Mungkin banyak dari kita sedikit lupa, dulu ketika musim kampanye tiba, para caleg dan capres ramai-ramai memasang foto diri di baliho ukuran raksasa. Fokusnya adalah menampilkan diri mereka yang berpakaian sederhana. Bahkan, ada pula yang sampai merinci harga pakaian yang dikenakan. Seakan-akan ingin menunjukkan betapa merakyatnya mereka.
Tentu metode promosi itu bisa dianggap berhasil. Sebab, wajah-wajah yang dulu hanya terpampang di jalanan, kini bisa ditemukan sudah memangku jabatan di Senayan sampai istana negara.
Ironisnya, citra kesederhanaan yang dulu digembar-gembor dengan pelbagai cara, hanya bertahan sementara seperti baliho yang luntur dan rusak dimakan cuaca.
Misalnya di Tangerang. Dilansir dari situs lpse.tangerangkota.go.id, anggaran pengadaan bahan pakaian DPRD Kota Tangerang 2021 mencapai Rp 675 juta. Muncul pula anggaran ongkos jahit baju dinas sebesar Rp 600 juta. Sehingga total anggaran belanja baju dinas mencapai Rp 1.275 miliar. Jumlah tersebut meningkat hingga dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2020.
Salah satu lini busana ternama dunia, Louis Vuitton, mulanya digadang-gadang akan menjadi pakaian dinas yang digunakan para anggota dewan di Tangerang. Sekretaris DPRD Kota Tangerang, Agus Sugiono mengatakan, pakaian baru tersebut diperuntukkan bagi 50 anggota legislatif. Namun, setelah dikonfirmasi pada pihak LV Indonesia, dikutip dari cnnindonesia.com (8/11/2021) pihaknya menyatakan tidak pernah melakukan kerjasama dengan DPRD Kota Tangerang. Tak lama setelahnya, Gatot Wibowo selaku Ketua DPRD Kota Tangerang mengonfirmasi pembatalan belanja baju untuk tahun 2021.
Hal itu justru semakin menimbulkan pertanyaan. Jika tak ada kerjasama dengan pihak LV Indonesia, mengapa anggarannya bisa sebesar itu, dan akan dikemanakan anggaran sebesar itu tadinya?
Di pusat, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menganggarkan Rp1 miliar untuk membeli jas khusus acara kenegaraan. Anggaran itu diambil dari APBN 2021. Dikutip dari situs lpse.dpr.go.id, Setjen DPR menganggarkan Rp 1.050.000.000 untuk membeli jas bagi petugas protokol acara kenegaraan.
Kita tidak perlu pakai konsep ekonomi paling rumit untuk bisa memahami betapa mewahnya harga baju para wakil rakyat.
Anggaran-anggaran belanja itu jelas terlalu berlebihan. Malahan, sangat mungkin memunculkan transaksi yang sulit diawasi. Setidak-tidaknya, kita jadi ingin bertanya: berdandan dengan produk ternama kelas dunia, apa mungkin ada dampaknya terhadap kinerja Bapak Ibu Dewan Yang Terhormat? Apalagi belinya pakai anggaran daerah dan negara.
Apa yang ada di pikiran para wakil rakyat saat menganggarkan milyaran rupiah untuk belanja seragam baru? Tentu bukan untuk tujuan perdamaian konflik rasial di daerah, bukan untuk mengentaskan kemiskinan akibat pandemi, bukan untuk mempercepat vaksinasi, atau untuk berkontribusi dalam berbagai persoalan yang lebih mendesak di negeri ini.
Sementara itu, di Kabupaten Lebak, Tanto Gunawan (47), seorang penambal perahu di kampung nelayan, mengetuk pintu tiap rumah tetangganya, hendak menanyakan seragam bekas anak pemilik rumah yang dituju.
Ayah dari empat orang anak itu berkeliling mencari seragam bekas untuk putranya, Bagas Panca Wijaya (16) yang kini akan masuk sekolah tatap muka di SMKN 1 Bayah, tapi masih mengenakan seragam SMP karena tak punya pakaian putih abu-abu.
Kisah seperti ini tidak hanya dialami Bagas. Adiknya, Putri Nurhayati (7) juga mengalami hal serupa. Putri yang kini akan masuk kelas 1 SD belum memiliki seragam. Sama seperti Bagas, ayahnya tak memiliki uang untuk membelikan seragam baru. Putri akhirnya memiliki ide untuk bergantian memakai seragam dengan kakaknya, Teti Nurhayati (9) yang kini duduk di kelas 3 SD.
Kisah Tanto dan anak-anaknya bukan datang dari pengarang fiksi kenamaan. Kisah ini adalah realita yang dihadapi banyak orang di negeri ini. Ditambah situasi pandemi yang membuat seluruh kalangan semakin sulit mencari uang untuk sekadar makan sehari-hari.
Bagi orang-orang seperti Tanto, akses pendidikan untuk anak-anaknya adalah kemewahan yang amat sulit diwujudkan. Kemiskinan yang dirasakan masyarakat dan kemewahan yang ditampilkan para pejabat merupakan jukstaposisi yang nyata atas ketidakhadiran negara dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa di negara demokrasi ini, nyatanya segala hal justru diterapkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk pejabat.