Di sudut sebuah rumah, angin berembus perlahan pada subuh hari. Seorang lelaki tua samar-samar mendengar desingan angin yang meremukkan daun-daun hingga gugur satu per satu, kemudian suasananya makin tak terkendali. Insting lelaki itu memberi tahu bahwa ia harus merapal sebuah mantra penolak angin yang dikirim dari arah barat. Angin kiriman itu tertuju pada rumah panggung bercat biru.
Mulutnya komat-kamit dan tangannya berputar membentuk lingkaran di muka wajahnya hingga sebelas kali. Lalu diakhiri hentakan keras telapak tangan menuju asal angin. Dan ia mengembuskan nafas untuk menyudahinya.
Perlahan-lahan angin yang berputar-putar sembari membawa daun dan ranting itu kemudian menghilang tanpa sempat mencerabut satu pun bagian rumah bercat biru. Subuh pun bergulir menuju fajar.
Lelaki tua itu masuk ke rumah dan menyalakan api untuk mendidihkan air. Sementara di balik jendela yang setengah tersingkap, lelaki kecil berusia sepuluh tahun menyaksikan adegan tak biasa itu. Ia masih saja tertegun, setengah sadar atas penglihatannya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa kejadian itu adalah sebuah kenyataan.
Tubuhnya beringsut dari sudut jendela dan terbaring kembali di lantai berpapan kayu tempat ia tidur sebelum melihat kejadian itu. Mata ia pejamkan namun terasa sia-sia saja untuk melelapkannya. Pikirannya masih terpusat pada perilaku lelaki tua yang disebutnya Pak Wo Sudin, kakak kelima dari ayahnya.
Ia teringat sesuatu.
Beberapa bulan yang lalu terjadi sebuah percakapan cukup serius, ketika ia dan Marta sedang ngetah, menjerat burung dengan cara mengoleskan getah karet di jaun, yang terbuat dari bilah-bilah bambu tangkal. Bambu tangkal merupakan jenis bambu hijau yang jarak ruasnya lebih panjang dibandingkan jenis bambu lainnya dan liat seperti rotan, tetapi lebih rapuh dari rotan. Ujung jaun kira-kira sebesar lidi. Jaun ini mudah ditancapkan di batang pohon sehingga burung-burung tertipu karena bentuknya seperti ranting biasa. Sudah sifat alamiah dari burung yang hobi bertengger di ranting atau dahan pohon dan kelemahan ini dimanfaatkan oleh manusia untuk menjeratnya.
Jaun itu dililiti dengan getah karet yang sebelumnya dipanaskan hingga menghitam dan mengeluarkan bau ban dibakar ke hidung manusia. Getah masak itu tidak langsung dililitkan melainkan dicampur lebih dulu dengan getah mentah supaya tingkat elastisnya lebih tinggi hingga lalat yang memiliki kaki ramping pun tak sanggup lepas dari jerat getah itu.
Marta mengungkapkan bahwa Pak Wo Sudin adalah orang sakti.
“Dari mana kau tahu?” tanya Bujang penasaran.
“Royan yang bilang tempo hari. Katanya, dia pernah berguru dengan Wo Sudin. Ia diberi macam-macam cuco (mantra).”
“Num lah (apa iya)?”
“Nyan (nian)…. Macam aku pintar bohong saja. Aku juga dibaginya satu. Cuco ular. Dengar ya.”
Marta merapal dengan cepat mantra penakluk ular yang diajarkan kakak ketiganya, Royan.
“Waih, cepat nian. Due dengear deak (tidak mendengar)!”
“Kau ini! Mana ada merapal mantra lamban macam kuyung (siput) berjalan.”
“Hahaha… Aku mau juga. Supaya tidak takut dengan ular.”
“Tidak bisa macam itu. Aku harus minta izin dengan guru Royan. Tidak boleh sembarangan menurunkan ilmu.”
“Aih, rumit nian. Cukup dengan aku saja kau bagi cuco itu. Haram dibuatnya kalau aku sampai membagi dengan orang lain. Kalau sepakat, nanti kubagi cerita Wiro Sableng episode ‘Si Cantik dalam Guci’ yang ada kisah cintanya.”
“Dari mana kau dapat bukunya?”
“Kawan sekolah. Macam mana, sepakat tidak?”
“Hmmmm…. Oke. Sepakat!”
Marta tergiur oleh kisah cerita silat idola remaja yang sangat fenomenal kala itu. Sebelum kisah-kisah pahlawan-pahlawan besi muncul di televisi. Generasi Bujang dan Marta adalah generasi pahlawan silat.
Bujang menghafal cuco ular yang diturunkan oleh Marta. Ia hanya penasaran, ingin membuktikan desas-desus dahsyatnya ilmu-ilmu yang dipelajari oleh sebagian orang di dusunnya.
Sekali ia mempraktekkannya, saat berjumpa ular di ladang yang baru dibuka Bapaknya. Komat-kamit ia merapal mantra itu, namun bulu kuduknya tetap saja berdiri. “Crash!” Ia pun memenggal kepala ular itu.
Dipandanginya ular yang telah termutilasi itu. Ia teringat pesan Marta, jikalau ingin mantra yang dibaca ampuh, cuma dua syaratnya: percaya dan konsentrasi. Ia pun berpikir, kali ini ia gagal karena tak konsentrasi, rasa takut yang ada dalam dirinya masih mendominasi.
Kali kedua pun bernasib sama. Lain di kali ketiga. Ia benar-benar konsentrasi ketika tongkat batang ubi yang digenggamnya dililit ular. Ular itu seperti siluman saja, datang secara tiba-tiba tanpa tanda-tanda. Segera ia merapal cuco ular dan konsentrasi penuh. Beberapa detik kemudian. Arghhh! Punggung tangannya membekas dua titik hitam. Ular itu mematuknya. Diisapnya darah di bekas patukan ular itu, lalu dicarinya daun jarak. Dikunyahnya daun itu cepat-cepat, lalu dibubuhkan di luka tak berdarah itu. Ia pun meringis kesakitan.
“Sial! Apa kurangnya merapal cuco ular tadi?” rutuknya dalam hati. Semua pesan Marta sudah dipenuhi, tetap saja gagal. Malah mendapat celaka.
Sejak itu, Bujang tak lagi percaya mantra-mantra dari dusunnya.
Keputusan itu sebenarnya belum tepat ia keluarkan saat itu. Hanya saja ia tidak tahu bahwa ular itu tidak bermaksud mematuk punggung tangannya. Ular berbisa itu hendak menyambar tikus yang bersembunyi dua jengkal dari tangan kirinya. Tak ada gerakan sedikit pun dari tubuhnya selain embusan napasnya. Ia benar-benar memusatkan pikirannya pada mantra dan ular itu. Tubuh ular itu juga sudah terlepas dari batang ubi dan siap keluar dari balik pondok.
Ular yang mulai beringsut itu tergoda oleh gerak lamban tikus yang sedang merekatkan giginya pada sungkup kayu dekat Bujang duduk. Ular berbalik arah dan siap mencengkeram mangsa. Keberuntungan tidak ada pada si ular, mangsa terlindung oleh tangan si Bujang dan bisa pun meleset ke punggung tangannya. Ya, insting seekor binatang meleset. Bujang tak sadar akan kesalahan si ular itu. Ia terlalu konsentrasi dengan pikiran dan tubuh binatang melata itu, sehingga tak menyadari bahwa ada makhluk lain yang mengambil perhatian si ular.
Selama perempuan mengandung, selama itu pula Bujang tak lagi meyakini ilmu-ilmu sakti hingga ia melihat kejadian di subuh hari itu.
*****
Editor: Moch Aldy MA