Harus diakui penulisan sejarah kita tak cukup banyak memberi porsi pada tema bendera Merah Putih. Bendera hanya menjadi sampiran kecil dalam epik historisitas bangsa. Salah satu ceritanya tercatat dalam wawancara Cindy Adams dengan Presiden Soekarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966) tentang kesederhanaan Ibu Negara Fatmawati menjahit dengan tangan bendera pertama dari republik ini.
Pilihan bendera negara dengan warna merah putih memang tidak hadir dari ruang hampa. Pilihan itu merangkum nilai dan makna filosofis yang disepakati sebagai identitas bersama dari sebuah bangsa.
Jauh sebelum kemerdekaan, dalam banyak kebudayaan Nusantara, merah dan putih menjadi warna sakral dalam ritus kesuburan, sajian dalam ritus komunal seperti jenang abang-putih serta dalam ikonografi kesenian seperti topeng Panji dan Klana. Dua warna ini mencerminkan paradoks dan harmoni: antara bumi dan langit, darah dan susu, kehidupan dan kematian.
Baca juga:
Bendera merangkum nilai-nilai heroisme, patriotisme dan nasionalisme sekaligus. Muhammad Yamin (dalam Mawardi, 2012) menyebut bahwa peristiwa-peristiwa politik di Indonesia juga bergerak bersama bendera. Perhimpunan Indonesia (1922) dan partai-partai politik selanjutnya memakai bendera merah putih dengan berbagai variasinya sebagai penanda.
Kisah-kisah bangsa ini bermuara pada UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1958 mengenai bendera Indonesia yang menegaskan bendera merah putih sebagai bendera resmi Negara Indonesia.
Para pendiri bangsa meninggalkan makna itu sebagai sebuah warisan, termasuk soal kepahlawanan dan moralitas. Bendera kita seolah ingin memotivasi menjadi beranilah, berbuatlah, berjuanglah, namun di saat yang sama berkata hilangkan segala sesuatu yang menjauhkan dari nilai-nilai kebersihan, kejernihan, kesucian (Firman Noor, 2021).
Selanjutnya, bendera merah putih tetap menjadi nilai penting yang menjadi sumber ide sikap dan pemikiran. Para pecinta alam yang mendaki tujuh gunung tertinggi dunia (Seven Summits) selalu mengibarkan bendera Merah Putih ketika mencapai puncak, sebagai tanda pencapaian dan simbol eksistensi bangsa di tempat-tempat tertinggi di bumi.
Bendera Merah Putih raksasa yang dipasang menyelimuti gedung kantor, juga menjadi alarm penting sekaligus bentuk dukungan seluruh rakyat Indonesia atas usaha dan kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberantas kejahatan yang terus menggerogoti bangsa.
Band Cokelat pernah menafsir patriotisme kebangsaan itu secara kontemporer dalam lagu Bendera. Artikulasi lirik yang penuh semangat di dalamnya menunjukkan, bahwa nasionalisme kaum muda seperti mereka merupakan energi positif yang tak bisa dianggap main-main. Bendera Merah Putih menjadi dasar semangat dan sikap nyata kecintaan terhadap tanah air.
Bukan Sesembahan
Namun, bendera bukanlah sebuah sesembahan. Firman Noor (Harian Kompas, 28/10/2021) panjang lebar menjelas pemaknaan atas bendera Merah Putih pada akhirnya juga tergantung sejauh mana dia dapat berarti dalam kehidupan keseharian rakyatnya. Rasa kebanggaan dalam naungannya tergantung pula seberapa besar kita semua yang menghormatinya, bisa membuktikan makna berani dan suci itu. Ini jelas akhirnya bukan sekadar kata-kata. Apabila kita gagal membuktikannya, semua hanya berakhir pada sekadar simbol belaka.
Dengan kata lain, makna bendera bisa demikian tak berarti, jika kita ramai-ramai mengabaikannya. Lebih lanjut ditegaskan Firman, kita harus memastikan agar bendera di ruang-ruang kerja tidak lagi justru menjadi saksi bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Agar bendera di perbatasan tak menjadi saksi terjadinya pengerukan atau eksploitasi SDA bangsa kita demi kepentingan segelintir orang. Agar bendera yang terjahit dalam seragam tak menjadi saksi penindasan dan penjajahan sesama anak bangsa. Agar bendera di ruang-ruang kelas tak jadi saksi meredupnya kebanggaan sebagai orang Indonesia. Agar bendera di mana pun berada tetap jadi saksi tegaknya hakikat kebangsaan yang sesungguhnya.
Ketika simbol negara tak diiringi keteladanan, ketika nilai-nilai yang diwakilinya tak terwujud dalam praktik sehari-hari, maka terjadi apa yang disebut sebagai disenchantment of symbols, pelepasan makna oleh mereka yang merasa tak lagi diwakili olehnya.
Maka di momen kemerdekaan RI tahun ini, kemunculan simbol alternatif seperti bendera bajak laut One Piece dapat dibaca bukan sebagai pengganti Merah Putih, tetapi sebagai bentuk artikulasi makna yang mencari pembuktian nyata dari para pemegang kekuasaan.
Karena yang sesungguhnya sedang digugat melalui simbol alternatif ini bukanlah bendera Merah Putih itu sendiri, melainkan jarak antara simbol dan realitas di mana terjadi berbagai paradoks kehidupan berbangsa. Ketimpangan yang melebar, etika publik yang goyah, hilangnya integritas dalam kepemimpinan, serta tata kelola yang kerap menyingkirkan suara-suara rakyat dari proses demokrasi terindikasi terjadi dalam konteks Indonesia hari ini.
Baca juga:
Dalam situasi seperti ini, nasionalisme tidak serta-merta bisa direproduksi melalui seremoni dan repetisi naratif. Ia harus dibangun di atas dasar pengalaman yang autentik, pengakuan atas realitas yang kompleks, serta pembukaan ruang bagi keterlibatan warga sebagai subjek aktif. Ketika semua itu belum sepenuhnya hadir, maka simbol-simbol tandingan muncul sebagai bentuk kritik, pencarian, bahkan harapan.
Dari perspektif studi budaya, fenomena ini menunjukkan bagaimana simbol selalu bersifat dinamis dan terbuka terhadap resemantisasi. Dalam masyarakat yang semakin plural dan terhubung secara global, makna nasionalisme pun tak lagi tunggal. Ia hadir dalam berbagai bentuk, termasuk melalui budaya populer yang mampu menjembatani emosi, nilai, dan imajinasi generasi baru. Tentu, ini bukan berarti bahwa simbol negara menjadi tidak penting, melainkan menandakan perlunya perawatan makna yang lebih jujur dan relevan.
Dalam hal ini, menjadi tugas kita untuk memaknai kembali Merah Putih menjadi kebanggaan bangsa. Keberanian dan kesuciannya terwujud dalam keberanian pemimpin bangsa mengambil sikap etis, dalam kesucian niat membangun negara yang berpihak pada publik, bukan elite.
Penghormatan itu tak akan tumbuh dari paksaan atau glorifikasi tak bermakna, tapi dari perjumpaan yang jujur antara negara dan warganya melalui keadilan, kebenaran, dan keberpihakan pada masa depan. Sesudah 80 tahun Indonesia merdeka barangkali ini saatnya kita memperbarui janji kita terhadap makna Merah Putih.
Ketika bendera bajak laut berkibar di tengah perayaan kemerdekaan, barangkali kita tidak sedang menyaksikan pengkhianatan terhadap simbol negara, melainkan panggilan untuk kembali merawatnya dengan penuh kesadaran, relevansi, dan keteladanan, Ini tidak bermaksud membenarkan pengabaian simbol negara, melainkan menawarkan perspektif reflektif atas tantangan kebangsaan di era baru. (*)
Editor: Kukuh Basuki