Gelombang politik global sedang berubah cepat, dan salah satu aktor paling mengejutkan yang semakin masif muncul ke permukaan adalah generasi Z. Salah satu peristiwa terbaru, Gen Z memotori pemakzulan presiden dan mendorong pergantian rezim di Madagaskar. Namun yang paling menarik bukan pergantian kekuasaannya, melainkan bagaimana Gen Z menjadi pemicunya, anak-anak muda yang lahir setelah milenium, yang bahkan tidak tumbuh dalam tradisi politik klasik.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Pasca pandemi, sejak tahun 2022-2025, ledakan serupa muncul di berbagai belahan dunia seperti Maroko, Nepal, Kenya, Cile, Peru, Myanmar, Bangladesh, Filipina, termasuk Indonesia.
Gen Z tidak bergerak di bawah bendera partai, serikat, atau organisasi formal. Mereka tidak menunggu komando, tidak tunduk pada hierarki, dan tidak merasa perlu menumpang pada LSM atau ormas. Tidak ada rapat resmi, tidak ada manifesto panjang, tidak ada tokoh karismatik yang dikultuskan. Mereka bergerak tanpa instruksi, melompat dari percakapan digital ke aksi jalanan, dan melampaui logika organisasi masyarakat sipil konvensional.
Pertanyaannya kini apa yang membuat generasi ini mengisi ruang politik yang dulu ditempati NGO? Serta, bagaimana NGO mereposisi diri di tengah gerakan Gen Z ini?
Tiga Penyebab Utama Munculnya Gerakan Gen Z
Ada tiga faktor yang membuat Gen Z menjadi kekuatan politik global baru.
Pertama, mereka hidup dalam tumpukan krisis yang saling bertumpuk seperti krisis iklim yang mendorong hadirnya berbagai krisis multi-dimensi, disparitas ekonomi yang semakin tinggi, pekerjaan yang tak pasti, kehidupan demokrasi dan politik yang stagnan bahkan mengalami kemunduran, krisis identitas dan degradasi lingkungan.
Guru Besar Sosiologi UGM menyebutnya sebagai Polikrisis, yang dapat dimaknai sebagai keadaan ketika berbagai krisis terjadi bersamaan, saling terkait, dan memperkuat dampaknya. Polikrisis bersifat kompleks, lintas batas wilayah dan sektor, sulit diprediksi, serta bisa memunculkan kejutan besar yang tak terduga (FISIPOL, 2024).
Bagi generasi sebelumnya, polikrisis mungkin dipahami sebagai anomali, namun bagi Gen Z, krisis yang terjadi berlapis ini menjadi ruang yang dihidupi sehari-hari. Hal ini terjadi di berbagai belahan dunia. Fenomena Gerakan Gen Z di Madagaskar dipicu oleh krisis struktural yang terjadi karena layanan dasar yang sepenuhnya tidak bisa diakses, korupsi yang merajela, dan impunitas politik yang semakin meluas. Hal yang sama juga menjadi pemicu Gerakan Gen Z di Nepal dan Indonesia.
Kedua, Gen Z tumbuh dalam ketidakpercayaan terhadap institusi yang selama ini dianggap sebagai kanal perubahan seperti partai, parlemen, media, bahkan NGO dan LSM, yang oleh Tendai Murisa (2023) disebut sebagai bagian dari sistem yang juga sedang mengalami krisis legitimasi. Semua institusi itu bagi Gen Z tampak terlalu lamban, tersandera kompromi, atau telah dijinakkan oleh kepentingan korporasi dan negara.
Baca juga:
Gen Z tak lagi percaya bahwa perubahan hanya mungkin terjadi lewat kebijakan, audiensi, diskusi, maupun kerja-kerja LSM. Hal ini yang membuatnya berbeda dengan Gerakan Sosial baru (GSB) yang muncul di era 1970-1990an. Hal ini penting untuk diperjelas, mengingat acapkali Gerakan Gen Z disamakan dengan GSB. Meski dalam beberapa titik ada kesamaan, terdapat logika gerakan dan situasi yang berbeda.
GSB lahir dari masyarakat industri maju, demokrasi liberal, dan situasi konteks pasca ‘runtuhnya negara kesejahteraan/welfare state’. Di sisi lain, seperti yang dikemukakan di atas, Gerakan Gen Z lahir dari polikrisis, yang di dalamnya berbagai krisis terjadi secara bersamaan. Selain itu, Gerakan Gen Z tidak hanya berjarak dengan institusi negara, maupun partai atau NGO, namun sama sekali menolaknya. Bisa disebut bahwa Gerakan Gen Z ini post-NGO, dan Post-Organizational Politics, yang memang anti dengan organisasi gerakan lama.
Selain itu, yang juga paling berbeda adalah anatomi gerakan yang dipengaruhi oleh teknologi. Bagi GSB, tatap muka, pamflet dan organisasi berbasis struktur menjadi penopangnya. Sedangkan Gerakan Gen Z bergerak dalam “logic of platform” yang cenderung melihat viralitas jauh melampui kebutuhan akan struktur tertentu. Mereka bisa membangun mobilisasi tanpa organisasi, tanpa kantor, tanpa pendanaan. Penggeraknya pun banyak prematur secara usia namun agaknya ‘matang’ secara kesadaran politik dibandingkan GSB yang pelaku utamanya memang kader LSM, aktivitis, atau simpatisan organisasi.
Oleh karena itu, Gerakan Gen Z bukan sekadar gelombang baru dari GSB, namun mutasi sosial-politik yang lahir dari dunia yang berbeda, cara bergerak yang berbeda, dan orientasi yang melampaui kerangka gerakan sosial klasik.
Ketiga, Gen Z hidup dan bergerak dalam ekosistem digital. Bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi, Gen Z telah bermetamorfosis sebagai subjek politik yang terkoneksi secara real-time lintas negara. Mereka tidak lebih dahulu menjadi aktor sipil, namun sebaliknya, mereka adalah aktor digital yang kemudian bergerak menjadi aktor sipil yang identitasnya tidak tunggal meliputi gamer, anak kuliahan, influencer, maupun anak sekolah.
Mereka bisa melihat protes yang terjadi di Bangladesh, membandingkannya dengan situasi di Myanmar, menyerap pengalaman di negara lain, dan menerjemahkannya dalam situasi lokal masing-masing. Imajinasi politiknya kosmopolit, tapi praktiknya sangat kontekstual. Bahkan, simbol perlawanan yang dipergunakan pun sering kali seragam, yang terinspirasi dari budaya pop atau anime.
Seperti yang terjadi di beberapa Gerakan Gen Z yang mempergunakan Bendera yang menampilkan tengkorak Jolly Roger yang tersenyum dengan dua tulang bersilang dan mengenakan topi jerami. Simbol ini berasal dari seri manga One Piece, yang tokoh utamanya, Bajak Laut Topi Jerami, memberontak melawan dunia yang tidak adil dan menentang kekuasaan yang korup.
Identitas dan simbol perlawanan ini pun terbentuk, tersebar dan akhirnya menjadi semacam ‘kesepakatan’ yang didukung oleh platform digital. Solidaritas antar Gen Z lintas negara ini lahir dari meme, hashtag, fandom, budaya pop, dan pengalaman ketertindasan dari rezim di negaranya. Proses inilah yang membentuk imajinasi digital, dan bukan karena ideologi perlawanan klasik yang biasa disinyalir menjadi dasar dari gerakan.
Di titik ini, lahirlah apa yang disebut Yatun Sastramidjaja (2023) sebagai “Rhizome” atau diterjemahkan di Indonesia sebagai Gerakan Rimpang yang dikenal tidak terlembaga, tidak hierarkis, tanpa pusat kepemimpinan, spontan, dan bergerak karena moral-urgency, bukan proyek. Gerakan ini tidak bergantung pada satu tokoh, ideologi tunggal, atau satu isu. Apa pun bisa menjadi pintu masuk mulai dari kenaikan harga bahan pokok, sulitnya akses air maupun Listrik, akses pekerjaan yang susah, represi pemerintah, maupun korupsi dan isu lainnya.
Karena sifatnya yang cair dan majemuk, mereka bisa terus tumbuh dan bangkit meski direpresi. Berbeda dengan NGO atau LSM yang lebih sering menyerupai “gerakan pohon” yang tumbuh ke atas, tersentralisasi, struktural, vertikal, serta menghabiskan energi untuk laporan, koordinasi donor, dan administratif.
Pertanyaannya, di tengah situasi geopolitik yang berubah cepat dan generasi baru yang bergerak di luar struktur lama, di mana posisi NGO hari ini? Bagaimana mereka membaca ulang keberadaan mereka sendiri ketika geopolitik dunia, arena perjuangan, dan ruang pergerakan telah bergeser?
Jika NGO tetap bertahan dengan watak, ritme, dan struktur yang seperti ‘pohon’, sangat mungkin NGO hanya akan menjadi komentator, seperti analis sepak bola yang fasih bicara strategi tetapi tidak masuk lapangan. Para pemainnya kini Gen Z, dan mereka tak sedang menunggu briefing dari LSM manapun.
Yang lebih mengkhawatirkan, NGO bisa terjebak hanya menjadi broker proyek yang semakin kehilangan akar legitimasi. Sementara itu, strategi yang selama ini dikembangkan NGO mulai dari advokasi kebijakan hingga kampanye publik telah dipelajari, diadopsi, dan diadaptasi oleh generasi baru, tetapi tanpa perlu mengikuti pola institusionalnya.
Transformasi NGO
Jika kita melihat ke belakang, NGO Indonesia telah mengalami beberapa metamorfosis mengikuti denyut rezim politik dan situasi eksternal. Pada era Orde Lama, NGO tumbuh dekat dengan gerakan massa ideologis, berkelindan dengan partai, dan sering menjadi kepanjangan tangan negara dalam proyek-proyek sosial-politik. Di masa Orde Baru, perannya hadir di ruang oposisi terselubung yang bergerak di bawah radar rezim otoriter. Pasca-reformasi, NGO menjadi bagian dari infrastruktur demokrasi.
Namun, Murisa (2023) menggarisbawahi, dalam dua dekade terakhir NGO juga menghadapi dua kritik besar, yaitu ketergantungan finansial yang akhirnya mendorong NGO tersandera logika donor, kurungan proyek, dan beban administratif. Kritik kedua, yaitu minim peran transformasional, di mana NGO tidak menciptakan kemandirian, namun justru memperkuat relasi ketergantungan.
Krisis internal ini diperparah oleh tekanan eksternal. Polikrisis dan disrupsi digital melahirkan aktor-aktor baru yang bergerak tanpa struktur, tanpa kantor, tanpa legalitas, tanpa kebutuhan afirmasi dari institusi mana pun. Akibatnya, eksistensi NGO kini bukan hanya ditantang negara dan pasar, tetapi juga disalip oleh gerakan yang sama sekali tidak membutuhkan lembaga formal untuk mengakui diri sebagai kekuatan politik.
Namun, ini bukan akhir. Justru dalam masa pergeseran inilah NGO punya peluang untuk membaca ulang posisinya. Hanya NGO yang berani mengubah struktur, sumber daya, dan cara berpikir yang bisa bertahan. NGO harus menyadari dirinya bukan sebagai aktor tunggal atau pusat orkestrasi, tetapi sebagai jejaring pendukung yang fleksibel dan multiperan.
Baca juga:
Paling tidak dua transformasi besar harus dilakukan oleh NGO. Pertama, transformasi organisasi agar dapat adaptif dan inovatif, membangun budaya kolaboratif dan bukan kompetitif, struktur ramping dan fokus pada visi-misi dan bukan orientasi pada tren donor. Kedua, transformasi peran. Bukan sekadar mengorganisir massa, tetapi menopang mereka dalam cara-cara yang tidak kasat mata namun strategis.
Dalam ekosistem gerakan yang baru, NGO bisa menjadi “mikoriza sosial” yang tidak mendominasi permukaan, tetapi menopang kehidupan dari bawah, menghubungkan simpul-simpul yang tidak saling mengenal, menjaga “nutrisi” dan ekosistem dari gerakan rimpang agar tetap hidup.
Bagaimana bentuk konkretnya? NGO bisa hadir sebagai penyedia infrastruktur kolektif, mulai dari basis data, akses bantuan hukum, perlindungan digital, hingga ruang aman bagi para penggerak rimpang. NGO juga bisa menjadi pendamping strategis, yang berjalan bersama Gerakan Gen Z tanpa mengambil alih kepemimpinan, memastikan keselamatan, keberlanjutan, dan koordinasi gerakan.
Di saat yang lain, mereka dapat mengambil peran sebagai periset-penjaga ingatan, yang memastikan bahwa tuntutan episodik gerakan tidak hilang dan bisa diterjemahkan ke dalam perubahan kebijakan atau narasi publik jangka panjang.
Hal ini penting, mengingat keterbatasan dari gerakan rimpang yang diinisiasi Gen Z ini sering kali kurang memiliki visi strategis, desain perubahan sistemik serta rentan dibajak atau bahkan dibubarkan oleh aktor-aktor lama yang juga bertransformasi dan beradaptasi mengikuti pola gerakan Gen Z ini.
NGO juga bisa menjadi mediator, menjembatani lintas isu, lintas generasi, dan lintas sektor. Ruang dialog antargenerasi seperti skema peer mentoring dua arah, di mana aktivis senior memperkuat kapasitas advokasi formal dan narasi historis OMS, sedangkan aktivis muda menyumbang inovasi digital dan membingkai isu secara kontemporer (Savirani, dkk, 2025).
Koalisi tematik yang mempertemukan berbagai isu yang menjadi kegelisahan Gen Z juga bisa difasilitasi oleh NGO sebagai ruang “pengikat” atau perekat serta ekosistem perjuangan untuk mendorong perubahan sosial. Pada saat peluang kebijakan terbuka, NGO bisa menjadi insurgent-in-waiting yang siap mengambil momen untuk mendorong advokasi, melindungi ruang sipil, dan memastikan negara tidak bergerak sepihak.
Namun, semua itu hanya mungkin jika NGO berani merumuskan ulang keberadaan dirinya. Tantangannya bukan sekadar inovasi program, tetapi transformasi. NGO tidak lagi relevan jika terus stagnan dan berpuas diri dengan kerja-kerja nya yang berbasis pada pendanaan donor. NGO hanya akan hidup jika mampu menjelma menjadi organisasi yang adaptif, serta mampu selalu merefleksikan diri dan mereposisi diri di tengah kehadiran Gerakan Gen Z dan gerakan-gerakan baru lainnya yang mungkin akan muncul di kemudian hari.
Editor: Prihandini N