memasukkan ke kotak suara. Sebelum pulang aku menjabat tangan Budiman dan berterima kasih atas pencerahan politiknya yang mampu mengubah keputusanku pada saat-saat terakhir. Ia tersenyum mendengar kalimat “mengubah keputusan” dan berdoa agar aku sukses di masa depan. Aku pamit dan ia membuka kuliah baru untuk seorang buta di sampingnya.
Dalam perjalanan pulang aku melintasi lorong di mana anak-anak nakal sering berkumpul setiap malam. Mereka biasa mabuk dan kencing di tembok yang dipenuhi coretan-coretan cabul. Di sana aku bertemu dengan gadis bermasker tadi. Aku berdiri di sampingnya. Kami berdua menghadap tembok yang sama. Sesaat ia menyadari keberadaanku tapi tak acuh dan terus melanjutkan pekerjaannya mencoreti tembok dengan pilox. Di bawah tulisan Pemilu Tak Akan Menyelamatkanmu, dan sejumlah tulisan tak bermoral lainnya, si gadis bermasker menggambar sebuah roket yang mengacung ke langit, dengan telinga gajah besar di bawahnya. Persis yang kulakukan tadi, persis yang dilakukan hampir semua anak muda seumuran kami. Gadis itu dengan geram menulis besar-besar enam huruf kapital di bawahnya beserta sepasang tanda seru.
KONTOL!!
Gadis bermasker tertawa dan segera berlalu. Aku jadi teringat optimisme yang dititipkan Budiman kepadaku, mungkin juga kepada gadis bermasker itu, kepada semua yang disebut generasi masa depan. Aku mencoba untuk tidak tertawa tapi tak bisa. Aku harap Budiman tak akan kehilangan harapan setelah melihat ini semua.
***
Editor: Ghufroni An’ars