cinta pertama prahara seharga surga
cinta pertama natasha seharga dua ribu rupiah. dengan rayuan botol-botol beling kantin SMA dan sedotan mejikuhibiniu dan dua mata di seberang bibir botol beling, cinta pertama natasha mengantarnya pulang tiap hari. seperti ikan-ikan enggan mereka berlalu-lintas dalam naungan pelaut mesin dan balutan keringat ibukota. ciuman pertamanya ia terima di pesta sweet seventeen-nya. dengan sorak-sorai berpantulan dari balon ke balon, natasha kecil membayangkan cinta seperti pesta ulang tahun 24 jam. para tamu yang tak pernah pamit pulang. tangan yang tak lelah-lelahnya bertepuk. natasha tak peduli kalau matangnya cinta tak seperti pesta ulang tahun. cinta yang dipotong dari kain yang serupa tapi tak sama tetap akan ia terima. karena cinta pertama natasha yang seharga dua ribu rupiah berjanji menuntunnya untuk bersimpuh di hadapan suami. janji-janji pernikahan memastikan hatinya takkan pernah merantau ke luar rapalan imajinasi heteroseksual.
cinta pertama prahara seharga enam teman, sehari bolos sekolah, seporsi chicken wings, pacar laki-laki pertamanya di SMA, drama korea dan kisah kafilah-kafilah waktu. di antara contekan ulangan bahasa jepang ada potongan-potongan puisi untuk prahara. cinta pertama prahara menciumnya di parkiran plaza senayan, tak peduli akan ramalan tubuh remajanya yang terancam tumbuh menjadi tameng pendendam. hatinya hafal persis bagaimana lipatan rok sekolahnya tinggalkan topografi garis di lututnya ketika ia berlutut di tangga parkiran mal. rok yang sama ia tanggalkan di ranjang pacarnya. berbekal kuda-kudaan kuning yang merangkap sebagai kapal ajaib yang membawa boneka putri aurora dan cinderella, prahara kecil khayalkan cinta sebagai mercusuar melolong. ramalan untuk terus berdansa di tengah bencana. cinta pertama prahara seharga surga. betapa gemilangnya pencipta pertama yang terbuat dari pertanyaan. di antara porak-poranda penenun cipta, genangan cahaya pun bisa jadi rumah. sesungguhnya, perlukah cinta mengabdi jadi sekeping dosa?
–
do angels dream of sacrificial sons?
estafet bibir cinta mengantarkanmu pada kata “sembunyi.”
hati meniti ingin. kepalan tangan menolak pasrah.
bibir gemetar mengeja kata berani
ketika jantung siapkan diri ‘tuk sambut pukul.
perih mekar di pundakmu
prasangka keluarga hujani punggung
helaian rambutmu rontok genangi lantai.
tiap serpih kasih yang kau tawarkan terlempar jauh dari telinga mereka
tapi purnamamu tak mengenal putus asa.
bahkan ketika gaung-gaung gulita menguliti habis hatimu
saraf senantiasa mengampuni sejarah tiap kali kau bersujud.
meski bahasa enggan merangkul nama kami dalam arsipnya
langit terbelah pun tetap setia menaungi sujud tulusmu.
aku percaya tangan yang terulur tidak seharusnya meninju.
aku percaya pada sepasang tangan dari tuhan
yang diutus untuk pasang bentang kinesio tape di dadamu.
dari pengasingan anak-anak surga
lahir para pengembara ampun,
pemaaf bagi semua yang patuh,
pewarta rahayu dari segala yang patah.
tegarnya lidah lesbianku tak bertuhan
gigihnya lidahmu berkiblat di hadapan kasih
dengan langkah-langkah tidak sempurna
kau ajak aku melunak di ambang doa.
–
selamat pagi, jakarta
aku perhatikan dukacita dieja fasih kerut selimut
hidung manismu mencuat dari balik tangan
genggaman ghaibmu gigih taklukkan rasa aman
ikuti kapal-kapal kecil bergulir ke arah kejora mimpi
paginya kau akan bertanya kepadaku
sodorkan tangkapan layar di tangkupan tangan
“seperti inikah aku ketika pulas?”
seolah doa-doa tidur yang kutiupkan
takut lepas landas dengan tidak fotogenik
–
mimpi sate padang
malam ini mama menolak pulang / pintu kamarnya dikunci rapat / ketiga anaknya memaksa tidur / di luar kamar mama / mereka bertumpuk-tumpuk / dengan egois / siap siaga mengoyak saudara sendiri / demi secuil kasih sayang mama / si sulung mimpi main ayunan / tubuhnya terhempas / ke luar dunia mama / namun sebelum ia hancur lebur / tulangnya direkatkan kembali oleh es krim / bapak yang tergopoh-gopoh mengejar truk es krim / sulung tinggal menunjuk / sayangnya es krim berbentuk karakter kartun / sama tak terselamatkannya / seperti si sulung / setidaknya mimpinya tidak harus dibelah jadi dua / dibagi dengan adik-adik / si anak tengah mimpi sakit tenggorokan / sayup-sayup bujukan bapak / satu tenggak / dua tenggak / obat pahit yang merengek diminum /mama yang sudah kesurupan setan gengsi menukas, / “makan permen saja terus! / lihat saja nanti, nggak akan aku peduliin!” / dalam dada anak tengah / dendam dan marah memenjarakan suku kata / cita-citanya saat besar nanti / membalas ucapan mama / si bungsu mimpi makan sate padang / ia bersandar di kursinya / kursinya mengayun dari sepasang kaki depan / ke sepasang kaki belakang / si bungsu lupa kursinya bukan kuda-kudaan / “Subhanallah!” / mama mendelik garang.
mama membuka pintu kamar keesokan paginya / “lho, kalian dari kapan tidur di sini?”
–
once upon a prayer
sesekali aku ingat bagaimana cara berdoa
di ujung lidah mati baik dan benar
sesekali kupanjatkan doa seberat laut yang dibelah tuhan
saat aku berterima kasih, tuhan menjawab “kembali kasih.”
*****
Editor: Moch Aldy MA