Pedagang Martabak dari Mars

Bandrol Bayi

Alfian Bahri

6 min read

“Coba ke rumah Tuan Dermawan. Siapa tahu dia bisa membantu sekali lagi.”

“Tidak ada yang mau memberi utangan lagi. Semua sama. Yang kemarin saja belum bayar.”

“Cobalah!”

“Percuma!” Suara Kateng mulai meninggi. Ditatap mata Jusaro, istrinya. “Kita nggak punya jaminan,” pungkasnya.

***

Hari itu, Kateng menggebrak meja atasannya. Dia dimarahi saat izin pulang. Pak Bos bilang, kiriman sedang banyak dan tidak ada yang boleh izin. Selesaikan dulu semua kiriman, baru boleh pulang.

Kateng mengabaikan aturan itu. Saudaranya meninggal. Meja selebar 2x1m bermotif serat kayu sintetis digebrak Kateng begitu kencang sebelum bergegas menyalakan motor, dan dia tidak kembali beberapa hari.

Begitu kembali masuk kerja, Pak Bos langsung memanggilnya.

“Kalau nggak niat kerja, keluar saja!”  Kata Pak Bos sembari mengingat bagaimana Kateng menggebrak mejanya.

Kateng diceramahi tiada henti. Kali ini, semua ceramahan didengar dan diterimanya begitu saja. Kateng memang salah, menggebrak meja dan tidak kembali bekerja beberapa hari.

“Siapa yang mengizinkanmu libur lama? Banyak orang yang mau kerja. Kamu ngomong saja kalau sudah nggak sanggup. Beres! Aku cari yang lain.”

Pak Bos memang dikenal tanpa kompromi. Kalau menegur, tak pandang bulu dan tempat. Semua pegawai hapal di luar kepala.

Kateng berusaha meminta maaf berulang-ulang. Sayangnya, api sudah disulut dengan minyak. Pak Bos terus saja mempermasalahkannya sepanjang hari. Apa pun yang dilakukan Kateng hari itu, tak luput dari perhatian dan ceramahannya.

Puncaknya, Kateng tak sengaja menjatuhkan beberapa rantang makanan di motornya. Tali lupa diikatkan pada tempat rantang. Seketika sumpah serapah mendedah tiada henti. Kateng dituding-tuding di depan banyak orang dan pegawai lainnya. Perkataan kasar menghujam bertubi-tubi, mengatai apa pun sekenanya.

“Itu makanan dibikin pakai uang. Kamu mampu ganti?!”

Kateng merasa direndahkan. Harga dirinya dipermainkan. Tanpa intrik lainnya, Kateng mengambil rantang yang jatuh itu, dan langsung membantingnya.

Suasana pecah. Semua terdiam. Termasuk mulut Pak Bos.

Sekarang Kateng berbalik menyerapahi bosnya. Pak Bos yang memang sudah paruh baya dan punya riwayat jantungan langsung gemetaran. Kateng tidak peduli.

Panci di dekatnya menjadi sasaran banting berikutnya. Ember ditendang. Gelas kaca di dekatnya juga dibanting begitu mudah. Sampai hal tak bisa dicegah pun terjadi. Kuali berisi rawon juga diangkat, ditumpahkan begitu saja. Tempat itu banjir rawon. Cacahan daging meluber ke mana-mana. Kateng membanting-banting kuali rawon itu sampai penyok.

“Aku keluar! Persetan dengan tempat kerja ini!” Kata Kateng penuh amarah. “Aku keluar!”

Pak Bos pingsan seketika. Kateng tak peduli. Dia berjalan keluar.

Sulit dipercaya, Kateng meluapkan amarahnya sampai begitu brutal. Selama ini memang belum ada orang yang berani melawan Pak Bos.

Sejak saat itu, pekerjaan Kateng menjadi tak menentu. Istrinya yang sedang hamil tua anak kedua memerlukan biaya lebih. Ditambah lagi, anak pertamanya sudah mau lulus SMK. Banyak tunggakan yang mesti dibayar. Semuanya menjadi semakin rumit.

***

Jusaro menghampiri suaminya yang tampak sudah putus asa.

“Pegang perut ini!” ditarik begitu saja tangan suaminya. “Pegang perut ini!” perintahnya sekali lagi.

Kateng tidak tahu maksudnya apa. 

“Pegang perut ini! Bilang pada Tuan Dermawan. Berapa harga bayi ini?”

Kateng begitu terkejut. Dia terperenjat mendengar perkataan istrinya.

“Tuan Dermawan bisa membantu. Kemarin kudengar dia membantu Sripale mencarikan pengadopsi untuk bayinya. Dia punya kenalan orang kaya yang butuh anak!”

“Kamu gila! Benar-benar gila!”

“Tidak. Aku tidak gila. Justru kita akan jadi orang tua payah kalau membiarkan anak ini lahir, tumbuh besar dengan mewarisi utang kita.”

“Caranya tidak begitu. Kamu kerasukan setan apa? Gila!”

“Kamu yang gila,” timpal sang istri yang tidak ingin disudutkan.

“Masalah kita akan selesai. Kita cari yang mau mengadopsinya. Tuan Dermawan bisa membantu.”

Kateng menggeleng-geleng. “Tidak bisa begitu. Pokoknya tidak! Ada cara lain! Pasti ada!”

“Inilah cara lain itu. Tuhan memberi rezeki dalam bentuk apa pun. Dan anak ini adalah rezeki itu.”

Kateng diam sejenak, sebelum akhirnya dia menggeleng tak percaya. Tak disangka, istrinya berpikir sejauh itu. Menjual bayi mereka yang bahkan belum lahir.

Kateng kembali terduduk tak berdaya. Meratapi kegilaan nasibnya. 

“Hentikan pikiranmu.” Perkataan Kateng merendah. “Kita memang miskin. Tapi jangan sampai kita jadi binatang.”

“Pikirkan sekali lagi, Mas…” rayu sang istri. “Cara ini harus dicoba.”

Dari pintu belakang, Tengkleng datang. Dia barusan pulang dari sekolah. Dilihatnya bapak dan ibunya di ruang depan. Wajah-wajah putus asa berpendar. Suasana yang sudah biasa ia saksikan. Saban waktu memang sering begitu. 

Tengkleng duduk di dekat bapaknya. Informasi dari gurunya harus disampaikan.

“Ijazah tidak bisa diambil, Pak,” kata Tengkleng singkat.

Itu seperti tumbukan batu besar yang minimpa kepala Kateng. Belum lama mendengar kegilaan istrinya, Kateng kembali dibuat gila oleh informasi dari anaknya.

“Sekalipun minta fotokopian, tetap tunggakan harus diselesaikan semua,” lanjut Tengkleng.

Semua di ruangan itu seketika terdiam. Saling merunduk, menerka-nerka nasib baik apa yang bisa dicoba. Tunggakan sekolah Tengkleng begitu banyak. Selama sekolah, uang SPP, biaya praktik, biaya ujian, daftar ulang, dan aneka keperluan lainnya tidak pernah dibayar. Kateng selalu menjajikan akan membayar semua kalau Tengkleng sudah lulus. Kali ini, semua itu sulit diwujudkan. Tengkleng sudah lulus, dan tidak ada uang barang sepeser untuk dibayarkan. Sementara Tengkleng butuh ijazah untuk kerja.

Selang beberapa menit, seseorang mengetuk pintu. Itu rentenir. Di jam segitu rentenir selalu datang, menagih utang-utang Kateng.

Dengan harapan tersisa, Kateng berdiri. Ditatapnya sekali lagi sorot mata istri dan anaknya. Kateng sangat mencintai keduanya. Tanpa bersuara, Kateng melangkah keluar.

“Bapak mau ke mana?” tanya Tengkleng.

“Ke rumah Tuan Dermawan.”

***

Tuan Dermawan menyanggupi. Kebetulan ada pengadopsi yang menghubunginya beberapa waktu lalu saat dirinya tengah berada di kapal pesiar. Antara senang, remuk, kecewa, putus asa, berbaur dalam benak Kateng.

Mengapa harus pakai cara ini? Kateng benar-benar tidak memercayai nasibnya. Bagaimana membedakan ini takdir Tuhan atau kegilaannya semata? Tapi bukankah semua yang terjadi di hidup ini adalah kehendak Tuhan?

Tuan dermawan sendiri juragan besi tua. Tiap hari truk-truk besar datang, keluar masuk gudangnya silih berganti. Membawa dan mengirim tumpukan rongsokan. Sebulan sekali, dirinya akan pergi naik kapal pesiar. Urusan bisnis, katanya selalu jika ditanya. 

“Tuan Dermawan menyuruhmu menjaga baik-baik bayi dalam perutmu,” kata Kateng pada istrinya. “Dia hanya memberi uang muka ini. Berikan pada Tengkleng. Suruh tebus ijazahnya. Dan segera cari kerja. Bantu cari uang. Sisanya gunakan untuk merawat kandunganmu.”

Jusaro menghela napas sejenak. Dia memegang perutnya. Mengelusnya pelan-pelan. Airmata menitik tipis, jatuh melewati kelopak mata sayunya. Masalah si miskin tidak pernah rumit, dia hanya butuh uang. Mata wanita itu memejam pelan, dalam, dan begitu dalam.

***

Di depan dashboard pickup, Kateng mengisap tembakaunya. Hari ini Kateng diajak tetangganya, Sombreng, kirim muatan ke luar kota. Dia jadi tenaga serabutan sejak keluar dari tempat catering. Siapapun yang mengajak dan menawarinya kerja, Kateng berangkat.

Suara Roma Irama mengalun santai sebelum dibubarkan oleh getaran ponsel.

Kateng melihat layar ponselnya, itu nomor tidak dikenal. Kateng yang ingin fokus bekerja, mengabaikannya. Lagi pula orang seperti dirinya jelas tidak terlalu dikenal orang. Nomor tidak dikenal hanya perihal penipuan bagi Kateng.

Berulang-ulang ditolak, berulang-ulang pula nomor itu menelepon lagi. Kateng tak enak hati dengan tetangganya yang mengajaknya jadi kenek. Ponsel itu langsung dimatikan. 

“Memangnya siapa?” tanya Sombreng.

“Nomor tak dikenal.”

“Siapa tahu penting. Coba angkat saja.”

“Sudah mati,” jawab Kateng menunjukkan layar ponselnya. “Orang sepertiku tidak dikenal orang. Kalau ada nomor tak dikenal, itu cuma nomor nyasar,” kelakarnya.

Sombreng cuma manggut-manggut dan kembali menikmati suara Roma Irama feat Evi Sukaesih. Mereka berdua kembali mengisap tembakaunya dalam-dalam.

***

Perut Jusaro kram, sembelit, sakit, mules, tidak keruan. Dia bingung, mengapa bisa sesakit ini, padahal seharusnya estimasi dokter bayinya akan lahir dua minggu lagi. 

Perut Jusaro semakin terkeremas tiada henti. Setiap sepuluh menit, sakitnya semakin terasa. Seperti ada yang mencengkeram isi perutnya dari dalam. Dia terkapar di lantai rumahnya. Tidak ada siapapun di sana.

Tiga jam bertarung dengan nyeri, Jusaro benar-benar dibuat tak berdaya. Dia baru sadar, rahimnya sudah mengeluarkan darah dan cairan lengket. Entah itu ketuban atau apa, yang jelas Jusaro semakin kelimpungan. Merintih tiada henti.

Ini bukan lahiran pertamanya, tapi dia seperti ibu baru yang tidak tahu harus berbuat apa. Di sela kegetiran nyeri perutnya, Jusaro terus mengingat estimasi dari dokter. Seharusnya memang dua minggu lagi. Apa yang terjadi?

Jusaro sudah putus asa memahami semuanya. Orang sakit memang sulit berpikir. Terlebih lagi sekarang Jusaro seorang diri. Pikirannya ke mana-mana. Sisa kekuatan terakhir dibuatnya untuk teriak sekuat mungkin, “tolong…. Tolong…. Tolonggg!”

***

Selang beberapa menit, ponsel Sombreng kali ini yang berbunyi. Itu dari istrinya.

Sombreng mengangkatnya.

“Jusaro melahirkan. Suruh Kateng pulang!”

Sombreng tidak tahu harus menjawab apa. Dilihatnya kenek di sampingnya itu. Kemudian dia mencari plang nama jalan. Ini sudah cukup jauh dari rumah. Sombreng melambat ke kiri. Kateng memerhatikannya.

“Ada apa, Mas?” kata Kateng.

Sombreng berusaha fokus dengan suara di teleponnya. Pickup itu sudah melambat di bahu kiri jalan.

“Halo, Mas….” suara itu terdengar terburu-buru. “Hallo, Mas…. Jusaro melahirkan. Harus dioperasi. Suruh Kateng pulang. Istrinya butuh dia.”

Pedal rem seketika diinjak dalam.

“Ada apa, Mas?”

Kateng celingukan ke depan-belakang, kanan-kiri. Dia berusaha mencari sumber masalah. 

“Apa bannya bocor?”

“Istrimu melahirkan, Teng. Kamu harus pulang. Segera cari bus arah pulang.”

***

Di rumah sakit, istri Sombreng dan Tengkleng duduk menunggu dokter bedah sesar itu keluar. Tengkleng begitu cemas. Sementara istri Sombreng lebih menunggu kedatangan Kateng.

Dari arah timur, terlihat lelaki bertopi, bercelana levis kumal, dan berjaket merah gelap datang. Tengkleng dan istri Sombreng sedikit lega melihatnya. Itu Kateng.

Istri Sombreng menjelaskan semuanya. Tengkleng cuma diam mendengar keduanya berbincang. Dia merasa bersalah. Mengapa tidak segera pulang setelah dari sekolah.

“Semoga baik-baik saja,” kata Kateng.

Ketiganya kini sudah saling cemas dan menunggu di lorong rumah sakit itu. Berharap segera ada yang keluar dari ruangan bedah sesar.

“Keluarga Ibu Jusaro? Keluarga Ibu Jusaro?” salah seorang dokter memanggil. 

Kateng terperenjat. Dia langsung menghampiri dokter itu. Diikuti istri Sombreng dan Tengkleng.

“Bapak suaminya?” 

Kateng mengangguk yakin. Kemudian dia diajak masuk ke dalam.

Begitu masuk, tidak jauh dari pintu, ada beberapa ranjang bayi. Terlihat begitu segar memerah kulit bayi-bayi itu. Tapi Kateng diajak lebih masuk. Tatapan dokter itu nanar. Tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.

“Ini bayi Ibu Jusaro.”

Kateng melihat bayi di hadapannya. Dia cacat.

“Apa ini bayiku?”

Dokter itu mengangguk pelan. Lalu menjelaskan penyebab masalah dan sebagainya. Tak bisa berkata banyak. 

“Sabar, Pak. Semua kehendak Yang Kuasa,” pungkas dokter itu.

Dunia Kateng runtuh seketika. Kedua kaki dan tangan Kateng gemetaran. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Bersahutan dengan suara rintikan air pendingin ruangan. Kateng membisu dan mematung. Suasana benar-benar hening. Seperti acara pemakaman. Kateng merasa nyawanya beberapa menit ditarik ulur malaikat. Tersisa desing masa lalu, melintas sekelibat di antara dinding-dinding dan ranjang rumah sakit.

Bau alkohol itu, menarik raganya untuk kembali. Ini memang perih.

“Mana istri saya?” Kateng ingin menemuinya.

Tidak jauh dari ranjang bayinya, Jusaro terlihat diam saja, tak berdaya di atas ranjang putih itu. Dia kehabisan tenaga. Tanpa tangisan. Tanpa ratapan. Semua kosong.

“Kondisinya belum stabil. Sejak mengetahui kondisi bayinya, Ibu Jusaro memanggil-manggil nama Tuan Dermawan,” kata dokter itu. “Siapa itu? Barangkali bisa didatangkan ke sini.”

***

Editor: Ghufroni An’ars

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email