Hari ini saya mendapat tugas menguji salah satu mahasiswa yang meneliti mengenai gerakan protes yang terjadi di Nairobi, Kenya, pada tahun 2024. Gerakan ini melibatkan warga dari berbagai latar belakang, pedagang kecil, buruh, mahasiswa, bahkan kelompok professional, yang bersatu menentang kenaikan pungutan pajak untuk kebutuhan sehari-hari. Kawan mahasiswa ini menjelaskan bahwa dalam protes ini mobilisasi digital menjadi kunci.
Narasi protes menyebar cepat lewat media sosial, aksi terkoordinasi muncul di berbagai titik, akhirnya narasi tandingan melawan versi resmi pemerintah berkembang pesat. Tekanan dari aktor internasional mulai dari pemberitaan media global hingga pernyataan organisasi hak asasi manusia turut memperkuat posisi warga. Hasilnya, pemerintah Kenya mundur dan membatalkan kebijakan tersebut, sebuah kemenangan yang memperlihatkan bagaimana kombinasi solidaritas internal dan dukungan eksternal dapat memaksa perubahan.
Baca juga:
Kisah Nairobi ini tidak asing terdengar. Pola serupa muncul di berbagai belahan dunia, menandakan bahwa perlawanan warga terhadap kebijakan yang dirasa menindas kini menjadi fenomena global. Di Prancis (2018–2019), kenaikan pajak bahan bakar memicu gerakan Gilets Jaunes yang mengguncang politik nasional. Di Ekuador (2019), pencabutan subsidi BBM disertai kenaikan pajak memicu protes besar yang memaksa pemerintah menarik kebijakannya. Kolombia (2021) mencoba melakukan “reformasi pajak” dengan alasan penyelamatan ekonomi, tetapi justru melahirkan gelombang unjuk rasa yang menelan korban jiwa.
Lebanon (2019) bahkan hanya butuh satu kebijakan pajak terhadap aplikasi WhatsApp untuk memantik kemarahan nasional yang berujung pada tuntutan penggulingan pemerintah. Di Sri Lanka (2022), kenaikan pajak di tengah krisis ekonomi mempercepat runtuhnya rezim yang sudah kehilangan legitimasi. Bahkan di Indonesia, isu pajak kerap memicu protes daerah, seperti di Pati, ketika narasi “demi pembangunan” gagal menutupi beban ekonomi yang ditanggung rakyat. Di semua kasus ini, pajak berubah dari simbol kontrak sosial menjadi simbol penindasan yang dilawan masyarakat.
Baca juga:
Fenomena ini tidak bisa dibaca hanya sebagai soal fiskal atau kebijakan ekonomi yang keliru. Lebih dalam dari itu, ia adalah tanda bahwa masyarakat sipil di berbagai belahan dunia semakin aktif, semakin berani, dan semakin terlatih untuk menantang kekuasaan yang dianggap menyalahgunakan wewenang.
Di tengah akses informasi global, masyarakat kini tidak lagi bergantung pada narasi resmi pemerintah atau media arus utama saja. Internet dan media sosial membuka peluang public untuk membandingkan kebijakan lintas negara. Warga Prancis bisa terinspirasi oleh protes di Ekuador, dan aktivis di Nairobi bisa mempelajari taktik digital dari gerakan di Hong Kong atau Chile. Pengetahuan yang dulu dimonopoli elit kini menjadi senjata rakyat.
Mobilisasi digital juga yang mengubah bagaimana cara protes diorganisasi. Dulu, gerakan rakyat memerlukan rapat fisik, selebaran, atau jaringan formal untuk berkumpul. Kini, satu unggahan di X, Tiktok atau Instagram bisa memobilisasi ribuan orang dalam waktu singkat. Akibatnya, ruang digital menjadi arena perebutan narasi. Di dalamnya pemerintah berusaha mempertahankan legitimasi, sementara masyarakat sipil membangun narasi tandingan yang sering kali lebih cepat menyebar dan lebih dipercaya.
Narasi protes masyarakat berasal dari keresahan sehari-hari. Krisis multidimensi di bidang ekonomi, pangan, iklim, hingga kesehatan, membuat masyarakat semakin sensitif terhadap kebijakan yang tidak berpihak terhadap rakyat. Ketika harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja minim, dan layanan publik menurun, toleransi terhadap pemerintah tentu menurun. Dalam kondisi seperti ini, bahkan kebijakan yang secara teknis “rasional” bisa memicu kemarahan publik jika dianggap tidak peka terhadap realitas warga.
Dalam kacamata Antonio Gramsci, kita sedang menyaksikan retaknya hegemoni budaya. Hegemoni budaya, kata Gramsci, adalah cara penguasa mengendalikan masyarakat bukan cuma dengan kekerasan atau aturan, tapi dengan membentuk cara pikir dan nilai-nilai kita sampai kita menganggapnya wajar dan benar, padahal sebenarnya hanya menguntungkan kaum elite.
Selama hegemoni terjaga, rakyat menerima pajak sebagai bagian dari hal yang normal demi kebaikan bersama. Tapi ketika pemerintah gagal memenuhi janji, ‘akal sehat’ itu runtuh. Bayaknya protes terhadap kebijakan pemerintah meunjukka masyarakat mulai membangun narasi versinya sendiri, narasi tandingan yang lahir dari pengalaman hidup, rasa keadilan, dan solidaritas komunitas.
Menariknya, retaknya hegemoni ini tidak selalu dimulai dari ibu kota atau pusat kekuasaan. Pati di Jawa Tengah adalah contoh terbaru. Protes terhadap kenaikan pajak daerah di sana mungkin terlihat kecil dibandingkan Nairobi atau Paris, tapi logika gerakannya sama. Warga menolak narasi “demi pembangunan” yang dianggap tidak sejalan dengan kenyataan ekonomi mereka. Mereka berjejaring, berdiskusi di grup WhatsApp, mengunggah keluhan ke Facebook, dan perlahan membentuk apa yang disebut Gramsci sebagai blok kontra-hegemoni. Sekumpulan orang yang percaya gagasan yang sama untuk bergerak barsama melawan cara pandang dan aturan yang selama ini dibentuk penguasa.
Apa yang terjadi di dunia menunjukkan bahwa gerakan perlawanan kini tidak mengenal batas geografis. Kemenangan di satu tempat dapat menginspirasi di tempat lain, membentuk ekosistem gerakan global yang saling belajar. Gerakan protes tidak lagi sekadar mengeksresikan kemarahan publik, tetapi lebih terorganisasi untuk menekan, dan memaksa kekuasaan bernegosiasi.
Pergeseran ini juga terkait dengan sifat pemerintahan di banyak negara. Populisme dangkal, pemimpin yang dipilih karena citra, bukan kapasitas, sering berubah menjadi totalitarianisme kultural. Pemerintah menguasai narasi, membatasi imajinasi publik, dan membuat rakyat percaya bahwa tidak ada alternatif selain jalur resmi. Kita melihat ini pada Viktor Orbán di Hongaria yang menggunakan narasi nilai-nilai Kristen untuk mengendalikan pendidikan, Narendra Modi di India yang merevisi sejarah demi agenda politik, Recep Tayyip Erdoğan di Turki yang mengekang media sambil menghidupkan mitos kejayaan Ottoman, dan Vladimir Putin di Rusia yang memonopoli wacana soal perang.
Namun, model ini rapuh di era digital. Ketika warga memiliki akses informasi, mampu mengorganisasi diri secara cepat, dan terhubung dengan jaringan internasional, kontrol narasi menjadi jauh lebih sulit. War of position era sekarag tidak lagi berlangsung di ruang rapat atau kantor pemerintah, melainkan di linimasa media sosial, ruang obrolan, dan forum publik virtual. Menurut Gramsci, war of position adalah strategi perjuangan politik yang berfokus pada merebut pengaruh dan legitimasi di ranah ide, budaya, dan opini publik, bukan melalui konfrontasi langsung. Itulah sebabnya, di era digital, pertarungan narasi menjadi jauh lebih menentukan. Siapa yang menguasai cerita, dialah yang perlahan menggeser pijakan kekuasaan.
Baik Nairobi maupun Pati mengajarkan satu pelajaran penting: pemerintah yang mengabaikan daya adaptasi masyarakat sipil dalam merespon kebijakan akan kehilangan dukungan publik dan kehilangan legitimasi. Dan legitimasi, sekali hilang, sulit dipulihkan hanya dengan konferensi pers atau revisi kebijakan.
Jika tren ini berlanjut, kita akan menyaksikan lebih banyak pemerintah yang lahir dari populisme dangkal, gagal mempertahankan hegemoni dan legitimasi. Gelombang perlawanan tidak hanya akan menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga menuntut perubahan rezim. Dari Nairobi ke Pati, dari Paris ke Colombo, suara warga menjadi kekuatan yang mampu membentuk ulang kebijakan, arah negara, dan masa depan bersama. (*)
Editor: Kukuh Basuki