Amok

Kaisar Deem

19 min read

Di penghujung tarikan nafas terakhirmu, kau merasakan Sang Batara mengusap matamu sekali lagi. Kesadaranmu kembali tertambat pada dunia dan peristiwa yang baru saja terjadi. Kau bertanya-tanya mengapa sekujur batang tubuhmu mati rasa. Apakah ini yang disebut sakaratul maut? Jika iya, bagian mana dari tubuhmu yang telah dikoyak-koyak oleh musuh. Kau penasaran apakah mereka juga mencabuti kuku-kukumu, sebagaimana yang mereka lakukan pada sahabatmu, Roemallang. Kau tak yakin jika bola matamu masih pada tempatnya. Semuanya kini terlihat kabur dan suram.

Kau ingin membayangkan kampung halamanmu yang jauh untuk terakhir kalinya. Rumah yang kini terasa semakin jauh karena kau tahu tidak akan pernah lagi kembali ke sana. Wajah ayah, ibu, dan kedua adikmu muncul bergantian seperti memanggil-manggil namamu. Kau ingin menangis dan meminta maaf karena telah mengecewakan mereka semua. Namun kau tak menyesalinya sama sekali. Kau justru bangga, di usiamu yang baru tiga belas tahun, sebagai satu-satunya anak laki-laki dari Makassar yang dibolehkan untuk berlayar dan mengunjungi negeri Siam, tempat Sang Pangeran yang selalu dibicarakan ayahmu itu mengasingkan diri.

Kau hanya tak menyangka jika perjalananmu akan berakhir menyedihkan seperti ini.

Dengan sisa-sisa kekuatanmu kau berguling untuk bertumpu pada sisi kiri tubuhmu, menanti saat roh ditarik keluar meninggalkan raga. Tapi matamu terbuka lagi dan kau melihat badik itu tertancap pada tanah basah tak jauh darimu. Kau ingat senjata itu dipasangkan sendiri oleh ayahmu di pinggangmu sebelum naik ke kapal.

Kau berusaha menjangkaunya tapi tanganmu tak bisa digerakkan.

Terdengar langkah-langkah mendekat, berirama di permukaan tanah. Seperti sepasukan berkuda. Apakah itu musuh? Mereka belum puas juga rupanya membunuhi kalian seperti binatang buruan.

Kesadaranmu perlahan-lahan menghilang.

***

Kerajaan Ayuthaya, tahun 1686

Rencana kudeta ini sejatinya sudah ditakdirkan gagal sejak mula. Kurir yang disuruh menyelinap ke istana untuk mengirimkan surat terlalu mencurigakan bagi pribadi polos seperti pangeran muda Champa, yang tak tahu jika ia coba diselamatkan oleh kedua saudaranya yang berkomplot di luar istana. Alih-alih segera mengepak pakaiannya dan kabur, ia malah menyerahkan surat itu tanpa membacanya kepada kepala menteri Konstantin Phaulkon yang segera meminta Raja Narai untuk mengambil langkah keras.

Raja Narai tahu betul apa yang sebenarnya terjadi. Cepat atau lambat orang-orang pasti akan mencari cara untuk menggulingkannya. Tapi ia tak menyangka bahwa semuanya akan terjadi dalam waktu begitu berdekatan. Lima tahun sebelumnya usaha pembunuhan terhadap dirinya pernah dilakukan dalam upaya menaikkan sepupu tirinya Chao Fa Noi ke tampuk kekuasaan. Ia memaafkan komplotan ini sebagai bagian dari pertunjukan kebijaksanaannya dan berpikir jika kegagalan akan menanamkan pelajaran dan rasa malu dalam diri setiap orang.

Tapi sang raja juga sepenuhnya awas, rakyat masih punya seribu alasan untuk tidak menyukainya. Di lingkungan istana sendiri, keturunan para bangsawan yang telah ia singkirkan dan hapuskan status keistimewaannya untuk menaikkan dirinya sendiri ke tahta kerajaan tak akan memaafkannya begitu saja. Sementara di kalangan petinggi Budha juga muncul rasa takut akan hilangnya keistimewaan mereka karena Raja Narai terlalu mengistimewakan kaum Brahmana. Para biksu mengeluhkan keengganan raja membangun kuil dan patung Budha serta kemalasannya tampil dalam perayaan-perayaan keagamaan. Alih-alih mengikuti maunya para biksu, Raja Narai justru memerintahkan untuk memeriksa lembaga kebiksuan setelah melihat banyaknya rakyat jelata yang menghindari kerja rodi dengan beralih profesi menjadi petapa.

Belum lagi ketidakpuasan yang semakin meningkat di kalangan rakyat karena hubungan raja dengan orang asing, terutama posisi istimewa orang Prancis dengan penunjukan Konstantin Phaulkon sebagai tangan kanan raja. Hal ini membuat konsentrasi kekayaan terpusat di Phra Klang; Kantor Urusan Luar Negeri dan Perdagangan. Dominasi Phaulkon dalam urusan perdagangan pada akhirnya mengancam eksistensi komunitas lain, terutama umat Islam. Sebelumnya, kaum muslim Melayu mempunyai peran komersial dan daya tawar politik yang kuat semasa kepemimpinan Agha Muhammad Astrabadi dari Persia. Namun kemudian si orang Persia dituduh melakukan korupsi dan posisinya segera direbut oleh Perancis, sehingga perdagangan dengan umat Islam perlahan terpinggirkan.

Secara khusus, muncul ketakutan lain jika Phaulkon akan memengaruhi raja untuk menganut Katolik. Hal ini membuat semua tokoh muslim berencana untuk menghentikan upaya tersebut. Mereka sudah cukup menderita oleh diskriminasi yang dialami selama ini di bawah rezim Budha. Kepentingan ini bersambut ketika sejumlah bangsawan Champa yang tersingkir mencium keresahan umat Islam dan menawarkan untuk membentuk aliansi. Sebagai gantinya, jika pemberontakan berhasil dan mereka bisa mendudukkan orangnya di tahta kekuasaan, maka raja yang baru akan memeluk Islam.

Dari jendela istananya, Raja Narai menatap risau perkampungan-perkampungan di kejauhan yang dipisahkan oleh sejumlah kanal dan sungai-sungai kecil. Kampung Portugis di sana, pemukiman orang-orang Jepang di sini, kantor dagang Belanda di sana, komunitas Eropa dan Arab di sisi lain sungai. Di atas negeri ini tinggal beragam rupa manusia dari segala penjuru bumi.

Namun, negeri ini bisa saja terbakar sewaktu-waktu. Raja mesti memikirkan cara untuk mempertahankan harmoni atau kekuasaannya akan terancam. Sedikit pening ia memikirkan konsekuensi terbesar yang akan menimpanya jika mengambil langkah penghukuman yang salah. Yang membuatnya tidak habis pikir tentu saja keterlibatan orang-orang Makassar dalam konspirasi tersebut. Ini adalah kali kedua mereka melakukannya.

Lima tahun lalu, ketika para konspirator diseret ke hadapannya, satu-satunya yang menolak untuk mengakui kesalahan adalah pemimpin dari kelompok Makassar. Lelaki ini dikenal di komunitas muslim dan melayu karena memimpin komunitasnya dengan karismatik. Usianya tak lagi muda tapi secara khusus ada sesuatu dalam diri lelaki tersebut yang membuat raja takjub dan cemas pada saat bersamaan.

Raja Narai tahu seluk beluk lelaki tersebut. Bagaimana dan sejak kapan ia berada di Ayuthaya. Ia merupakan pangeran dari sebuah kerajaan yang sangat besar di Selatan. Ia tiba pada tahun 1664 bersama dua ratus lima puluh tiga pengikutnya di negeri tersebut setelah upaya melelahkan dan keras kepala menentang keberadaan Belanda. Setelah mendengar bahwa saudara-saudaranya di Kerajaan Gowa-Tallo pada akhirnya menandatangani perjanjian damai yang menguntungkan Belanda, pangeran memutuskan bahwa tak ada lagi jalan untuk mereka pulang kecuali ada kemungkinan untuk mengangkat senjata kembali.

“Daeng Mabella, paman Sultan Hasanuddin dari Gowa di Selatan. Lelaki ini menyimpan harga diri dan semua rahasia hidupnya di bawah lidahnya. Kau tak akan bisa membuatnya berbicara kecuali meremukkan gigi-giginya,” kata Raja Narai kepada Phaulkon. “Tapi memaksanya hanya akan menghasilkan pertumpahan darah. Apa yang bisa kau pikirkan?”

Phaulkon yang selalu berpikiran praktis tak bisa melihat pilihan lain selain melakukan konfrontasi langsung. Tapi di saat-saat seperti ini berperang bukanlah pilihan terbaik.

“Yang mulia, kita mungkin tidak bisa memaksa orang-orang Makassar ini membuka mulutnya. Maksudku, orang-orang di perkampungan itu,” Phaulkon menunjuk sekumpulan rumah di tengah hutan. “Mereka sudah menyerahkan hidup matinya kepada Daeng Mabella. Segala tindakan mereka tak lain hanyalah perpanjangan dari ucapan sang pangeran. Tapi kita masih punya cara lain untuk mengetahui apa yang orang-orang ini rencanakan.”

“Apa itu?” Raja Narai terlihat tidak begitu antusias.

Galai dagang dari Makassar telah seminggu lebih berada di Ayuthaya. Saat ini mereka sedang bersiap-siap kembali ke Selatan. Sialnya, saya begitu terlambat menyadari keterhubungan ini semua. Tidakkah itu mencurigakan? Kita tidak pernah tahu bahwa mereka datang ke sini tak hanya membawa kain dan barang lain untuk diperjual belikan, bukan? Tidak mungkinkah mereka menyelundupkan uang atau senjata untuk mendukung para pemberontak? Kecurigaan saya semakin besar begitu tahu bahwa mereka memutuskan pergi secara tiba-tiba, hanya beberapa jam setelah persekongkolan ini terbongkar.”

Raja Narai bertanya apa yang akan menterinya itu lakukan.

“Saya akan mengutus orang kepada walikota Bangkok untuk menahan kapal-kapal itu keluar ke muara. Kita harus bergerak cepat sebelum terlambat atau kita akan kehilangan semua bukti.”

“Seberapa yakin kau dengan rencana ini?”

“Yang Mulia, mereka memanggilku Phaulkon karena saya bisa melihat gambaran utuh sebuah masalah seperti seekor elang di angkasa melihat hamparan bumi di bawahnya. Kita tahu para pedagang memiliki mental yang berbeda dengan prajurit. Mereka hanya berpikir untung rugi. Dengan sedikit ancaman, kita paksa orang-orang ini mengaku atau kapal mereka tidak bisa meninggalkan Bangkok.”

Raja Narai tak membuang waktu untuk menyetujui rencana tersebut. Semuanya terdengar masuk akal dan meyakinkan. Kecuali bahwa raja dan menterinya tak tahu watak orang Makassar sebenarnya. Di mana-mana mereka sama saja. Entah prajurit atau pedagang, mereka tak akan mau menjadi pengadu domba bagi sesamanya. Keduanya tak membayangkan jika pertumpahan darah pertama akan berlangsung di pelabuhan Bangkok.

***

Seperti anak buah kapal lainnya, kau tak paham mengapa budak-budak Siam di daratan menggantung rantai kapal di antara dua benteng secara tiba-tiba. Perasaan bahagia yang meluap-luap memenuhi dadamu belum lagi pergi. Satu minggu lebih empat hari kau habiskan di negeri Siam. Bertemu dengan orang-orang Makassar perantauan, tinggal di rumah mereka, dan saling berbagi cerita. Mereka bertanya kondisi orang-orang Makassar setelah perjanjian damai Bongaya dan kau bercerita tentang perubahan-perubahan yang terjadi di negerimu dengan semangat. Bagaimana nasib benteng Somba Opu yang diratakan hingga ke tanah setelah jatuh ke tangan Belanda. Tentang wabah misterius pada tahun 1668 yang menjangkiti satu kota dan membunuh ratusan musuh, hingga kesedihan yang menggerogoti daya hidup Sultan Hasanuddin di atas ranjang pada hari-hari terakhirnya. Mendengar itu, orang-orang yang berkumpul mengelilingimu, baik tua ataupun muda terlihat murung. Beberapa perempuan menangis sesenggukan. Bagaimana pun mereka juga adalah orang Makassar sepertimu dan kalian meratapi kepedihan yang sama.

Namun, yang paling berkesan adalah pertemuanmu dengan Daeng Mabella. Ia ada di antara orang-orang yang mendengarkan ceritamu, sesekali mengangguk dan tersenyum tipis. Di penghujung hari itu, pangeran secara pribadi mengajakmu berjalan-jalan di tepi kanal kecil yang membatasi perkampungan Makassar dan perkampungan orang-orang Jepang di Selatan. Kau berjalan di belakangnya dalam jarak seorang pengamat, memerhatikan langkah-langkah lambat dan pincang pangeran yang diakibatkan pecahan kayu kapa yang menacap di kaki kirinya dalam sebuah operasi menyergap kapal Belanda. Punggungnya yang ringkih dan sesekali kau mendengarnya berhenti untuk menarik nafas dalam yang bisa kau dengar di antara desis dedaunan. Pangeran tak mengenal seorang pun dari keluargamu. Bapakmu mungkin salah orang karena mengaku kalian berkerabat, tapi apa pun itu, cara pangeran memperlakukan anak sepertimu membuatmu seperti bertemu dengan seorang kawan lama yang kau rindukan. Hangat dan menenangkan.

“Kau pasti tak sabar untuk menceritakan semua ini ke teman-temanmu di Makassar,” kata pangeran tanpa menoleh.

Kau mengangguk dengan kepolosan bocah yang baru saja menerima hadiah.

“Kalau kau ada waktu, ikutlah di galai itu sekali lagi. Datanglah ke sini bawa teman-temanmu.”

Dengan senang hati kau mengiyakannya. Menganggapnya sebagai janji yang mesti ditepati.

Namun, senyum tipis di bibirmu perlahan lenyap ketika tahu sekoci yang mengangkut dua petugas bandar bersenjatakan senapan mendekati kapal dan semua orang di sekitarmu mulai berbisik-bisik.

“Apa mereka akan memeriksa kita?” tanya salah seorang awak.

Daeng, bagaimana ini, apa yang harus kita lakukan?” seseorang menyeru kapten kapal dari buritan.

Memeriksa apa? Apa yang sedang terjadi? Pertanyaan itu menggantung di tepi bibirmu sementara orang-orang nampak mulai mondar mandir. Roemallang, sahabat yang cukup dekat denganmu, meski tujuh tahun lebih tua menjelaskan situasinya. Bahwa penahanan ini bisa jadi ada hubungannya dengan pemberontakan gagal yang dilakukan oleh orang-orang Siam di lingkungan istana.

Tapi mengapa mereka harus memeriksa kita? Apakah kita terlibat? Belum sempat kau bertanya kapten kapal muncul dan mengumpulkan semua awak. Ia mengatakan bahwa pertama-tama setiap orang harus menunjukkan sikap tenang dan waspada. Kapten dan beberapa orang pengawal akan turun menemui syah bandar untuk melayangkan protes. Kemungkinan akan terjadi penggeledahan dan yang terburuk semua orang akan ditahan dan tak diperbolehkan meninggalkan Bangkok.

“Jika itu terjadi…” kata kapten kapal melempar pandang ke langit. Ia berhenti sebentar, menutup matanya, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat di antara awan-awan. “Tidak. Jika hal paling buruk terjadi, saya akan melambaikan patonro’ dari bawah sana dan kalian semua tahu apa yang harus dilakukan.”

Semua orang saling berpandangan, mengangguk seperti tanda kebulatan tekad. Namun nampaknya kau satu-satunya yang tidak memahami maksudnya. Ketika kapten kapal turun ke darat, sisa anak buah yang semuanya laki-laki mulai membongkar peti senjata. Kau mengikuti Roemallang, mengambil kendi yang berisi ballo’ dan sesuatu dalam bungkusan daun pisang.

“Bawa ini ke atas?”

“Kita tidak akan minum-minum sementara kapten pergi, kan?” tanyamu menerima kendi-kendi dengan dua tangan.

Roemallang menatapmu dalam dan kau tak bertanya lagi.

Di geladak Roemallang melayangkan tunjuk ke daratan. Terlihat beberapa tentara Inggris dengan senjata meneduhi pandangan dengan tangan, memerhatikan orang-orang yang ada di atas kapal. Kau dan Roemallang duduk berpegangan pada tiang pagar sambil melemparkan gerakan tangan cabul dan menertawai orang-orang Eropa tersebut. Sementara itu kapten dan anak buahnya berbicara kepada petugas pelabuhan yang mengarahkannya masuk ke dalam sebuah paviliun dalam benteng. Roemallang mengambil kendi, meminum tuak dengan tegukan-tegukan yang dalam.

“Minumlah juga,” diserahkannya kendi itu kepadamu.

Kau hanya menggeleng.

“Kau ada badik?” Tanya Roemallang sesaat kemudian. Sepasang matanya mulai memerah.

Kau mengangkat rompimu, memperlihatkan benda itu terselip di pinggang.

“Keren, tipe gencong. Jangan lepaskan dari tanganmu.”

Dua orang pengawal kapten terlihat muncul dari paviliun dan melepas pengikat kepala merahnya. Dilambaikannya patonro’ itu tinggi-tinggi ke udara. Semua awak kapal diperintahkan untuk turun.

“Perasaanku mengatakan kita tidak akan pulang hidup-hidup,” Roemallang menepuk pundakmu. Dahinya mengerut, mabuk tak mampu menyembunyikan kesedihannya. “Jangan takut, ya. Kalau pun harus terbunuh, membunuhlah lebih dahulu.”

“Memangnya kita akan berperang?” Untuk pertama kalinya kata-kata keluar dari mulutmu yang bergetar.

“Saya sih tidak mengharapkan hal seperti itu terjadi,” Roemallang menatap lautan luas yang dibatasi bentangan rantai besi yang digunakan untuk menghalau kapal-kapal. “Begini-begini saya juga masih mau hidup. Lepas Rajab orang tuaku bakal nikahkan saya dengan Dahlia.”

“Itu tidak lama lagi, Daeng,” katamu.

Roemallang terdiam.

“Saya juga punya ayah, ibu, dan dua orang adik yang masih kecil,” katamu setelah cukup yakin betapa seriusnya masalah ini.

Roemallang tergelak pendek. “Saya tidak coba menatkutimu. Namun, pihak syahbandar tak akan mau mengangkat rantai begitu saja jika bukan masalah serius. Entah benar terlibat dengan persekongkolan atau tidak, tapi posisi kita di sini seperti seekor ikan Sunu’ di antara bete-bete dalam kuali. Begitu mencolok untuk disebut kebetulan. Kau paham maksudku?”

Kau jatuh terduduk di lantai kapal dan mulai menangis tak bersuara.

“Sudah…sudah,” Roemallang mengangkatmu kembali berdiri. “Mau gimana lagi. Lari pun tak akan membuat kita sampai ke kampung halaman.”

***

Kapten kapal semula menolak ajakan untuk berbicara di paviliun karena alasan keamanan. Namun setelah diperbolehkan membawa tujuh orang prajurit dan tanpa meletakkan senjata, ia bersedia menemui langsung gubernur Bangkok, Chevalier de Forbin. Duduk di balik sebuah meja kayu, gubernur memasang tampang bersahabat dan berbasa-basi tentang cuaca—de Forbin memang suka membuka percakapan dengan persoalan cuaca atau mahluk-mahluk eksotis di kawasan tersebut yang diyakininya sebagai pemicu gairah masa mudanya untuk menyeberangi lautan. Namun, melihat ujung kumis kapten yang bergidik jenuh, ia pun menarik senyumnya kembali. Kepada penerjemah Mandarin di sisinya, de Forbin mengatakan sedang memburu orang-orang Siam yang memberontak, sehingga ia meminta izin agar galai diperiksa.

Kapten tidak setuju. Ia meyakinkan bahwa kelima puluh orang yang ikut di kapalnya semuanya merupakan orang Makassar.

“Tidakkah Anda sadar sepasang kaki Anda berpijak di negeri orang?” kata de Forbin dingin. “Kita boleh percaya matahari menyinari semua orang di bumi manapun, tapi cuaca di Siam sedikit berbeda dengan di tanah kelahiran Anda. Di sini angin ribut bisa menghempas pelaut paling berani bahkan di waktu-waktu yang tak terpikirkan olehnya.”

Memahami ancaman yang dilancarkan gubernur, kapten menyuruh dua orang pengawalnya keluar dan menjemput semua orang-orang dari atas kapal. Sambil memanfaatkan waktu di antara itu, de Forbin menghilang ke pintu belakang. Ia lalu muncul sesaat kemudian di depan paviliun bersama dua puluh prajurit bertombak dan empat belas musketeer dan memerintahkan agar tirai diturunkan. Beberapa orang Mandarin Siam diutus untuk memberitahu kapten dan pengawalnya bahwa ia dan seluruh orang Makassar telah ditangkap.

Hanya butuh sekedipan mata, badik milik kapten kapal telah tertancap di jantung si penerjemah, menyayat hingga ke tulang belakang, menghancurkan tiga ruas rusuknya. Melihat tindakan si kapten, lima pengawal Makassar ikut menghunus badik dan menyerang enam penerjemah Mandarin lainnya. Semuanya tewas saat itu juga.

Gubernur segera memberi perintah untuk menembak. Dari enam orang Makassar, empat orang rubuh ke lantai termasuk kapten kapal, sementara dua lainnya berhasil meloloskan diri dengan melompat dari benteng dan jatuh ke parit.

Komandan Beauregard dari Prancis menyadari bahwa si kapten masih hidup meskipun mendapatkan luka parah. Ia melarang sersan untuk menembaknya dan berpikir jika ialah yang seharusnya menghabisinya sendirian. Komandan Beauregard mendekat untuk merampas belati si kapten tapi hanya kebagian sarungnya. Tangan si kapten ternyata lebih gesit untuk menarik gagang, lalu sekonyong-konyong ia bangkit kembali untuk melakukan serangan terakhir, menusuk perut Beauregard.

Terkejut dengan perlawanan keras orang Makassar, de Forbin kemudian mengumpulkan satu garnisun untuk mengepung mereka. Sementara itu orang-orang Makassar yang baru turun dari kapal langsung curiga ketika mereka disuruh berhenti dan berbaris oleh Kapten Hues dari Inggris yang ditemani empat puluh orang Portugis. De Forbin muncul dan berusaha mengulur waktu dengan mengajak mereka berbincang-bincang. Suara-suara tak puas mulai terdengar dari orang-orang Makassar yang mempertanyakan suara tembakan barusan. Kapten Hues, yang dikenal gampang naik darah tak tahan dengan penundaan memutuskan untuk menyerang. Senjata diarahkan ke kumpulan Makassar, jari prajurit-prajurit Portugis bersiap menekan pelatuk.

Menyadari apa yang sedang terjadi, empat puluh tujuh orang Makassar yang berjongkok di tanah serempak berdiri memutar sarung yang tersampir pada bahu untuk dililitkan ke tangan sebagai perisai. Satu tangan yang lain menggenggam senjata. Saat itu juga Gubernur menyadari bahwa yang dihadapinya ini adalah para petarung terlatih, terlihat dari cara mereka mengatur formasi untuk serangan berkelompok.

“Tenang… tenang ini bisa dibicarakan,” de Forbin mengangkat kedua tangannya berusaha mengalau pasukan Kapten Hues untuk tidak menembak dulu.

Persoalannya semua Siam Mandarin yang menjadi penerjemah telah tewas. Tak ada satu pun di antara orang Makassar ini yang paham perkataan gubernur. Mereka membalas dengan berteriak, meminta kaptennya dikembalikan dalam bahasa mereka sendiri. Dua kubu berhadap-hadapan tanpa saling memahami satu sama lain. Dengan senjata masing-masing di tangan.

Seorang Makassar melompat ke depan barisan sambil meneriakkan sesuatu yang tak dipahami de Forbin. Lelaki muda itu menyerang membabi buta, menusuk seorang tentara yang dalam jangkauannya. Tindakannya segera diikuti oleh yang lainnya. Pasukan Portugis yang tidak memperkirakan respon orang-orang Makassar berhamburan mundur. Formasi bertahan kehilangan bentuknya. Barisan terdepan pasukan de Forbin kocar-kacir dan itu menyisakan ruang yang membebaskan orang-orang Makassar mengamuk kesetanan menikam siapa saja yang mereka temui.

***

Sirika ji tojeng!!!

Hanya kehormatan yang nyata. Itulah yang kau ingat ketika Roemallang menyerbu ke depan dengan membabi buta. Dialah yang menusukkan badik ke dagu seorang prajurit Portugis yang gugup melihat seorang remaja tiba-tiba muncul satu langkah di hadapannya. Ujung badik itu menembus mulut si Portugis malang. Darah segar menghambur ke udara. Dengan cepat Roemallang menarik pisaunya kembali dan menodongkannya ke prajurit yang lain. Setelahnya yang kau ingat teman-temanmu yang lain menerjang ke depan dan kekacauan memenuhi kepalamu.

Kau ingin lari dari sana. Bukan akhir seperti ini yang kau harapkan dari perjalanan ini. Kau datang ke sini bukan untuk berperang. Bayangan keluarga dan kampung halamanmu muncul kembali.

Ketika mendengar berita ekspedisi ke Siam kau tak membuang-buang waktu untuk mencari tahu cara untuk ikut ke atas kapal. Dengan keras kepala kau merengek kepada ibumu, berbohong jika diizinkan pergi sekali ini saja kau akan mendedikasikan seluruh hidupmu untuk mengurus ladang dan kerbau-kerbaumu sepulang nanti dan tak lagi ogah-ogahan jika disuruh ayahmu mengaji kitab.

Kau tahu betapa pentingnya perjalanan ini bagi seorang anak muda. Dibanding anak-anak seusiamu kau memiliki ketertarikan besar pada dunia luar. Ketika yang lain telah menikah di usia lima belas tahun, kau malah memikirkan untuk ikut kapal Portugis dan melihat negeri-negeri di seberang lautan. Kau tertarik pada gajah-gajah raksasa dari Siam, bagaimana orang Eropa membuat globe dunia super besar yang disebut hanya ada tujuh di dunia, dan salah satunya ada di rumah Karaeng Pattingalloang di Tallo. Kau penasaran dengan negeri di Utara yang daratannya tertutup es sepanjang waktu. Kau ingin mengunjungi kota misterius bernama Toledo yang ada dalam mimpi-mimpi seorang peramal di desamu, dan menaiki unta ke Mekah. Kau ingin menjelajahi setiap sudut bumi.

Setelah mendapat izin dari orang tuamu, dengan keras kepala yang sama kau mencoba mencuri hati kapten kapal. Kau mengikutinya ke mana pun ia pergi, mengatakan jika lenganmu memang tidak begitu bisa diandalkan untuk mendayung galai, tapi kau mungkin bisa melakukan pekerjaan lain. Kau sering membantu ibumu memasak, menombak ikan, dan mengepel lantai. Kapten hanya melirik dari sudut matanya lalu menggerak-gerakkan tangan untuk mengusirmu, mengatakan perjalanan ini bukanlah untuk anak-anak.

Kau tidak menyerah. Pagi-pagi sekali kau sudah berada di kaki tangga rumah kapten, tanpa diminta menaikkan barang dagangannya ke punggungmu dan berjalan ke pasar, meninggalkan si kapten dan istrinya di belakang dengan dahi mengernyit dan mulut terbuka. Kau juga nyaris membuat kapten mati terkejut ketika muncul di depan kakus, menimba air sumur untuknya setelah buang hajat. Atau kegigihanmu menawarkan diri mengetuk pintu dan membawa kabar ke setiap rumah awak kapal yang jumlahnya puluhan. Kau melakukan apa saja untuk mendapatkan rasa kasihan. Kapten tak punya pilihan selain memperbolehkanmu ikut.

Kau sungguh senang. Sebulan sebelum ekspedisi kau mempersiapkan fisik dan mental. Kau berlatih renang dua kali sehari, menghafal doa-doa baginda Ali. Kau juga menghindari bicara tak perlu kepada kawan-kawanmu yang bisa mengundang kualat.

Satu-satunya yang tak kau persiapkan adalah latihan berperang.

Kau merasakan seorang menyentakkanmu keras. Itu Roemallang. Ia berteriak di depan wajahmu, mengguncang bahumu maju dan mundur.

“Hei bodoh, kapten sudah mati! Kalau kau tidak mau berperang, kembalilah ke kapal dan tunggu sampai orang-orang ini naik dan membunuhimu di atas sana!”

Kau mendapati dirimu jatuh terduduk di tanah. Di hadapanmu pemandangan mengerikan nampak di kiri kanan. Beberapa orang Makassar berlarian mengejar prajurit-prajurit yang mundur ke benteng. Dua orang mengejar orang-orang Inggris dengan ikut melompat ke dalam parit. Mayat-mayat tentara Portugis tergeletak di tanah. Darah mengucur dari perut, kepala, dan leher mereka, menjadikan tanah memerah darah.

Kau meraba pinggangmu, dengan tangan gemetar kau mencabut badik dari sarungnya. Dari atas benteng, sekelompok musketeer Portugis tiba-tiba muncul dan serempak menembak ke bawah, membunuh beberapa kawanmu. Orang-orang Makassar yang berada di depan bergerak mundur ke belakang hingga ke tangga kapal. Roemallang memerintahkanmu untuk berlindung di belakang tubuhnya. Namun, alih-alih bergabung dengan yang lain, kalian berlari ke sisi timur, menghindari peluru di antara jejeran pohon kelapa. Hingga kalian tiba di pintu masuk sebuah pasar.

Orang-orang yang berada di sana terheran-heran menyaksikan kemunculan kalian, terutama Roemallang dengan senjata di tangan dan tubuh berlumuran darah.

Roemallang mengeluarkan bungkusan daun pisang yang diselipkan di pinggangnya. Ia menarikmu ke dekapannya dan menempelkan benda tersebut ke mulutmu. Bau menyengat dan keras memenuhi penciumanmu. Kau tersedak, kerongkonganmu kaku seperti diikat tali tambang. Darah memenuhi wajahmu, kau merasa hampir kehilangan kesadaran. Roemallang tetap seperti itu, meski kau memberontak dan menolak, rangkulannya terlalu kuat untukmu melepaskan diri. Ia terus menahanmu selama beberapa saat sebelum mengendurkan rangkulannya.

Kau jatuh berlutut di tanah, terengah-engah. Kesadaranmu perlahan mengabur dan tanah di bawah kakimu seperti bergoyang ke kiri dan kanan. Kau berdiri sambil berusaha mempertahankan keseimbanganmu yang goyah. Kau bertanya-tanya benda apa yang barusan dijejalkan Roemallang ke mulutmu.

“Mengamuklah,” teriak Roemallang mendorong tubuhmu ke tengah orang-orang di pasar.

Digerakkan oleh daya yang entah datangnya dari mana kau juga mulai berteriak kesetanan. Yang pertama adalah seorang perempuan paruh baya dengan nampan berisi umbi-umbian di kepalanya. Ia terkejut tapi sepertinya tak tahu apa yang akan terjadi. Perempuan itu tersenyum kepadamu tapi tanganmu dengan cepat menusukkan badik ke tulang di antara dua buah dadanya. Gemeretak tulang pecah kemudian darah berhamburan memenuhi wajahmu. Orang-orang histeris dan berhamburan. Sementara di tempat lain, Roemallang juga sudah menemukan korbannya. Seperti dirasuki jin, ia memukuli seorang pedagang tanpa ampun sebelum menancapkan badik ke kepalanya. Setengah sadar kau terus bergerak maju, kerumunan pecah berlarian menjauhimu. Seorang lelaki tua terjatuh dan terdorong keluar dari kerumunan. Ia terduduk mengatupkan kedua tanganya, lalu bersujud memohon ampun di kakimu. Kau mengangkat orang tua tersebut, membantunya berdiri, lalu menusuk-nusukkan belati belasan kali ke perutnya. Ketika kau menarik keluar badikmu, sebagian ususnya ikut keluar dan jatuh ke tanah. Melihat itu kau tersedak lalu memuntahkan semua makanan yang masuk ke perutmu sejak pagi.

***

Pelabuhan segera menjadi medan perang dan dalam lima belas menit orang-orang Makassar telah menguasai garis sungai sejauh satu kilometer. Mereka berkeliaran ke sana kemari mencari orang yang ditemuinya untuk dibunuh. Mereka melempari rumah-rumah dan kantor dagang tanpa pandang bulu. Beberapa kembali ke kapal, turun dengan membawa senjata lebih banyak lagi sebelum menenggelamkan kapal dengan membakarnya. Kini dengan tombak di tangan mereka menyisir setiap barak prajurit dan mencari siapa pun yang bersembunyi, menyeret mereka keluar ke jalan, dan menggorok lehernya tanpa ampun.

Sementara itu, pasukan de Forbin yang sejak tadi berlindung di dalam benteng tak punya pilihan selain mengejar orang-orang ini sebelum terlalu jauh masuk ke pemukiman penduduk. Gubenur bersama dua puluh orang musketeer dan enam puluh prajurit Siam bersenjatakan tombak mengejar dengan galai dari sungai, namun segera mengetahui bahwa orang-orang Makassar telah membagi diri menjadi dua kelompok. Sebagian dari mereka berenang ke tepi sungai seberang dan memperluas kerusuhan yang coba diisolasi oleh de Forbin sebatas di lingkungan benteng.

“Kurang ajar! Mereka benar-benar menantang kita,” seorang prajurit yang tak sabaran mengarahkan senapan ke tepi sungai yang masih jauh dari jangkauan.

“Menyeberangi sungai dengan berenang,” sahut prajurit lainnya. “Mereka ini bukan manusia!”

“Butuh waktu tiga tahun bagi Belanda untuk mengalahkan orang-orang ini,” balas de Forbin. “Mereka bahkan harus membentuk aliansi dengan kerajaan lokal hanya untuk menghentikan perang lewat perjanjian damai yang dipaksakan.”

Sementara mereka merutuk, enam orang Makassar rupanya telah menduduki sebuah biara dan membunuh semua pendeta yang ada di sana. Seorang Makassar yang memanjati puncak biara menyaksikan galai yang ditumpangi pasukan de Forbin mendekat. Ia memerintahkan agar biara dibakar sebelum mereka semua mundur untuk bertahan di hutan.

Gubernur tidak berlama-lama untuk memerintahkan pasukannya menyisir area sungai dan pemukiman. Bekerja sama dengan penduduk Siam yang kesal, mereka berhasil memojokkan keenam pembuat onar. Terjadi perlawanan dari dalam semak-semak tapi perbandingan kekuatan yang timpang membuat pasukan de Forbin berhasil memaksa lima orang keluar dan menyerah. Satu orang lainnya berusaha kabur dengan menyeberangi rawa-rawa yang ternyata telah ditunggu oleh penduduk Siam di sisi lain. Ia ditemukan tak bersenjata, menyerbu dengan tinju dan kaki, dan berhasil dijatuhkan menggunakan tombak panjang dari empat sisi. Tapi ia masih bisa menggigit telinga seorang prajurit Siam hingga putus. Perlawanannya berhenti setelah ia kehabisan darah karena menerima dua ratus delapan puluh tiga tusukan di sekujur tubuhnya.

Sekembalinya di benteng, de Forbin menyusun ulang rencana dan mengetahui bahwa sebanyak tiga ratus enam puluh enam prajuritnya telah tewas. Sementara korban dari pihak Makassar sebanyak tujuh belas orang; enam orang tewas di paviliun, enam di dekat biara, dan lima di sekitar benteng. Dua minggu kemudian, tiga orang lagi ditangkap sekitar dua jam perjalanan dengan berjalan kaki dari Bangkok. Dari tiga orang tersebut, dua orang bertobat menjadi Kristen, dibaptis oleh pendeta Etienne Manuel tapi meninggal karena luka-lukanya beberapa saat kemudian. Orang ketiga lebih memilih dipenggal daripada masuk Kristen. Seminggu kemudian tujuh belas orang ditemukan tak bernyawa di hutan. Mereka nampaknya tidak ikut berperang dan kematiannya lebih diakibatkan karena kelaparan. Tak ada luka-luka atau tanda bunuh diri massal dari kelompok ini. Mereka semua terbaring di sebuah tanah lapang, menghadap ke langit dengan mata tertutup. Ini lebih mirip seperti orang yang sedang tidur siang, kata seorang petani yang menemukan mereka kepada gubernur de Forbin. Mereka semua dipenggal dan kepalanya ditancapkan pada tiang-tiang sepanjang jalanan kota Bangkok.

Meski sudah berhasil menumpas semua perusuh dan mendapatkan pujian dari Kepala Menteri Konstantin Phaulkon, tetapi de Forbin masih jauh dari bisa disebut berpuas diri. Dari balik meja kerjanya, ia membaca kembali laporan kerugian jiwa dan materi dari peristiwa ini. Benar-benar sebuah horor. Memulihkan kembali pelabuhan yang hancur butuh biaya setara perbaikan bencana banjir bandang. Ketika sampai pada daftar para awak kapal Makassar, ia terdiam sesaat di hadapan angka-angka tersebut. Ia mengambil lembar laporan kedatangan dari syahbandar pada hari kedatangan kapal. Dicocokkannya kembali jumlah pihak musuh, kali ini sampai menggunakan jari agar ia lebih yakin.

“Harusnya yang mati lima puluh empat, termasuk si kapten kapal,” katanya memandangi jari di kedua tangannya. “Apa saya salah hitung atau gimana?” Gubernur yakin ia tidak salah. Atau jangan-jangan laporan ini luput memasukkan nama kapten kapal.

Gubernur bangkit dan menyalakan cerutunya. Dipikir-pikir cuma beda satu orang saja, batinnya. Kalau pun satu orang itu selamat ia tak akan bisa pergi lebih jauh dari Bangkok. Semua pintu masuk dan keluar kota sudah dijaga pasukannya. Ini dilakukan setelah Phaulkon bersumpah tak akan berhenti sebelum menumpas semua orang Makassar di Ayuthaya. Operasi selanjutnya mungkin akan lebih kejam dan memakan korban lebih banyak. Perintah telah diberikan, beberapa hari lagi mereka akan menggempur perkampungan orang-orang Makassar dengan kekuatan tiga kali lebih besar.

***

Butuh berhari-hari dalam pelarianmu sebelum kau menyadari bahwa kaulah satu-satunya yang selamat dari perang ini. Semua kawanmu telah mati dan kau hampir tak ingat dengan cara apa setiap dari mereka menemui ajalnya. Ingatan terdekat dari peristiwa itu adalah ketika Roemallang menyeretmu turun ke rawa, sementara kau menangis menyaksikan kelima orang kawanmu pasrah dengan kedua tangan terangkat, melangkah keluar dari semak-semak untuk menyerahkan diri. Salah seorang di antara mereka adalah tetanggamu, Maggau’, lelaki yang memberitahumu tentang ekpedisi ini. Maggau’ adalah sosok yang tidak banyak bicara tapi dikenal cerdas. Ialah yang mengejar kalian berdua dan menahan agar tidak terlau jauh masuk ke pasar karena akan bertemu dengan banyak musuh.

Roemallang yang sudah kehilangan akal sehat berkata justru itulah yang sedang kalian cari, membunuh sebanyak-banyaknya. Namun, Maggau’ punya ide lebih bagus.

“Tidakkah kalian lihat bangunan di seberang sana?” Maggau’ menunjuk sebuah rumah batu berarsitektur Eropa di sisi lain sungai. “Orang-orang di sana lebih pantas mati daripada penduduk Siam.”

Kau bertanya ada apa dengan bangunan itu.

Kumpeni,” katanya. “Itu adalah kantor dagang Belanda. Kapal musuh tidak menembaki galai kita sejak tadi karena takut mengenai kantor itu dan mengundang konflik terbuka dengan Belanda. Jika kalian ingin membalaskan dendam kakek-nenek kita sekaranglah saatnya.”

Belum juga Maggau’ menjelaskan rencananya, Roemallang sudah menceburkan diri ke sungai dan berenang kesetanan ke seberang. Lima orang lain menyusul turun ke air. Kini hanya tinggal kalian berdua.

Maggau’ berpaling kepadamu, “Kau tidak menyesaliku kan, Jarre’?” Kau bertanya mengapa ia bertanya seperti itu. Maggau’ tersenyum dan menggeleng, mengatakan bahwa ia seharusnya tidak menceritakan tentang perjalanan ini kepadamu. Ia merasa bersalah kepada kedua orang tuamu. Dengan kesal kau bilang tanpa diajak pun kau akan mencari cara untuk ikut ke kapal. Sebenarnya di dalam hatimu ada penyesalan, tapi kepalamu sudah terlalu pening untuk memikirkan hal itu. Kau meminta agar Maggau’ tidak memperlakukanmu seperti anak-anak lagi sambil melemparkan dirimu ke dalam air. Kau tak tahu mengapa air sungainya begitu perih tapi itu membuat air matamu tak berhenti mengalir.

Sebuah suara menyentuh dinding tipis kesadaranmu.

“Anak ini menangis dalam tidurnya,” kau mendengar seseorang berbisik.

“Biarlah dia seperti itu,” bisik seorang lain. “Kalau dia bangun dan berteriak-teriak lagi itu akan menyusahkan kita. Bisa-bisa ketahuan musuh.”

Kau berusaha menangkap suara-suara itu, memusatkan kesadaranmu atas apa yang kau dengar barusan. Bersamaan dengan itu tubuhmu mulai bereaksi terhadap guncangan tapi di beberapa bagian masih mati rasa. Kau membuka matamu, mengedip-ngedipkannya. Suara bisik-bisik tersebut mengelilingimu. Saat ini malam hari. Kau tak tahu berada di mana dan bersama siapa, tapi kau merasakan tubuhmu berbaring dan terus bergerak sementara bulan sempurna di langit timur ikut bergerak menjejermu. Kau menduga sedang berada di atas sebuah gerobak. Satu persatu wajah orang-orang yang memunggungi cahaya bulan muncul di atasmu. Anehnya, kau memahami apa yang mereka ucapkan. Apakah kau sudah berada dikampung halaman? Apakah ekspedisi ke Siam itu hanyalah sebuah mimpi? Juga perang di pelabuhan? Dan mengapa orang-orang ini menudungi kepalanya dengan kain? Ada banyak pertanyaan dalam kepalamu yang berlomba untuk dijawab.

“Apa ia sudah sadar?” Sebuah suara datang dari jauh.

“Iya, karaeng,” orang-orang ini serempak menjawab. Lalu kerumunan memberi jalan kepada seseorang. Kau teringat sesuatu. Sepertinya kau mengenal pemilik suara itu.

Gerobak berhenti. Seorang lelaki turun dari seekor kuda dan membuka tudung kepalanya.

“Kuasa-Nya Batara sehingga kau bisa selamat, nak,” lelaki itu tersenyum kepadamu. “Apa kau masih ingat denganku?”

Tentu saja kau mengingatnya. Kau hanya tak kuasa menahan haru yang menyesaki dadamu. Daeng Mabella dan orang-orang Makassar datang untuk menyelamatkanmu.

“Kau sudah tertidur selama tiga hari sejak kami menemukanmu.” Sang Pangeran mengusap air matamu. Ia lalu berbalik ke arah orang-orang. “Sebentar lagi kita akan sampai. Tidak ada waktu untuk menangis. Saat ini, pihak kerajaan sedang mengarahkan moncong meriamnya ke rumah-rumah kita. Tapi kita tak akan membiarkan itu terjadi. Tidak ada ceritanya ibu, istri, dan anak-anak kita disembelih di depan mata kita begitu saja. Sebelum itu terjadi, kita akan mempersiapkan serangan balasan. Saya bersumpah Ayuthaya akan banjir darah dan kampung Mangkasarak akan jadi kuburan bagi kafir-kafir bermata biru itu!”

Kau menyaksikan nyala-nyala api kecil dari kegelapan hutan, kemudian sejumlah lelaki dewasa dengan tombak dan parang muncul dan bergabung dengan rombongan. Kau bersusah payah bangun untuk duduk dan memperhatikan sekelilingmu. Kalian telah tiba di jalan masuk perkampungan Mangkasarak. Perempuan dan anak-anak dengan obor di tangan berdiri di depan rumah mereka menyambutmu. Semua orang berkumpul di sekitar gerobak, penasaran, dan menangis meratap dalam merayakan satu-satunya kerabat mereka yang selamat dari pembantaian. Seorang perempuan tua menerobos barisan pengawalan dan menggenggam tangan lemahmu. Ia menciuminya berkali-kali sebelum mengangkatnya ke udara dan berteriak: sirika ji tojeng! Sirika ji tojeng!

Hanya kehormatan yang nyata!

Seisi kampung membalas dengan meneriakkan kalimat yang sama. Riuh rendah memenuhi udara. Kenangan tentang Roemallang di ujung hari itu kembali timbul tenggelam, ketika ia mendesakkan kepalamu ke lumpur, menyuruhmu terus merangkak ke Timur, sementara ia melemparkan dirinya ke tengah-tengah musuh untuk dibunuh agar kau bisa selamat.

Ini semua belum berakhir, Roemallang, gumammu. Orang-orang kita baru saja mengirimkan pernyataan perang kepada kerajaan.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Kaisar Deem

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email