Hari Pahlawan 10 November menjadi hari yang kelam bagi bangsa Indonesia. Soeharto, penguasa rezim fasis Orde Baru, mendapatkan gelar pahlawan nasional dari Presiden Indonesia Prabowo Subianto, yang juga merupakan mantan menantunya. Pemberian gelar pahlawan ini menuai kecaman publik. Soeharto meninggalkan jejak kelam selama menjadi presiden pada era Orde Baru.
Gelar pahlawan yang disandang Soeharto adalah anomali historis. Narasi pembangunan dipuji, padahal model pembangunannya adalah mewariskan bencana ekologi yang terus memiskinkan rakyat dan merusak alam.
Prabowo Subianto sebenarnya memegang kunci sejarah jika berani mencabut gelar pahlawan untuk Soeharto. Tindakan itu bukan sekadar aksi politik, melainkan deklarasi moral bahwa dosa-dosa ekologi tidak layak untuk dihormati. Tiga jejak ekologi Orde Baru yang tak terhapuskan adalah alasan terkuat mengapa gelar pahlawan Soeharto itu harus segera dilucuti.
Penghancuran Hutan: Dari Paru-Paru Dunia Menjadi Gurun Konsesi
Kebijakan investasi terbuka yang dimulai dengan UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 membuka keran eksploitasi kekayaan alam secara ugal-ugalan pada era Orde Baru di bawah Soeharto. Hutan tropis Indonesia, yang merupakan salah satu paru-paru dunia, adalah korban pertama.
Baca juga:
Di era Orde Baru, terjadi obral Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pemerintah saat itu secara ugal-ugalan mengobral izin HPH kepada kroni dan konglomerat. Hutan yang sebelumnya dijaga oleh masyarakat adat, dalam sekejap, diubah menjadi komoditas kayu gelondongan untuk pasar global.
Akibatnya kehancuran alam yang berlipat. Kerusakan hutan tidak hanya menghilangkan tutupan kanopi. Ia memicu erosi tanah, mengacaukan siklus hidrologi, dan menjadi penyebab utama banjir bandang yang kini menjadi bencana rutin di Kalimantan dan Sumatra.
Bukan hanya itu, hancurnya ekologi juga merupakan hilangnya kedaulatan rakyat. Pembangunan yang bertumpu pada kayu merampas hak-hak tradisional masyarakat adat yang telah menjaga hutan selama ribuan tahun. Pemimpin yang memfasilitasi perampasan sumber daya vital bangsa demi segelintir elite tidak layak disebut pahlawan.
Trauma Abadi Pembukaan Lahan Gambut
Jika obral HPH adalah kerusakan yang bertahap, Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah adalah kejahatan ekologi yang direncanakan. Diluncurkan pada tahun 1995, proyek ini menunjukkan sebuah model pembangunan yang mengabaikan sains dan kearifan lokal.
Proyek ambisius ini bertujuan mengkonversi lahan gambut menjadi sawah dengan cara membuat kanal-kanal raksasa untuk mengeringkannya. Gambut adalah ekosistem yang rapuh dan harus terendam air.
Tindakan pengeringan gambut tersebut secara permanen merusak kubah gambut (peat dome), menjadikannya sangat rentan terbakar. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menghasilkan asap mematikan dan kerugian triliunan rupiah setiap tahun adalah warisan langsung dan abadi dari kegagalan PLG Soeharto.
Kebakaran gambut melepaskan karbon dalam jumlah masif, menjadikan Indonesia kontributor emisi gas rumah kaca yang signifikan. Pahlawan seharusnya menjaga alam, bukan menjadikannya bom waktu iklim global.
Petaka Tambang Mineral: Menggali Kerusakan Alam Jangka Panjang
Selain hutan dan gambut, rezim Orde Baru membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing di sektor pertambangan mineral. Ini mengakibatkan kerusakan bentang alam, pencemaran, dan konflik sosial yang bertahan hingga kini.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, rezim Orde Baru di bawah Soeharto juga menghasilkan sistem Kontrak Karya yang merugikan alam. Melalui Kontrak Karya, perusahaan tambang internasional (seperti Freeport McMorant yang masuk sejak 1967) diberi hak eksploitasi yang sangat menguntungkan di wilayah-wilayah kaya mineral.
Baca juga:
Celakanya, itu dilakukan dengan pengawasan lingkungan yang minimal. Padahal, aktivitas pertambangan, terutama pembuangan limbah (tailing) di sungai atau laut, meninggalkan pencemaran logam berat yang merusak ekosistem perairan dan kesehatan masyarakat lokal.
Maraknya eksploitasi pada era Orde Baru juga menjadi cikal bakal masalah tambang ilegal yang terus membekas hingga saat ini, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan kontrol negara terhadap sumber daya vital.
Momentum Keadilan Ekologi
Presiden Prabowo harus melihat fakta ini dan membatalkan gelar pahlawan Soeharto. Jangan sampai gelar Pahlawan Nasional menjadikan negara telah melegitimasi penghancuran lingkungan. Membatalkan gelar Pahlawan Soeharto adalah penegasan bahwa Indonesia di masa kini dan masa depan menghargai kelestarian lingkungan di atas ambisi pertumbuhan ekonomi yang buta. Ini adalah pesan tegas kepada seluruh pejabat negara bahwa merusak alam sama dengan mengkhianati bangsa.
Mungkinkah Prabowo Subianto berani membatalkan gelar pahlawan Soeharto? Publik tidak perlu menunggu kebaikan hatinya untuk membatalkan gelar pahlawan Soeharto. Publik harus mendesaknya untuk membatalkan gelar pahlawan untuk mantan mertuanya itu. Publik harus selalu mengingatkan bahwa jejak ekologi yang kelam tidak boleh kembali terulang melalui penghargaan gelar pahlawan yang tidak jelas.
Editor: Prihandini N
