Tak ada yang meragukan keelokan Raja Ampat. Gugusan pulau-pulau karst yang muncul dari laut biru kehijauan, rumah bagi lebih dari 1.600 spesies ikan dan lebih dari 550 jenis karang, menjadikannya sebagai ekosistem laut terkaya di dunia. Para ilmuwan menyebutnya sebagai jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia—wilayah laut yang menjadi pusat keanekaragaman hayati planet ini. UNESCO, organisasi konservasi internasional, hingga penggemar wisata bahari dari seluruh dunia menyebut Raja Ampat sebagai mahakarya alam yang tak tergantikan.
Namun di balik keindahan yang nyaris suci itu, kini terdengar bunyi alat berat. Di antara desir ombak dan kicau burung cendrawasih, suara mesin tambang perlahan menggerus ketenangan pulau-pulau kecil. Aktivitas tambang nikel, yang sebelumnya hanya sekilas terdengar di pulau Gag, kini merambat ke pulau-pulau lain seperti Kawe, Waigeo Barat, dan bahkan mendekati kawasan yang telah ditetapkan sebagai konservasi laut daerah.
Kondisi ini menunjukkan paradoks besar: di satu sisi Indonesia menggembar-gemborkan transisi energi dan ekonomi hijau, sementara di sisi lain justru merusak kawasan ekologis paling penting demi mendulang nikel, komoditas utama baterai kendaraan listrik.
Presiden Jokowi dalam berbagai pidatonya menekankan pentingnya hilirisasi tambang demi menambah nilai tambah nasional. Namun kebijakan itu kerap abai terhadap lokasi dan daya dukung lingkungan. Raja Ampat, dengan statusnya sebagai kawasan pesisir dan pulau kecil, seharusnya menjadi daerah yang paling dilindungi dari aktivitas ekstraktif.
Sayangnya, celah hukum dimanfaatkan oleh investor dan birokrat. Aturan seperti Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang sebenarnya melarang tambang di pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km², tak diindahkan. Pemerintah daerah dan pusat kerap berdalih bahwa “tidak semua wilayah Raja Ampat” terganggu, padahal efek kerusakan ekologis di laut tidak pernah mengenal batas administrasi.
Baca juga:
Ketika Laut Tak Lagi Memberi: Dampak Ekosida bagi Manusia
Ekosida adalah istilah yang kian sering terdengar, meski belum sah menjadi kategori kejahatan internasional. Istilah ini merujuk pada kerusakan lingkungan yang sangat luas dan disengaja, hingga mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Apa yang terjadi di Raja Ampat hari ini sangat layak dikategorikan sebagai ekosida—kerusakan ekologis yang sistematis, masif, dan menyisakan penderitaan.
Bagi masyarakat lokal, terutama komunitas adat pesisir yang hidup secara turun-temurun dari laut, perubahan ini terasa sangat nyata. Mereka tidak membutuhkan laporan laboratorium untuk menyadari bahwa laut mulai sakit.
Nelayan di kampung Gag dan Kawe, misalnya, mengeluhkan hasil tangkapan yang terus menurun. Jika dulu mereka hanya perlu berlayar setengah jam untuk mendapatkan hasil ikan karang dan lobster yang cukup untuk dua hari, kini mereka harus melaut hingga dua atau tiga jam, dan belum tentu mendapat cukup.
Penyebabnya adalah keruhnya perairan akibat sedimentasi tambang. Ketika hutan mangrove ditebang dan bukit-bukit dikuliti untuk diambil bijih nikel, tanah yang tersisa tak lagi mampu menahan air hujan. Lumpur dan logam berat mengalir bersama air ke laut. Terumbu karang yang semula warna-warni tertutup lapisan coklat keabu-abuan. Proses fotosintesis terhenti, dan seluruh rantai kehidupan di bawah laut terhenti perlahan.
Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tapi juga pada ekonomi rumah tangga masyarakat. Banyak keluarga kehilangan mata pencaharian karena laut tak lagi bisa diandalkan. Beberapa warga terpaksa pindah ke kota terdekat, seperti Sorong atau Manokwari, untuk bekerja serabutan. Sementara itu, industri wisata yang semula tumbuh pelan tapi pasti juga terganggu.
Baca juga:
Sejumlah operator wisata asing mulai mengalihkan rute penyelaman ke wilayah lain karena kualitas air yang menurun dan kekhawatiran akan rusaknya reputasi Raja Ampat sebagai destinasi konservasi laut dunia. Ini artinya, potensi pemasukan berkelanjutan dari pariwisata ramah lingkungan kini kalah oleh keuntungan jangka pendek dari tambang.
Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa studi lingkungan menyebutkan adanya potensi kontaminasi logam berat dalam rantai makanan laut. Jika ini terus terjadi, tak hanya ekosistem yang terancam, tapi juga kesehatan manusia. Logam berat seperti nikel, kromium, dan mangan yang masuk ke tubuh manusia dalam jangka panjang dapat memicu berbagai penyakit kronis, dari gangguan saraf hingga kanker.
Saatnya Bertindak
Kita tidak bisa menyebut nikel Indonesia sebagai komoditas hijau jika diperoleh dari cara-cara yang merusak lingkungan. Dunia tengah bergerak menuju ekonomi rendah karbon, tetapi dengan prinsip do no harm—tidak menyakiti dalam prosesnya. Transisi energi harus adil, tidak boleh menjadi pembenaran baru bagi eksploitasi kawasan adat dan kawasan konservasi.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin global dalam hal keberlanjutan. Tetapi ini hanya bisa tercapai jika kita mampu menjaga konsistensi antara kebijakan energi dan perlindungan lingkungan. Raja Ampat bisa menjadi simbol dari keberhasilan itu—atau justru menjadi contoh kegagalan kita.
Pemerintah pusat perlu segera menerbitkan moratorium eksplorasi dan operasi tambang baru di wilayah pesisir dan pulau kecil Raja Ampat. Selain itu, perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap izin-izin tambang yang telah terbit—banyak di antaranya diduga bermasalah atau melanggar aturan tata ruang. Jika terbukti menyalahi hukum, izinnya harus dicabut tanpa kompromi.
Di sisi lain, pendekatan pembangunan di Raja Ampat harus mengutamakan keberlanjutan dan berbasis komunitas lokal. Ekowisata, perikanan tangkap berkelanjutan, dan budidaya laut ramah lingkungan adalah alternatif nyata yang telah terbukti berhasil jika dikelola dengan benar dan didukung negara.
Pemerintah pusat juga bisa bekerja sama dengan lembaga internasional untuk memperkuat status Raja Ampat sebagai kawasan konservasi prioritas dunia, sekaligus membuka akses pembiayaan iklim seperti blue carbon credit dan marine protected area fund. Hal ini akan memberikan insentif ekonomi bagi masyarakat tanpa harus menghancurkan alam.
Namun pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah keberanian politik: keberanian untuk menolak logika lama yang menempatkan keuntungan di atas kelestarian, dan keberanian untuk mengakui bahwa tidak semua daerah cocok untuk pertambangan.
Jika dunia menyebut deforestasi sebagai bencana global, penghancuran ekosistem laut seperti Raja Ampat adalah kejahatan yang setara. Kita perlu menyebutnya sebagaimana mestinya: ekosida. Dan karena itu pula, ia harus dihentikan.
Saatnya Indonesia berkata dengan lantang bahwa Raja Ampat bukan tanah kosong untuk dieksploitasi, melainkan rumah bagi keanekaragaman hayati dunia dan warisan anak cucu kita. Jika kita gagal melindunginya sekarang, sejarah akan mencatatnya sebagai kegagalan moral yang tak termaafkan.
Editor: Prihandini N
