Yang Hilang setelah Timothy Tiada

Juli Prasetya

2 min read

Kasus tewasnya Timothy Anugerah, Mahasiswa Semester akhir Universitas Udayana menjadi gambaran kelam dan gelap dunia pendidikan di Indonesia. Universitas atau kampus yang seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi para mahasiswanya dan seluruh civitasnya ternyata hanya menghasilan cecunguk-cecunguk pecundang dan tukang bully yang menjadi salah satu penyebab Timothy nekat mengakhiri hidupnya, dengan terjun dari lantai 4 kampus tercintanya.

Saya tidak mengenal Timothy secara pribadi, tapi dari apa yang saya saksikan di media sosial, bagaimana ia bernyanyi, dari ekspresi wajahnya, dan dari target hidupnya yang konon ia tulis ketika tengah berproses menuntut ilmu, itu menunjukkan sebuah tekad dan keinginan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Orang ini memiliki hati yang tulus dan penuh kebaikan. Namun tentu saja dunia yang semakin lama makin brengsek ini juga melahirkan orang-orang brengsek yang menjadi pembully dan tukang rundung Timothy.

Mulut comberan, ringan tangan dalam mengetik hal-hal yang begitu keji, nirempati, dan tidak memiliki rasa bersalah sama sekali. Saya yakin ketika mereka menulis makian-makian dan narasi nirempati ketika tubuh Timothy tergeletak tak bernyawa, mereka menuliskannya dalam kesadaran penuh, tanpa perasaan bersalah. Memang para pembully ini bisa meminta maaf di depan umum ketika chat keji mereka disebarluaskan di medsos, dan mereka menjadi bahan cemoohan dan makian netizen. Di titik inilah mereka baru merasakan apa itu ketakutan, apa itu rasa bersalah, dan apa itu penyesalan. Lalu memang begitulah sebuah penyesalan. Ia selalu datang terlambat.

Baca juga:

Penyesalan itu datang ketika nyawa Timothy sudah lepas dari raganya, penyesalan dan rasa bersalah itu baru datang ketika cita-cita Timothy sudah benar-benar pupus dan hanya tinggal tulisan saja. Mereka baru beramai-ramai meminta maaf dan menyesali perbuatan tolol dan biadabnya.

Kejadian ini juga menjadi alarm merah, bagi civitas akademika di manapun berada, bahwa ternyata perguruan tinggi tidak bisa menjamin keamanan dan kenyamanan seseorang dalam menjalani proses belajarnya. Ruang kampus yang menjadi gambaran dari peradaban dan keilmuan sebuah bangsa, ternyata menyimpan kekelaman dan kejahatan yang begitu keji.

Kampus menjadi tempat melahirkan para monster nirempati, tidak bisa menyediakan ruang aman bagi mahasiswanya. Kampus tidak bisa memberikan fasilitas untuk memberikan ruang aman atau pun sekadar memahami bagaimana pedalaman manusia itu bekerja. Kampus tidak bisa memberikan itu semua. Sehingga yang terjadi adalah manusia-manusia nirempati, yang mari kita sepakati untuk menyebut mereka sebagai manusia sampah, manusia yang memiliki hati iblis atau monster. kalau meminjam terma Jujutsu Kaisen melahirkan roh terkutuk tingkat khusus sebagaimana Ryomen Sukuna.

Saya benar-benar tidak tahu, apakah para perundung itu benar-benar menyesal ketika Timothy telah benar-benar tiada. Hanya saja mungkin mereka sekarang sudah bisa berpikir ulang, merenungi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Mereka sudah mendapatkan ganjaran entah itu dari kampus, maupun dari netizen. Tentu saja hukuman itu tidak sepadan, karena mereka belum dikeluarkan dari kampus. Kampus seperti mencari aman, dengan hanya berdiam diri, dant tidak memberikan pernyataan resminya terkait kematian Timothy.

Timothy adalah orang baik. Ia pemuda yang ingin berteman, gigih mencari teman dan menyuarakan ketidakadilan. Boleh jadi sebagian dari kita memang melihatnya sebagai orang aneh dan bikin ilfeel, tapi saya kira orang-orang seperti Timotyh-lah yang mengerti apa itu arti dari dunia yang brengsek dan jahat, namun ia  tetap memilih  untuk  menjadi manusia yang penuh cinta kasih dan kebaikan.

Timothy memiliki jiwa-jiwa dengan kandungan kebaikan dan kebajikan yang seharusnya kita miliki sebagai seorang manusia. Kebaikan dan kepolosan yang seharusnya kita tiru dan kembangbiakkan dalam diri kita, bukan malah membunuhnya.

Dan sekali lagi, beginilah akhir dari perundungan itu, ketika kampus diam, rektor diam, mahasiswa diam ketika melihat kematian Timothy yang dirundung oleh manusia-manusia terkutuk itu. Bagaimana bisa sebuah kampus yang seharusnya mencetak orang-orang berilmu, berintegritas, dan bepandangan luas, ternyata hanya melahirkan manusia-manusia kelas coro, medioker, pecundang, dan tukang bully yang mengakibatkan kematian seseorang.

Baca juga:

Kampus di seluruh Indonesia perlu berbenah, setelah menyaksikan kematian tragis Timothy di Udayana ini. Perundungan ternyata masih merajalela di kampus-kampus Indonesia. Bagaimana bisa kita akan maju jika mahasiswa-mahasiswanya saja berkelakuan jahat dan bajingan begini? Bagaimana bisa ternyata dunia kampus adalah dunia yang masih membiarkan saja perundungan itu?

Dan yang  hilang setelah Timothy tiada adalah empati itu. kepedulian itu, kasih sayang itu, saling menghormati itu, perhatian itu. Lalu ketika mereka menyadarinya, ternyata sudah terlambat. Satu nyawa telah melayang dalam keadaan yang begitu memilukan. Satu nyawa orang baik telah tiada, dan itu disebabkan oleh tangan-tangan nirempati. Dan naasnya, itu terjadi di dunia kampus. Dunia yang konon melahirkan orang-orang berilmu dan beradab. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Juli Prasetya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email