Da Nof dan Kadai Amak

dessy liestiyani

4 min read

Sudah lama aku menjadi langganan Kadai Amak. Kedai itu berlokasi hanya beberapa langkah dari tempatku tinggal di Bukittinggi; sebuah kota kecil di Bumi Sumatera. Dalam bahasa Minangkabau, ‘kadai’ artinya kedai, warung makan. Sementara kata “amak” sendiri biasanya menjadi panggilan untuk ibu.

Bisa jadi, Kadai Amak merupakan penamaan yang diberikan pemiliknya, Nofrizal, untuk mengingat sang ibu. Bukankah biasanya nama tempat usaha disesuaikan dengan nama pemiliknya? Tapi sejak berdirinya Kadai Amak, aku tidak pernah menjumpai ada seorang amak di sana. Hanya Uda Nof atau Da Nof; demikian aku memanggilnya.

Tampilan bangunan Kadai Amak sederhana saja. Bangunannya terdiri atas rangka kayu bercat biru, dengan spanduk caleg yang menutupi sebagian besar dinding luarnya. Orang yang melintas pertama kali pasti menyangka kedai itu merupakan basis partai politik tertentu. Padahal tidak demikian.

Da Nof sepengetahuanku sama sekali tidak tertarik dengan dunia politik. Aku sempat menduga sang caleg di spanduk itu adalah kerabat atau teman dekatnya. Aku heran, kok ia mau saja “menghias” tempat usahanya dengan spanduk-spanduk itu.

 “Jan di cacek spanduk caleg yang ado ko. Satiok ambo mambaco spanduk ko jadi bahan untuk ambo selalu berlaku jujur, amanah, dan peduli,” ujarnya sambil menunjuk spanduk yang menutupi dinding kedai sebelah kiri; gambar seorang bapak berkumis yang mengepalkan tangan kanannya tepat di sebelah tulisan “jujur, amanah, peduli”.

Aku mengangguk-angguk; berusaha memaklumi jalan pikirannya yang melarangku untuk mencela spanduk-spanduk caleg. Da Nof merasa, spanduk itu menjadi pengingatnya setiap saat untuk menjadi manusia yang baik; manusia yang jujur, manusia yang amanah, dan peduli.

Tentu saja sempat terbersit keinginan untuk mengatakan bahwa kata-kata di spanduk yang dianggapnya baik itu, bisa jadi hanya bualan sang caleg belaka. Namun, aku tersenyum saja. Malas mendebatnya.

Biar sajalah, kalau itu bisa membuatnya bersemangat dan termotivasi. Aku membatin. Lagipula setiap orang juga butuh motivasi dari hal-hal yang mereka yakini. Mulai dari poster pahlawan di ruang tamu, poster tokoh agama, atau bahkan spanduk caleg. Tak ada bedanya kalau dipikir-pikir.

Bukan hanya sekali-dua kali Da Nof membuat keningku berkerut. Sejak Kadai Amak buka pertama kali, aku mengamati betul bagaimana Da Nof menjalankan bisnisnya ini. Seingatku, Kadai Amak sudah lebih sepuluh tahun juga usianya. Dan selama sepuluh tahun itu, aku merasa Da Nof tidak bisa menempatkan hal-hal apa yang seharusnya diprioritaskan dalam pengembangan bisnisnya.

Seperti yang kuceritakan sebelumnya, penampakan Kadai Amak sangat sederhana. Tidak hanya tampilan bagian luarnya, namun juga interior di dalamnya. Hanya ada empat meja makan berukuran sedang, serta kursi-kursi plastik beraneka warna yang mengililinginya.

Dulu, warna-warni kursi itu cukuplah membuat interior kedai agak meriah. Namun saat ini tentu saja, tak hanya warnanya yang semakin pudar termakan usia, namun lapuk pula keseimbangannya.

Tapi Da Nof sepertinya tidak terlalu peduli dengan kenyamanan orang-orang yang datang ke kedainya. Kalaupun ada pengunjung yang terjatuh dari kursinya, ia cukup menumpuk kursi rusak itu dengan kursi plastik lainnya, untuk kemudian dipergunakannya lagi.

Aku sempat berpikir ia belum memiliki modal yang cukup untuk mengganti kursi-kursinya itu. Namun, dalam waktu sepuluh tahun ini, Kadai Amak disesakinya dengan dua lemari kaca baru, satu kulkas minuman, dan satu pendingin es.

Mengapa Da Nof tidak membeli kursi baru? Tidak seperti spanduk caleg yang menutupi dinding kedainya, kali ini aku enggan bertanya padanya.

Termasuk ketika kemudian Da Nof mengurangi beberapa menu makanan dan minuman di kedainya, aku pun malas menanyakannya.

Awalnya, Kadai Amak menjual cukup banyak jenis makanan dan minuman. Jika Anda memasuki kedainya, Anda akan melihat gambar-gambar makanan dan minuman penggugah selera yang mendominasi dindingnya.

Ada gambar sepiring nasi goreng berwarna cokelat kemerahan dengan telur ceplok di atasnya. Ada juga gambar roti burger tiga tingkat dengan daging super tebal dan keju yang meleleh-leleh, serta semangkuk soto padang dengan kerupuk merah yang melimpah. Belum lagi gambar secangkir kopi hitam, minuman boba kekinian, dan jus alpukat dengan es krim vanila yang siap menjadi pasukan pemuas dahaga para pengunjung kedai.

Dulu, menu-menu itu memang tersedia di kedainya. Namun saat ini, Da Nof hanya menjual nasi goreng dan mie instan saja. Minumannya pun hanya tinggal kopi, teh, serta beberapa minuman kemasan saset dan botol. Aku menduga, pengurangan jenis menunya itu terkait dengan jumlah pengunjung kedainya yang sepengamatanku tidak terlalu banyak juga.

Walaupun demikian, Da Nof tidak menghilangkan gambar-gambar menu yang sudah tidak ia sediakan lagi. Gambar soto padang maupun burger tiga tingkat itu masih saja terpampang di sana. Ia hanya menggeleng, mengatakan ‘habis’ setiap kali ada pengunjung baru yang tergoda dengan salah satu gambar itu.

Lalu, buat apa menampilkan segitu banyaknya makanan tapi hanya satu-dua yang tersedia? Mengapa ia harus ‘menggoda’ selera pengunjung baru, yang bisa saja menjadi calon pelanggannya? Apakah ia tidak sadar bahwa ia sudah menghancurkan impian sang pengunjung yang sudah membayangkan lezatnya rempah soto padang menyandera indera perasanya? Dan lagi, apakah ia tidak capek setiap kali harus menjelaskan ke pengunjung mana menu yang habis dan mana yang tersedia? Seperti biasa, aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.

“Apa sih menu yang enak di sana? Standar saja semua rasanya. Tidak ada satupun yang menurutku istimewa. Kau saja yang selalu lapar! Pasti ada saja yang kau pesan. Padahal, kau bisa mengeksplor masakan lain yang lebih Minang, agar kau lebih terbiasa di sini.” Demikian suamiku mengolok-olokku setiap kali kami membicarakan Da Nof dan Kadai Amak-nya.

Sebenarnya aku sendiri juga bingung. Apa yang membuatku sering jajan di Kadai Amak itu? Apa iya aku selalu lapar? Atau, mungkin saja aku ‘belanja’ ke sana lebih untuk memuaskan rasa penasaranku melihat perkembangan bisnis Kadai Amak yang menurutku luar biasa?

Bagaimana tidak luar biasa. Kadai Amak bisa bertahan satu dekade ini; dihantam pandemi, dihantam kedai-kedai kopi kekinian yang tumbuh subur di kotaku. Kadai Amak bisa bertahan. Apa rahasianya?

Aku sempat berpikir Da Nof pakai jampi-jampi untuk kelangsungan usahanya. Aku sempat berpikir begitu, tentu saja. Tapi, Kadai Amak ini cenderung sepi pengunjung. Setiap kali aku melewatinya, belum tentu ada satu pengunjung di sana; tidak juga abang ojek online yang ngopi menunggu pesanan. Sepi. Tuduhan perdukunan itu pun akhirnya hilang begitu saja dari pikiranku.

Lalu, apa?

Dari segi rasa dan variasi menu jelas tidak bisa diandalkan. Dari segi penampilan kedai, apalagi. Berharap pengunjung datang dan nongkrong ngopi di sana? Aku rasa pengunjung juga enggan berlama-lama duduk di kursi-kursi lapuk itu.

“Rasaki satiok urang tu lah diatur samo Allah. Ciek urang se yang tibo makan di kadai ambo ko, ambo lah basyukur. Alhamdulillah. Yang pantiang ambo tetap bausaho, indak diam sajo do.”

Itu yang terucap oleh Da Nof ketika akhirnya aku tak tahan, dan menanyakan bagaimana ia bisa bertahan di bisnisnya ini bertahun-tahun. Da Nof mengingatkanku bahwa rezeki setiap orang sudah diatur Yang Maha Kuasa. Walaupun hanya satu orang yang makan di kedainya, ia tetap saja bersyukur. Yang penting berusaha, tidak diam saja, katanya.

“Tapi Da, jika sehari itu hanya ada pengunjung yang ngopi satu gelas, katakan berapa harganya? Lima ribu rupiah? Bagaimana lima ribu itu bisa mencukupi kebutuhan Da Nof setiap hari untuk beli rokok, atau menambah stok telur misalnya?”

“Bagaimana bersyukur saja bisa menenangkan hati jika realitanya, mungkin, hasil penjualan kedai belum cukup untuk membayar sewa, utang, dan kebutuhan lain di akhir bulan?”

“Apakah Uda tidak pernah merasa cemas jika beberapa hari tidak ada satupun orang yang datang ke kedai Uda?”

Ah, ingin sekali aku mengutarakan isi pikiranku itu padanya. Tapi kenyataannya, aku hanya mengangguk-angguk saja. Kali ini, bukan karena aku malas mendebatnya. Tapi sebagai perantauan dari Jawa, hmm… sebenarnya aku belum fasih benar jika harus berucap kalimat sepanjang itu dalam Bahasa Minang.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

dessy liestiyani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email