Indonesia bukan negeri tanpa pertumbuhan. Statistik resmi kerap merayakan penurunan angka kemiskinan, stabilitas inflasi, hingga naiknya investasi asing. Namun, di tengah sorak sorai angka makroekonomi, realitas sehari-hari berbicara lain: lebih dari 25 juta rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan per Maret 2024. Jika garis itu dinaikkan ke angka yang lebih realistis yang mencerminkan kebutuhan riil hidup layak, jumlah orang miskin akan melonjak jauh lebih tinggi.
Maka pertanyaan mendesak hari ini bukan lagi mengapa masih banyak orang miskin, melainkan mengapa begitu sulit keluar dari kemiskinan di negeri ini?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa ditemukan dalam narasi tentang kemalasan individu atau apatisme rakyat. Sebaliknya, kesulitan untuk keluar dari kemiskinan justru dibentuk oleh struktur ekonomi dan relasi sosial yang menjerat. Kita sedang menyaksikan bagaimana sebagian besar rakyat bekerja sangat keras, tetapi tak pernah benar-benar beranjak dari bawah. Mereka bukan sedang hidup, mereka sedang bertahan.
Buruh, Tani, dan Pemuda dalam Simpul Ketimpangan
Buruh di sektor formal dan informal sama-sama terjebak dalam sistem kerja dengan upah yang tidak mencerminkan nilai produksi mereka. Rata-rata upah nasional hanya sekitar Rp 3,3 juta per bulan, sedangkan kebutuhan hidup layak, terutama di kota besar, melampaui dua kali lipatnya. Di Jakarta, biaya hidup satu keluarga bisa menyentuh angka Rp 16 juta per bulan, sementara UMP hanya Rp 5 juta. Buruh dipaksa menggantungkan hidup dari kerja lembur, gaji yang pas-pasan, dan hutang konsumtif.
Baca juga:
- Inflasi, Gerakan Buruh, dan Gejolak Kesadaran Kelas
- Relasi Majikan-Buruh Bukan Rumah bagi Asas Kekeluargaan
Lebih menyedihkan lagi, mereka yang menggantungkan hidup dari tanah pun mengalami tekanan yang tak kalah berat. Petani kecil menghadapi struktur agraria yang timpang, kebijakan subsidi yang terus dipangkas, dan harga input pertanian yang terus naik. Ketika hasil panen tak menentu, dan harga di pasar dikendalikan oleh tengkulak serta korporasi pangan, maka petani hanya menerima sisa nilai paling rendah dari hasil kerja mereka. Ironisnya, banyak dari mereka harus membeli beras hasil tanamannya sendiri dengan harga yang tak mampu mereka jangkau.
Sementara itu, generasi muda yang diharapkan menjadi lokomotif kemajuan justru menghadapi jalan buntu. Lebih dari 20% pemuda Indonesia tergolong NEET (Not in Employment, Education, or Training). Pendidikan tinggi kian mahal, pendidikan vokasi kehilangan arah, dan dunia kerja formal menyempit. Anak muda tidak malas. Mereka terjebak dalam sistem yang tak memberi ruang untuk tumbuh. Yang punya koneksi, yang bisa bayar mahal, yang berasal dari keluarga mapan itulah yang dapat bertahan, bukan karena lebih pintar, tapi karena sejak awal diberi keunggulan struktural.
Akhirnya, kerja keras yang selama ini dianggap sebagai jalan mulia menuju kemajuan tidak lagi menjadi jaminan. Seseorang yang lahir dari keluarga miskin hampir pasti tumbuh dalam keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan sumber daya lainnya. Sebaliknya, mereka yang lahir dari keluarga kaya akan terus memperluas privilese mereka. Mobilitas sosial tidak hanya terhenti, ia bahkan terbalik.
Ketimpangan yang Dilestarikan
Dalam struktur yang timpang ini, kemiskinan bukan kegagalan individu, melainkan hasil dari relasi sosial yang cacat. Rasio Indonesia yang secara resmi stagnan di angka 0,38 menyembunyikan kenyataan ketimpangan yang jauh lebih besar: 1% orang terkaya menguasai sebagian besar kekayaan nasional, sementara 40% terbawah hanya mengakses 18–20% total pengeluaran nasional. Angka ini menunjukkan bahwa nilai kerja dari mayoritas rakyat disedot oleh minoritas elite ekonomi.
Baca juga:
Namun, yang paling mengkhawatirkan bukan hanya kemiskinan material, tapi juga kemiskinan harapan. Di desa-desa dan pinggiran kota, kemiskinan sudah dianggap sebagai sesuatu yang diwariskan, bukan lagi dilawan. Banyak anak muda tumbuh dengan kesadaran pasrah bahwa sistem tidak bisa diubah, hanya bisa diakali. Kesadaran kritis mati pelan-pelan, digantikan oleh pragmatisme instan dan ilusi mobilitas lewat konten viral, judol (judi online), atau pinjol (pinjaman online).
Negara memang hadir melalui berbagai program bantuan sosial seperti PKH, BLT, atau BPNT. Namun, bantuan itu lebih sering menambal luka ketimbang menyembuhkan penyakit. Ia bersifat sementara, terbatas, dan seringkali tidak menjangkau kelompok yang paling rentan. Bantuan tunai diklaim sebagai bentuk keberpihakan, padahal pada hakikatnya hanya mengatur agar kemiskinan tetap “terkelola” secara administratif, bukan dihapus dari akarnya.
Sementara itu, tanah tetap dikuasai oleh korporasi, sistem kerja tetap eksploitatif, dan pendidikan bermutu tetap menjadi hak istimewa bagi yang mampu membayar. Ini adalah kemiskinan yang dibentuk dan dilestarikan oleh sistem ekonomi-politik yang membiarkan akumulasi kekayaan terjadi hanya di tangan segelintir orang.
Menolak Berdamai dengan Kemiskinan
Kemiskinan di Indonesia bukanlah fakta alamiah, melainkan hasil dari sebuah proses sejarah panjang yang membentuk relasi kerja, tanah, dan kekayaan. Ketika buruh dibayar murah, ketika petani tidak punya lahan, ketika pemuda tidak punya ruang untuk tumbuh, maka kita bukan hanya sedang membicarakan distribusi pendapatan. Kita sedang bicara tentang struktur kuasa dan relasi sosial yang timpang.
Untuk keluar dari jerat ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan pelatihan wirausaha, bantuan tunai, atau program teknokratik semu. Yang dibutuhkan adalah perombakan menyeluruh terhadap relasi produksi, distribusi kekayaan, dan struktur kepemilikan. Dibutuhkan keberpihakan yang nyata bukan pada statistik, tapi pada kehidupan rakyat yang setiap hari dipaksa memilih antara lapar atau bekerja lebih dari manusiawi.
Selama sistem ini tetap membiarkan ketimpangan sebagai syarat berfungsinya ekonomi, maka rakyat akan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan. Karena itu, kita tidak boleh lagi menyalahkan rakyat miskin. Kita harus berani menyatakan: sistem ini cacat. Dan jika sistem ini tidak mengizinkan rakyat hidup layak, maka sistem inilah yang harus kita ubah. (*)
Editor: Kukuh Basuki