Aku adalah gambar yang berubah-ubah,tergantung bagaimana kamu memandangnya.

Membongkar Ramuan Mujarab Perunggu dalam “Memorandum”

Shankara Araknahs

3 min read

Di sebuah bar kecil di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, sekitar tahun 2022, saya pertama kali bertemu dengan band yang namanya mengingatkan saya pada sebuah medali olimpiade. Hari itu dimana saya berkenalan dengan para personil Perunggu, tepatnya di konferensi pers salah satu acara musik yang mengusung tema kolaborasi antar sesama musisi.

Dalam deretan line-up acara tersebut—yang juga menampilkan nama-nama seperti Danilla, Efek Rumah Kaca, Sore, dan Barasuara—Perunggu menjadi satu-satunya yang belum pernah singgah di history pendengaran saya. Wajar saja, mengingat di tahun yang sama mereka baru saja meluncurkan debut album bertajuk “Memorandum” ke kancah musik nasional.

Baca juga:

Album tersebut memuat sebelas nomor lagu yang saat pertama kali saya dengar, menawarkan warna musik alternatif rock yang sekilas tak jauh berbeda dari band-band sejenis. Ada nuansa nostalgic, seolah mendengarkan Sheila on 7, tapi dengan pukulan energi yang lebih menghentak dan eklektik.

Vokal Maul Ibrahim, sang frontman, jujur saja memiliki karakter yang mirip dengan Duta dari Sheila on 7—hanya saja Maul lebih bertenaga, terutama saat meneriakkan emosi dalam lagu-lagunya. Coba dengarkan Tarung Bebas, lagu pembuka “Memorandum, yang langsung mengajak pendengarnya berjingkrak, bahkan mungkin jumpalitan, dari awal hingga akhir.

Yang mengejutkan, selepas acara di bar itu, lagu-lagu Perunggu seperti terus mengikuti saya. Entah dari teman, coffee shop, atau bahkan minimarket, lagu-lagu mereka seolah menjadi soundtrack tidak resmi dari keseharian saya. Sepertinya Perunggu berhasil meracik sebuah “ramuan mujarab” yang meracuni telinga pendengar—terutama generasi milenial yang akrab dengan dilema kerja dan dosa ibu kota.

Salah satu kunci kekuatan Perunggu, saya kira terletak pada lirik-liriknya yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang deskriptif dan naratif. Banyak lagu mereka mengandung keterangan waktu dan tempat, seperti dalam Ini Abadi yang menyebut “Senin pagi” dan “Gambir”, memotret suasana murung di awal pekan kerja.

Ini membuat narasi mereka terasa sangat membumi, tidak mengawang-awang, tidak dibuat untuk menyenangkan algoritma, tapi ditulis untuk manusia yang tinggal di dunia nyata—yang bangun pagi, naik KRL, stres kerja, dan kadang hanya bisa bernapas lega ketika malam tiba.

“Tanpa harus lembur lagi ke Gambir lagi Senin pagi dilanjut taksi tenangkanlah ini abadi” (Perunggu–Ini Abadi)

Senin juga muncul dalam Pastikan Riuh Akhiri Malammu (PRAM), lagu bernuansa melodius dan puitis, yang bercerita tentang kasih seorang ayah kepada anaknya. Ada apa antara Maul dan hari Senin?

“Tumbuhlah mendaki. Seribu upaya ‘kan kau nikmati. Besok hari Senin. Kutemani senyummu seperti kemarin. Silih berganti ruang kaupenuhi. Kuperlu hadir di semua yang kau tangisi. Panggil aku kapanpun kutemani. Pastikan riuh akhiri malammu lagi.” (Perunggu–PRAM)

Dalam lagu Kalibata, 2012, yang menariknya keterangan tempat tidak ditaruh di bagian lirik, tapi menjadi judul. Layaknya catatan harian, lagu ini menawarkan nuansa paling gelap dalam album, mengisahkan kehilangan, kerinduan, dan memori akan seseorang yang telah tiada.

“Peranmu selesai. Bebas semua tugas namun kuingat. Kan slalu kuingat. Temani tumbuhku. Kembangkan tingkahku. Semua kuingat. Dalam dan lekat. Di antara takbir. Pejam mataku sebutkan namamu hadir. Muncul rangkaian ribuan cerita penting. Yang kuinginkan kau ada dalam abadi. Semua jalur hidupku berubah dini hari itu.” (Perunggu – Kalibata, 2012)

Dokumen emosional Perekam Luka dan Rindu

Dalam sebuah episode podcast bersama Soleh Solihun, Maul mengungkapkan bahwa ia banyak terinspirasi dari karya-karya Budi Darma, sastrawan besar Indonesia. Menurutnya, Budi Darma menulis dengan bahasa baku namun tetap menyentuh dan mudah diterima. Ciri ini tercermin jelas dalam lirik-lirik Perunggu yang formal, tetapi tak terasa kaku.

Bagi saya pribadi, lagu 33x adalah yang paling membekas. Dengan tempo yang pas dan petikan gitar yang mengingatkan saya pada Pearl Jam, lagu ini menyedot emosi tanpa perlu berteriak. Lirik favorit saya?

“Tak perlu kau berhenti kurasi. Ini hanya sementara. Bukan ujung dari rencana. Jalanmu kan sepanjang niatmu. Simpan tegar dalam hati. Dua sembilan kau terus mencari” (Perunggu – 33x)

Karena pada akhirnya, bukankah manusia memang makhluk pencari? Mencari pekerjaan, pasangan, musuh, kebahagiaan, bahkan Tuhan.

Semoga Perunggu tidak berhenti mencari—dan terus menyusun ramuan-ramuan berikutnya. Karena jika “Memorandum” saja sudah mampu menyusup begitu dalam ke dalam keseharian pendengarnya, siapa tahu formula selanjutnya justru lebih memabukkan.

Baca juga:

Namun kekuatan Perunggu tidak semata-mata terletak pada aransemen atau liriknya saja. Ada sesuatu dalam cara mereka menyampaikan—sebuah kejujuran emosional yang terasa tidak dibuat-buat. Lagu-lagu mereka tidak hanya terdengar, tapi juga terasa. Memorandum bukan sekadar album, tapi semacam dokumen emosional yang merekam fragmen-fragmen kehidupan, luka yang tak selalu berdarah, rindu yang tak selalu romantis.

Hal ini terlihat juga dari cara mereka menampilkan diri di atas panggung. Dalam beberapa kesempatan menonton mereka secara langsung, saya melihat bahwa mereka bukan band yang sibuk dengan estetika panggung yang megah atau gimmick visual yang mencolok. Justru kesederhanaan mereka itulah yang mempertegas bahwa yang utama adalah musik dan cerita. Tak perlu banyak tingkah, karena yang mereka tawarkan adalah sesuatu yang bisa membuat audiens diam karena terhanyut, bukan sekadar ramai karena teriak.

Saya percaya bahwa setiap era punya soundtrack-nya sendiri. Jika era awal 2000-an diisi oleh nostalgia pop dan pop-rock romantis, maka era ini, dengan segala kecemasan dan pencarian jati diri, membutuhkan suara seperti Perunggu: lantang tapi tidak sombong, sedih tapi tidak meratap, puitis tapi tetap logis. Sebuah band yang tidak hanya ingin didengar, tapi juga ingin dimengerti. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Shankara Araknahs
Shankara Araknahs Aku adalah gambar yang berubah-ubah,tergantung bagaimana kamu memandangnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email