I
Aku sudah lupa bagaimana rasanya menjadi manusia. Bukan. Bukan dalam artian biologis, sebab aku masih bernapas, darahku masih mengalir dari bilik kiri jantung ke aorta ke pembuluh nadi ke tubuh ke vena ke serambi kanan ke bilik kanan jantung, dan kulitku masih bisa merasakan panas-dingin seperti halnya manusia lainnya.
Aku sudah lupa bagaimana rasanya menjadi manusia dalam artian yang lebih mendalam, lebih fundamental. Dengan kata lain, aku sudah lama kehilangan apa yang disebut sebagai hati nurani, sesuatu yang mungkin pernah ada dalam diriku, barangkali pernah tumbuh di suatu masa yang jauh, tetapi kini telah layu dan hancur seperti bunga daisy yang dilibas lahar, tak berharga, tak bernilai, tak lebih dari serpihan debu yang diterbangkan angin malam.
Aku tidak tahu kapan tepatnya aku berhenti merasa sebagai manusia, kapan aku menjadi sinting seperti ini—menjadi sesosok bayangan yang berjalan di antara manusia tanpa benar-benar menjadi bagian dari mereka, makhluk yang tak mengenal belas kasih, yang tak lagi memandang nyawa sebagai sesuatu yang sakral, tetapi hanya sebagai sesuatu yang bisa dirampas, sesuatu yang bisa dihancurkan dengan begitu entengnya, dengan begitu sederhananya, seolah nyawa hanyalah angka yang bisa dikurangi sesuka hati.
Sejak kecil, aku belajar bahwa dunia ini adalah tempat bagi yang kuat. Yang lemah hanya ada untuk diinjak-injak. Aku memegang prinsip itu era-erat.
Oleh sebabnya, aku membunuh untuk pertama kalinya ketika masih begitu belia—lebih belia dari yang seharusnya seseorang mencabut nyawa orang lain, lebih belia dari yang bisa diterima oleh akal sehat, dan boleh jadi itulah sebabnya mengapa aku merasa, atau setidaknya pernah merasa, bahwa apa yang kulakukan pada saat itu bukanlah suatu kesakitjiwaan, bukan sesuatu yang fenomenal, tetapi hanya peristiwa biasa yang tak berbeda jauh dengan melempar batu ke sungai dan menontoninya tenggelam ke dasar, dan menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak yang berarti.
Korbanku yang pertama adalah seorang lelaki tua di sebuah gang sempit, seorang pemabuk yang mencoba mencuri uang dariku—yang nampaknya hampir tak punya apa-apa selain botol vodka di lengan kanannya, yang mungkin bahkan tidak lagi peduli apakah dia hidup atau mati, dan yang pasti tidak akan diingat oleh siapa pun setelah berputih tulang—dan aku menguliahinya dengan sembilan tusukan ke perut, melihat darahnya mengucur ke tanah seperti anggur merah yang tumpah dari gelas kristal, menatap matanya yang pada mulanya terbelalak berubah menjadi kosong, dan saat itu aku menyadari sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatku menggigil bukan sebab ketakutan, tetapi sebab lonjakan gairah yang absurd, sebuah kepuasan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah melangkah melewati batas dan tak tahu ke manakah jalan pulang.
Dan sejak itu, aku terus membunuh.
Aku tidak mengingatnya satu per satu secara detail. Tapi ada beberapa yang melekat di ingatanku: pemuda dengan senyum tolol di bar, yang mengira aku sedang bercanda ketika kutodongkan bedil ke kepalanya; perempuan muda di apartemen sepi, yang berlutut dan memohon dengan air mata bercucuran; lelaki berperut buncit yang sempat membogemku di pasar malam, yang di atas pusaranya kutanami pohon langka serta dilindungi sehingga tak ada seseseorang yang curiga, sadar, dan menggali.
Mereka semua mampus. Dan aku melanjutkan hidupku berpindah-pindah dari kota ke kota, meninggalkan jejak mayat di belakangku.
Satu yang kuingat dari mereka semua: keheningan tak terbahasa yang mengikutiku setelahnya.
II
Aku tidak pernah dihantui oleh wajah-wajah mereka, oleh suara-suara mereka, oleh bayang-bayang mereka yang jatuh di bawah cahaya lampu jalan, dan tidak pernah, bahkan sekalipun, aku terbangun di tengah malam dengan keringat dingin membasahi tubuhku sebab mimpi buruk—tidak pernah, sampai malam itu tiba, malam ketika ratapan korbanku, datang mengetuk jendela mimpiku dengan ketukan yang begitu teatrikal, begitu tajam, begitu mencekam, sehingga bahkan setelah aku terbangun dari mimpi buruk itu, aku masih bisa merasakannya merayap di bawah kulitku seperti tangan-tangan malaikat pencabut nyawa yang tak terlihat.
Aku bermimpi, dan dalam mimpiku aku jatuh, jatuh ke dalam sesuatu yang lebih gulita dari malam di musim salju, sesuatu yang begitu dalam, begitu merindingkan, begitu horor, sehingga aku merasa seolah aku telah meninggalkan dunia ini sepenuhnya, seolah aku telah dilempar ke suatu tempat di mana waktu tidak ada, di mana tidak ada masa lalu atau masa depan, hanya ketiadaan yang mutlak, ketiadaan yang lebih menggetarkan ketimbang kematian itu sendiri.
Dan di tengah kegelapan itu, aku menatap mereka—lima puluh dua orang yang telah kuhabisi, berdiri dalam keheningan yang begitu pekat, begitu total, sehingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri menggema di telingaku seperti palu yang menghantam besi.
Mereka tidak berbicara. Mereka tidak bergerak. Mematung. Namun mereka menatapku, dan tatapan mereka adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa kulupakan, sesuatu yang akan terus menerus menghantuiku bahkan setelah aku bangun, sesuatu yang tidak bisa kusingkirkan dari otakku tidak peduli seberapa keras alkohol menghantam kesadaranku.
Kemudian datanglah mereka—makhluk-makhluk yang tidak bisa kusebut namanya, yang mempunyai tangan-tangan panjang dengan kuku-kuku hitam yang runcing, yang bisu tapi jelas-jelas kupahami sorot mata mereka begitu tajam seolah-olah menyiratkan yang lebih kejam dari benci dan dendam.
Aku mencoba berlari mencari pintu, tetapi tidak ada jalan keluar seperti dalam novel-novel realisme magis. Aku menangis, berteriak, tetapi suaraku lenyap dalam api yang tiba-tiba menyala di sekelilingku, api yang bukan sekadar panas, tetapi membakar bukan hanya tubuh tapi juga jiwa, yang melumatku dalam siksaan tak terkatakan.
Aku mencoba melawan, tetapi mereka lebih kuat, lebih cepat, dan dalam hitungan detik, aku telah terhuyung, ambruk, tubuhku terkoyak, dagingku terbakar, dan aku menjerit, menjerit dengan suara yang bahkan tidak lagi terdengar seperti milikku, suara yang lebih mirip dengan suara binatang herbivora yang dicabik hidup-hidup binatang karnivora.
Aku memohon. Namun tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang peduli, seolah-olah ampun tak pernah ada.
Dan kemudian aku terbangun dari mimpi yang membikinku trauma.
III
Aku terbaring di ranjang, tubuhku gemetar hebat, keringat dingin mengalir di pelipisku, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan sesuatu yang sudah lampau tidak pernah kurasakan—ketakutan.
Ketakutan yang tidak bisa dilipur dengan menghabisi seseorang memakai pisau atau pistol. Ketakutan yang tidak bisa dihapus dengan ketakutan di mata orang-orang yang pernah kucincang hidup-hidup. Ketakutan yang tidak berasal dari manusia, tetapi dari sesuatu yang lebih grandeur, sesuatu yang berada di luar kendali dan pemahamanku.
Aku bangkit, berjalan tertatih ke cermin kecil di sudut ruangan, dan ketika aku menatap pantulan diriku sendiri, kumerasa seolah-olah aku sedang melihat seseorang yang lain, seseorang yang bukan diriku, seseorang yang telah kehilangan segalanya, seseorang yang telah jatuh ke dalam ngarai yang begitu dalam, sehingga mungkin tidak ada tangga yang cukup tinggi untuk kembali.
Di depan cermin, aku melihat mata itu, mata seorang pembunuh. Pada mulanya, memang, aku tidak percaya tuhan dan peduli setan terhadap dosa juga pahala, kini, sebab mimpi ngeri itu aku tiba-tiba gamang neraka dan timbul rasa ingin bertaubat.
IV
Aku tidak tahu harus mulai dari mana, sebab selama ini aku hidup di dunia yang tidak mengenal maaf, dunia yang tidak memberikan kesempatan kedua, dunia di mana salah harus dibayar dengan darah, dan sebab itu aku tidak pernah percaya bahwa ada yang namanya pemakluman, bahwa ada yang namanya pengampunan, tetapi kini aku tidak punya pilihan lain, sebab jika neraka itu nyata, maka aku harus mencari cara untuk menghindarinya, tidak peduli seberapa nonsensnya konsep itu terdengar di telinga.
Aku mencari seorang pemuka agama, seseorang yang bisa memberitahuku bahwa masih ada harapan, bahwa aku masih bisa diselamatkan, bahwa semua dosa yang telah kulakukan—lima puluh dua nyawa yang telah kuhabisi—masih bisa dihapus, seolah-olah pembunuhan tidak pernah terjadi dan kuburan-kuburan mereka tidak pernah ada.
Aku menemukan seorang pemuka agama di kota kecil berjarak tiga belas kilometer dari tempat pembunuhan terakhirku. Seorang lelaki tua berjanggut putih, dengan wajah penuh keriput, duduk di depan rumah ibadah dengan tatapan yang dalam, penuh kebijaksanaan, tetapi juga dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang samar, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.
“Ada yang bisa kubantu?” katanya.
Aku bertanya kepadanya, dengan suara yang lebih lemah dari biasanya, dengan nada yang tidak biasa bagiku, “Jika aku bertaubat, seorang pembunuh yang telah membunuh lima puluh dua orang ini, apakah akan diampuni tuhan dan terhindar dari neraka?”
Ia tidak segera menjawab. Menatapku cukup lama seakan-akan mencari sesuatu dalam diriku. Selang beberapa saat, barulah ia menggeleng, kemudian berkata, “Tidak.”
Dan saat itu juga, aku tahu bahwa semuanya sudah terlambat. Ada sesuatu di dalam diriku yang retak. Satu kata itu cukup untuk membikin tanganku bergerak sebelum pikiranku sempat mencegahnya. Belati keluar dari balik mantelnya. Gerakan yang sudah kulakukan berpuluh-puluh kali.
Beberapa detik kemudian, tubuh pemuka agama itu terkulai di tanah, matanya membelalak, darah dari perutnya mengalir tanpa malu-malu—menyatu dengan debu. Ia telah menjadi angka lima puluh tiga. Aku menatap tanganku yang merah dan bau amis. Dan untuk pertama kalinya aku merasa takut dengan diriku sendiri.
V
Tapi bayangan neraka masih menghantuiku. Aku tidak bisa tidur. Tidak bisa berpikir. Setiap kali menutup mata, isi kepalaku memutar kembali rekaman mimpi di neraka.
Aku mencari cahaya lagi. Dan kali ini, aku menemukan seorang pemuka agama lain di kota yang juga lain—seseorang yang besar kemungkinan lebih tua, lebih berpengalaman, dengan mata yang dalam dan penuh pemahaman.
Dengan suara yang lebih lembut, lebih pelan, lebih putus asa, aku bertanya lagi, “Jika aku bertaubat, seorang pembunuh yang telah membunuh lima puluh tiga orang ini, apakah akan diampuni tuhan dan terhindar dari neraka?”
Pemuka agama itu tersenyum tipis.
“Tuhan Maha Pengampun. Jika kau benar-benar bertaubat, kau akan diampuni, terhindar dari neraka dan masuk surga.”
Jawaban itu bagai embun di padang gersang. Aku menyungging senyum bahagia untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Aku merasa seperti anak kecil lagi. Aku merasa terlahir kembali. Dan setelah berpamitan, aku angkat kaki dengan perasaan yang ringan.
Sialnya, sebab terlalu sumringah, aku memacu motorku terlalu kencang. Aku tidak menyadari truk besar yang datang dari arah berlawanan. Bunyi klakson. Lampu besar menyilaukan mataku. Benturan keras. Tubuhku seperti dilemparkan ke udara. Aku hampir tidak merasakan sakit—hanya sensasi melayang, sebelum tubuhku menghantam aspal dengan suara berderak.
Lalu semuanya gelap.
VI
Selepas membuka mata, lekas-lekas kucubit pipiku sebanyak tiga kali sebab tidak memercayai yang kunetra sendiri. Api. Makhluk-makhluk yang tidak bisa kusebut namanya. Jeritan yang bergema di udara. Neraka.
Sembari sempoyongan, aku berusaha memahami apa sebenarnya yang terjadi. Ini tidak mungkin. Aku sudah bertaubat! Aku sudah dijanjikan surga!
Aku menengadah ke langit yang merah kirmizi, dan dengan suara putus asa, aku berteriak, “Tuhan! Mengapa aku di sini? Bukankah pemuka agama itu bilang aku akan diampuni, terhindar dari neraka, dan masuk surga?”
Lalu aku mendengar suara itu. Gelak tawa. Tawa yang seram bukan main, berlapis-lapis, seakan berasal dari kekosongan yang tak berujung. Kemudian suara itu kembali menanggapi, “Tentu saja dia berkata begitu. Dia hanya takut menjadi korban ke lima puluh empat.”
VII
Tuhan mungkin tidak bermain dadu, tapi ia bermain timbangan.
*****
Editor: Ghufroni An’ars