Artikel ini tidak bermaksud sebagai kilah mendukung perilaku perdagangan-konsumsi minuman alkohol (minol) yang semakin ngawur di Yogyakarta akhir-akhir ini. Walau kesadaran para pemangku kebijakan datang belakangan usai didesak masyarakat dalam aksi yang terjadi di Polda DIY pada 29 Oktober 2024 lalu, tentu sebagai masyarakat kita patut mendukung dan mengawal.
Dalam sejarahnya persoalan yang menyeret minol bukanlah hal baru. Pada 1990-an silam (pernah) ada koktail berbahan dasar arak beras dengan berbagai campuran identik di Yogyakarta. Dibuat oleh jiwa seni para peraciknya, Lapen eksis di warung-warung jamu yang bertebaran.
Riwayat Lapen usai setelah diyakini sebagai sebab kematian 13 peminum pada 2010. Tidak butuh waktu lama masyarakat merespons melalui bentangan-bentangan spanduk di ruas-ruas jalan mengutuk. Padahal, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BB POM) lembaga yang memiliki otoritas untuk menyelidiki kasus nahas itu menyatakan, penyebab kematian lantaran bergantinya bahan dasar arak beras menjadi metanol atau alkohol medis berkadar lebih dari 70%.
Atau, pada lini masa yang lebih lampau. Berdasar catatan salah seorang pejabat Kolonial yang berfokus untuk menanggulangi penyebaran minol yang kian masif di Hindia Belanda. J. Kats (1920: 95) menyebut “pada 1915 di tijap-tijap tempat seloeroeh poelau Djawa, baik di oedik-oedik, di kampoeng-kampoeng pegoenoengan jang sangat djaoeh itoepoen, pada waktoe ini soedah dapat diperoleh minoem-minoeman jang sematjam itoe (anggur, sopi dan brendi).”
Berjudul “Bahaja Minoeman Keras serta Daja Oepaja Mendjaoehinja” buku yang diterbitkan Balai Pustaka ini sempat menjadi pegangan para guru bumiputra untuk menjelaskan bahaya minol. Sekaligus menjadi latar terbitnya Ordonnantie Van 10 Juli 1923 Staatsblad. 1923 No. 344 tentang Cukai Alkohol Sulingan dan bir dalam Bieraccijns Ordonnantie Stbl. 1931 No. 488 en 489.

Serupa tapi tidak sama. Tanpa maksud menormalisasi aksi kekerasan terhadap dua santri Krapyak di Prawirotaman, saya sepakat dengan argumen @prabu_yudianto dan @syaeful_cahya dalam perbincangan daring yang digelar Kamis, 31 Oktober 2024 malam di X.
“Minol sebagai benda tak pernah salah. Kesalahan terletak pada perilaku turunannya: pembiaran pemangku kebijakan atas menjamurnya depot, serta dampak sosial yang kian nyata”, ujar Prabu. Selain langkah struktural, Syaeful menambahi “perlu menanamkan kesadaran masyarakat, khususnya di usia sekolah agar malu untuk mengonsumsi minol dalam batas usia terlarang (21 tahun). Atau, paling minim malu untuk menempel stiker identitas depot di helm yang semakin hari semakin mudah terbaca di tengah lalu lintas Yogyakarta yang kian macet.”
Satu hari sebelumnya, pada 30 Oktober 2024, Gubernur Yogyakarta, Sultan HB X usai memanggil seluruh pimpinan di 4 kabupaten dan 1 kota mengeluarkan Instruksi No. 5 Th. 2024 tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Pada pokoknya peraturan tersebut dibuat guna menyelaras dengan zaman digital. Pasalnya, perdagangan minol online dinilai sebagai celah untuk meraup untung lantaran belum ada produk hukum yang mengatur.
Sayangnya, berbagai peraturan turunan di daerah, misalnya di Sleman dan Bantul, ternyata tidak hanya membatasi dan mengawasi peredaran minol selaras dengan Ingub yang terbit. Malahan Pjs. Bupati Sleman, Kusno Wibowo melalui Surat Edaran No. 681 Th. 2024 dan Pjs. Bupati Bantul, Adi Bayu Kristanto melalui Instruksi No. 4 Th. 2024 sama-sama menentang adanya minol oplosan. Hal mana telah diketahui oleh umum, bahwa frasa minuman oplosan senantiasa tumpang tindih dengan minuman tradisional.
Masih panjang perjalanan untuk mendudukkan minol tradisional sebagai salah satu produk dari keragaman gastronomi Indonesia. Kendatipun kita tak bisa mengelak, di hampir setiap wilayah Indonesia minol hasil racik masyarakat ditemukan. Tentu dengan sederet peruntukan dibaliknya, baik dalam ritus budaya atau sekadar pelumas usai seharian menjadi sekrup penopang dunia berputar.
Di wilayah Jiran Surakarta, misalnya, kita dapat menemui Ciu hasil distilasi tetes tebu. Jika bergeser ke barat dari Yogyakarta, dulu wilayah Mancanegara Kilèn, di Banyumas terdapat Badèg. Agak sedikit ke utara, di Pasisiran Kilèn, wilayah asal ‘Kutil’; Brebes, Tegal, hingga Pemalang terdapat minol Brangkal yang rasanya cenderung asam dan pahit.
Berangkat dari karya J. Kats yang memandang sinis eksistensi minol, Yusana Sasanti Dadtun terinspirasi untuk membalik narasi yang diusung. Buahnya, tesis yang sukses dipertahankan di Departemen Sejarah UGM pada 2005, berjudul “Air Api di Mulut Ciliwung: Sistem Produksi dan Perdagangan Minuman Keras di Batavia 1873-1898”.
Selanjutnya, pada 2016 tesis itu beranjak bentuk menjadi buku, diterbitkan penerbit yang berfokus pada naskah-naskah hasil penelitian sejarah: Penerbit Ombak, di Yogyakarta. Berjudul “Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX” karya ini menggambarkan peran Arak sebagai aras modernisasi masyarakat Batavia, khususnya bumiputra sebagai konsumen utama.

Selanjutnya, seorang antropolog sekaligus sejarawan dari Universitas Heidelberg, Jerman, Jiří Jákl (2021) menyelisik mengenai peran minol dalam masyarakat Jawa hingga 1500. Saat Islam belum memiliki pengaruh kuat.
Berdasar naskah kuno dan panel relief candi-candi, “Alcohol in Early Java: Its Social and Cultural Significance”, menyingkap bahwa di Jawa terdapat budaya minum minol yang kuat. Tidak seperti di India yang sama-sama berkebudayaan Hindu, intensi mengenai relasi masyarakat Jawa dengan minol baru menurun sejak nilai-nilai reformis Islam masuk pada abad ke-16.

Saat eksistensi alkohol menjadi krusial berkaitan dengan sanitasi agar laju pandemi Covid-19 tetap landai, Antropolog asal Universitas Indonesia, Raymond Michael Menot (2022) bersama para koleganya melalui buku “Budaya Minum di Indonesia” mendedahkan khazanah konsumsi minol di berbagai pulau. Secara gamblang buku ini menaruh batas antara praktisi budaya minum dengan hanya sekadar peminum untuk kesenangan semata. Di masyarakat tradisional di perdesaan praktik minum minol merupakan pengejawantahan nilai dan norma. Berbanding terbalik dengan masyarakat modern di kota.

Selayaknya, patut disematkan gelar sejarawan miras pertama di Indonesia kepada Yusana. Ketelatenannya mengubek-ubek perkara minol perlu diapresiasi lantaran pada 2023 lalu, ia berhasil merampungkan disertasi yang berjudul “Subkultur Pangunci: Analisis Realitas Sosial Peminum Ciu di Surakarta” di Universitas Sebelas Maret.
Selaras dengan garis demarkasi yang dipaparkan Raymond, Yusana menyingkap terjadinya penguaran nilai dan norma dalam budaya mengonsumsi Ciu. Penurunan ini didapat lantaran adanya tolok ukur berupa Sêrat primbon Pradikaning Minum sebagai norma.
Jika Pakempalan Ngunjuk Ciu di dalam tembok Keraton Kasunanan Surakarta melakukan ritus budaya minum senantiasa berpedoman serat karya Ki Padmasusastra (1911) ini. Namun, bukan hal wajib bagi Paguyuban Ngunjuk Ciu, meskipun beberapa anggotanya di luar tembok keraton masih berpegang pada pedoman. Pedoman sepenuhnya absen di kalangan peminum yang hanya dipersepsikan sebagai “Pangunci”, atau komunitas medioker peminum Ciu di Surakarta ungkap Yusana dalam “Subculture of Paguyuban Ngunjuk Ciu (Pangunci): A Critical Analysis of Ciu Drinkers’ Social Reality in Surakarta” yang termuat dalam Journal of Drug and Alcohol Research Vol. 10 (2021: 4-5).
Sêrat Primbon Pradikaning Minum menyebut puncak dari sepuluh tingkat kemabukan orang Jawa adalah Dasa Buta Mati. Jika diterjemahkan secara harfiah berarti, layaknya orang mati, tapi masih menakutkan, jika bergerak yang melihat lari. Atau, bisa dimaknai sebagai kondisi saat peminum telah menandaskan sepuluh sloki yang sudah tidak berdaya atas pikirnya sekaligus bisa berbahaya bagi khalayak karena bisa melakukan hal tak terduga, seperti mengamuk.
Walau lengang, untungnya dalam satu dekade ke belakang telah ada penelitian-penelitian yang menginisiasi khazanah keabsenan ilmu pengetahuan dalam upaya membabar peradaban minol di Jawa. Salah satu upaya mencapai kondisi ideal–mendudukkan minol sebagai produk gastronomi Indonesia–perlu menempatkan minol tidak hanya sebagai objek semata melainkan subjek yang turut dalam agenda perubahan zaman. Alih-alih terdapat pusat studi spesifik, kampus malahan terkesan absen sebagai salah satu institusi yang bertanggung jawab atas terciptanya nilai dan norma sosial, khususnya terkait minol.
Seyogianya hal-hal yang telah dipaparkan dapat menghindarkan perkara minol di Yogyakarta dari mitos Sisifus. Perniagaan miras yang menjamur, luruh karena perkara turunan pembatasan terhadap perniagaan. Siklus yang berulang terus menerus. (*)
Editor: Kukuh Basuki