Dini hari, bulan Februari. Jam di ponsel pintarku menampilkan pukul 1 pagi. Aku yang selalu insomnia tengah mencoba berbagai cara untuk bisa tidur nyenyak. Untuk urusan satu ini, aku memang selalu tidak beruntung. Insomnia menggandengku erat sejak aku bahkan masih belajar mengeja di sekolah. Aku tidak mengerti lagi siapa sih yang membawa insomnia menemuiku sampai dia cinta mati begini.
Biasanya aku punya pil kecil yang bisa kuteguk untuk membantuku mengantuk. Namun, hari ini aku teguh untuk tidak menggapainya. Aku tidak mau minum pil tidur terus karena pada dasarnya aku juga tidak ikhlas kalau nanti ginjalku akhirnya batuk-batuk. Sudah bagus punya ginjal sepasang dan akur. Ngapain juga malah kuceraikan.
Saat insomnia mengajak pacaran seperti ini, otakku bisa mengingat hal-hal yang tidak penting. Makanya sekarang ia tiba-tiba mengingatkanku pada kata sebuah penelitian (yang aku tidak tahu juga pastinya dari mana) bahwa belanja bisa menjadi obat. Obat apa? Katanya sih obat stres. Heh? Memangnya aku stres? Aku itu insomnia, bukan stres!
“Makanya, banyak baca artikel bermutu dong! Alodokter bilang stres bisa memicu insomnia kok!”
“Kalau tidak percaya omongan orang lokal, penelitian bule juga banyak yang menghubungkan stres dengan insomnia. Sleep Foundation tuh ada menyebutkan kalau stres dan kecemasan bisa memicu insomnia dan aneka gangguan tidur. Sleep Foundation lho itu! Yayasan Tidur! Dari Amerika! Negara adidaya! Masa tidak percaya?”
Hmmm, begitu rupanya ya. Sepertinya aku sedang malas untuk berdebat dengan pikiranku sendiri. Sudah susah tidur, diajak berdebat pun. Betapa melelahkannya. Daripada begitu, mending aku memilih untuk percaya saja.
Baiklah demikian bahwa belanja bisa menjadi obat stres. Berarti sekarang aku harus mencoba terapi belanja? Tapi… Jam segini? Belanja di mana? Belanja apa? Aduh! Kok rasa-rasanya begitu ruwet ya! Pikiranku jadi semakin berisik. Aku malah semakin tidak bisa tidur.
“Kok ya kayak orang kuno sih?! Masa tidak kepikiran punya henpon canggih? Buka henpon-mu itu lho! Biasa juga kamu belanja dari situ.”
Ah!
Iya juga ya!
Pukul setengah dua pagi, akhirnya aku buka Syopi. Sebelum mulai mencoba belanja, aku menggelapkan cahaya layar ponsel pintarku dulu. Aku harus melakukannya agar mataku tidak rusak dihajar radiasi sinar biru dari produk kejayaan manusia modern ini. Mataku harus tetap nyaman agar kuat memburu barang di pasar digital jutaan umat manusia itu.
Beberapa menit pertama kuhabiskan dengan terus berpikir keras mau belanja apa. Jempol kananku sibuk naik turun, kadang ke kanan dan ke kiri. Ujung jempol yang kukunya selalu berantakan akibat kugigiti ini, sesekali mengetuk-ngetuk layar ponsel pintarku. Mataku memicing, begitu ingin setajam elang memburu mangsanya. Sayangnya, rekomendasi barang yang ditampilkan tampak begitu membosankan dan sama sekali belum aku butuhkan.
Satu menit.
Dua menit.
Sepuluh menit.
Tiga puluh menit.
Enam puluh menit.
Astaga! Terapi macam apa sih ini? Kenapa aku malah semakin tidak tidur-tidur? Mata malah makin segar! Gandengan insomnia malah terasa semakin melingkari badanku. Semakin lama semakin kencang, erat seperti akar pohon tua yang kusut semerawut menjadi sebuah jembatan gantung di hutan hujan. Aku malah jadi penasaran karena belum berhasil mendapatkan apa yang mau kubeli.
Sekarang jam di ponsel menampakkan pukul setengah 4 pagi. Aku duduk di pinggiran ranjang. Aku duduk membungkuk sambil menggoyang-goyangkan kaki. Kalau sampai subuh masih belum berhasil belanja, sebaiknya aku masturbasi seperti biasa saja. Kalaupun selepasnya aku tidak merasa kecapekan dan mengantuk, setidaknya aku sudah mengendurkan satu ketegangan.
Eh!
Tunggu!
Tiba-tiba, jempolku berhenti pindah-pindah. Aku semakin serius memicingkan mata. Sepertinya aku melihat sesuatu yang menarik.
“Hati yang sendiri”
Nama produk yang unik. Fotonya begitu menarik. Sebongkah hati yang digeletakkan di atas kain beludru warna putih semu. Aku perhatikan foto produk itu dengan saksama, dalam-dalam. Ada bunga-bunga dengan warna netral menghiasi sekitar si hati. Hati yang berwarna merah merekah, terlihat begitu gres! Begitu segar!
Ah!
Aku tertegun sejenak, sebelum akhirnya tersadar dan mulai menggeser laman produk itu ke bawah untuk melihat informasi lebih lengkap. Aku pun membaca deskripsi produknya.
“Kondisi baru, segel, original. Expired masih lama.
Jaminan mutu, garansi asli.
Tidak asli, uang kembali.
Pesan sebelum pukul 12 siang akan dikirim di hari yang sama.
Pastikan memesan bubblewrap karena barang mudah pecah”
Selepas memastikan semua deskripsi produk terbaca, aku menengok badanku sendiri. Kubuka dada dan perutku. Kuketuk pintu hatiku tiga kali. Pintu pun terbuka dan aku memerhatikan dalamnya yang lamat-lamat. Hmm, kurasa sih masih muat satu lagi.
Oke! Sudah diputuskan, aku akan membeli “hati yang sendiri”. Coba beli satu buah dulu. Kalau terbukti asli, berkualitas, dan cocok, nanti bisa jadi langganan dan beli borongan. Saatnya memasukkan si hati ke keranjang belanja. Check out sekarang juga supaya nanti siang langsung dikirim.
“Opsi pengiriman: Reguler, Rp10.000.
Metode pembayaran: COD (Bayar di Tempat).”
Konfirmasi!
Tring!
Belum ada 30 detik terlewat, satu notifikasi Syopi masuk ke ponsel pintar. Aku segerakan membuka notifikasi itu. Toh tak ada hal lain yang kutunggu.
“Pemesanan terkonfirmasi, penjual sedang menyiapkan pesanan Anda.”
Baiklah, akhirnya terapi belanja ini selesai. Memang dasarnya obat bukan cabai yang sekali telan langsung pedas, maka sekali belanja tidak langsung sembuh stresnya, tidak langsung sembuh juga insomnianya. Jika kuingat-ingat, rasa ngantuk tadi sempat mampir beberapa kali. Sekarang ia mulai memuai, memanjang, menjalar ke mana-mana. Namun ya tetap, tidak membuatku bisa tidur juga.
Belanja kini sudah selesai. Aku rasa cukup beli satu hati dulu saja. Jadi, sekarang aku putuskan untuk tinggalkan Syopi. Aku mau menunggu datangnya hati yang sendiri. Jika tidak salah ingat, perkiraan waktu pengirimannya dua hari. Semoga bisa sampai tepat waktu.
Hari itu aku sukses menyelesaikan pembelanjaanku di Syopi. Ketika belanjanya beres, subuh sudah tinggi. Matahari sudah mulai main mata melalui jendela kamarku yang gordennya memang tidak pernah tertutup rapat. Kalau sudah begini, ya sudah tidak usah tidur saja sekalian. Langsung saja menjalani hari seperti biasa.
***
Belum lepas seharian, aku langsung merasa terapi belanja ini abal-abal. Sedikitpun gangguan yang kurasakan semalam tidak terasa membaik. Aku malah jadi ketambahan cemas. Uring-uringan memikirkan belanjaanku di Syopi. Beberapa menit sekali, aku membuka aplikasi Syopi dan mengecek status transaksi terakhirku. Aku terus mencari tahu apakah pesananku ini sudah dikirimkan si penjual atau belum.
24 Jan
Pukul 05:30
Pengirim sedang mempersiapkan pesanan Anda.
24 Jan
Pukul 14:45
Paket telah dikirim dari gudang pusat RADEN SALEH.
24 Jan
Pukul 22:18
Paket telah diterima di gudang transit KALIDERES.
25 Jan
Pukul 02:00
Paket telah dikirim dari gudang transit KALIDERES.
25 Jan
Pukul 07.58
Paket telah diterima di Drop Point PEGADUNGAN.
25 Jan
Pukul 09.00
Paket sedang dibawa kurir menuju lokasi Anda.
25 Jan
Pukul 13.50
Paket sedang dibawa kurir menuju lokasi Anda.
25 Jan
Pukul 21.58
Percobaan pengiriman paket gagal.
26 Jan
Pukul 05:30
Kurir berkenalan dengan paket.
26 Jan
Pukul 07:00
Paket sedang dibawa kurir jalan-jalan ke Pantai Mutiara.
26 Jan
Pukul 10:00
Paket sedang dibawa kurir minum boba di kafe yang viral di TV.
26 Jan
Pukul 12:00
Paket sedang diajak kurir makan siang di Sushi Hero Pantai Indah Kapuk.
26 Jan
Pukul 20:00
Paket sedang diajak kurir nonton konser musik indie di Rooftop Kuningan City.
26 Jan
Pukul 21:58
Percobaan pengiriman paket gagal.
26 Jan
Pukul 02:13
Paket sedang dikelonin kurir di Drop Point Pegadungan karena kedinginan.
26 Jan
Pukul 06:30
Paket sedang diajak sepedaan di Hutan Kota Rawa Buaya.
***
Hari ini sudah genap tiga hari lewat. Belanjaanku dari Syopi masih belum sampai juga ke tanganku. Mataku sudah mulai ngotot, merah, dan darah tinggi karena bolak-balik memelototi status pengiriman paketku. Setiap beberapa jam sekali selalu ada perkembangan status, tapi kok ya terasa semakin ngelunjak. Aku ingin sekali melayangkan komplain ke penjual melalui chat tapi kok ya merasa percuma karena ini sepertinya bukan kesalahan si penjual juga.
Aku sebenarnya merasa cukup terkejut karena ternyata kesabaranku kali ini cukup panjang. Aku yang biasanya sangat tidak suka menunggu, kali ini bersedia melakukannya meski dengan hati yang tidak tenang. Aku bersedia menahan emosi dan tidak mengejar-ngejar penjual atau kantor ekspedisi untuk menanyakan kejelasan paketku. Aku terus menunggu dan menunggu, menanti dan menanti.
****
30 Jan
Pukul 10:37
Paket sedang dibawa kurir menuju lokasi Anda.
****
Pada sebuah siang yang becek karena hujan sempat turun tanpa jeda sejak subuh sampai pukul 10, aku duduk di ruang tamu, menonton film Jepang di Netflix. Pintu depan sengaja tidak kubuka karena aku ingin benar-benar fokus menonton tanpa gangguan suara dari luar.
Kurir tiba-tiba (akhirnya) datang mengetuk pagar.
“PAKEETTTT… COD!”
Paket yang kutunggu akhirnya datang juga. Sayangnya, aku sudah tidak lagi bersemangat menyambut karena yang namanya menunggu memang pada akhirnya selalu membuat jemu. Dengan berat hati dan semangat yang sudah jadi abu sejak kapan tahu, aku memaksa mengangkat bokong, hendak membuka pintu.
Alamak!
Aku baru ingat kalau aku lupa ambil duit tunai.
Pura-pura tidak dengar saja lah!
“PAKEEET!”
“PAKEEET!!!”
“KAK! PAKEET!!”
“PERMISI”
“PAKET!!!
“HALAH, KAMPRET!!”
***
14 Feb
12:12
Paket dibawa kurir ke Ubud (Bali) untuk self-healing.
——
Bagus cerpennya. Ide ceritanya segar