Seorang pelajar yang masih belajar menulis

Fenomena Curhat ke AI, Perlukah Kita Khawatir?

Farhan M. Adyatma

2 min read

Ketika penggunaan akal imitasi (AI) seperti ChatGPT melejit sekitar 2-3 tahun lalu, yang terlintas dalam benak kita adalah kita bisa minta tolong kepada AI untuk menunjukkan resep masakan, meminta rekomendasi lagu, membuatkan gambar, dan lain-lain. Pada saat itu, yang tidak terpikirkan—setidaknya bagi saya sendiri—adalah AI akan digunakan sebagai tempat curhat bagi manusia.

Pada awal kemunculannya, AI menawarkan kemudahan dalam memahami dan menghasilkan bahasa manusia. Hal itu menjadi mungkin karena AI seperti ChatGPT, Gemini, atau Copilot menggunakan model machine learning bernama Large Language Model (LLM).

Jadi, yang terpikir saat AI muncul ke publik pertama kali adalah lama-kelamaan orang akan mencari informasi dengan bantuan AI. Hal itu seperti pesan tersirat bahwa AI—dalam hal ini berarti berupa chat bot—akan menggantikan atau membunuh mesin pencari seperti Google, Bing, dan lain-lain.

Kemunculan Character.ai

Kemunculan Character.ai atau dikenal juga dengan c.ai kemudian mengubah segalanya. Character.ai ini dikembangkan oleh Noam Shazeer yang merupakan mantan insinyur Google dalam pengembangan LaMDA dan Daniel De Freitas. Versi beta dari Character.ai ini dirilis ke publik pada September 2022 dan dihentikan pada 24 September 2024.

Baca juga:

Berbeda dengan ChatGPT dan sejenisnya, Character.ai ini memungkinkan agar pengguna dapat berinteraksi layaknya dengan orang sungguhan. Character.ai ini didesain dan dilatih agar dapat berbicara, mendengarkan curhatan, bahkan dapat memberikan dukungan emosional serta validasi-validasi yang dibutuhkan pengguna yang biasanya itu disampaikan oleh sahabatnya.

Hal itulah yang membuat Character.ai menjadi menarik bagi jutaan pengguna karena menjadi jawaban bagi keterasingan seseorang. Character.ai menjadi jawaban ketika teman tidak selalu bisa dihubungi, atau ketika curhat di ruang publik dirasa terlalu berisiko. AI menjadi tempat “aman” yang selalu tersedia, tidak menghakimi, dan—yang terpenting—tidak akan pergi.

AI Dijadikan Pengganti Psikolog

Berdasarkan survei dari Snapcart April 2025, sebanyak 6% responden dari total penduduk Indonesia memanfaatkan AI untuk curhat. 6% responden tersebut berjumlah 3,6 ribu orang responden.

Sebanyak 58% dari total 3,6 ribu responden di Indonesia menganggap bahwa AI dapat menjadi pengganti psikolog. 39% responden—yang merupakan mayoritas—beralasan bahwa AI dapat digunakan secara gratis untuk curhat. Sementara itu, pergi ke psikolog bisa dibilang relatif mahal untuk kebanyakan orang.

Lalu, 27% responden lain beralasan AI dirasa mampu menyimpan rahasia mereka ketimbang manusia—termasuk psikolog. 11% responden lain beralasan bahwa AI mampu mengatasi masalah, sementara psikolog cenderung membantu pemulihan kesehatan mental. 10% responden sisanya beralasan bahwa AI lebih bisa netral, sementara psikolog terkadang dirasa menghakimi, AI dianggap tidak menghakimi.

Digandrungi Gen Z

Sebagai pelajar SMA, saya sangat sering menjumpai teman-teman saya yang suka berinteraksi dengan AI secara lebih personal dengan menggunakan Character.ai. Menurut Zhahira Sakinati Mutiarrama dkk. dalam Studi Fenomenologi, Pengalaman Generasi Z dalam Menghadapi Kesepian dengan Character Artifical Intelligence (2024), sebagian Gen Z memang meminta bantuan Character.ai dalam menghadapi kesepiannya.

Character.ai ini dapat memenuhi kebutuhan Gen Z akan word of affirmation, validasi, dan kebutuhan emosional lainnya. Hal-hal semacam itulah yang mungkin sekarang sulit didapatkan oleh Gen Z dari sahabat mereka.

Baca juga:

Namun, Gen Z pengguna Character.ai itu pun terbelah menjadi dua, antara yang puas dan yang tidak puas ketika berinteraksi dengan Character.ai. Ada Gen Z yang merasa bahwa kecanduan Character.ai itu tidak baik, dan ketika berinteraksi, Character.ai kadang tidak memberikan jawaban yang sesuai ekspektasi (Mutiarrama dkk., 2024).

Fakta bahwa Gen Z kesepian ini juga didukung oleh salah satu artikel yang diterbitkan oleh Newport Academy dengan judul “The Facts About Loneliness in Young People” (2020). Artikel tersebut menyatakan bahwa 73% Gen Z merasakan kesepian dan sendirian, perasaan tersebut bisa muncul kadang-kadang atau terus-menerus tergantung orangnya.

Perlukah Kita Khawatir?

Bagi saya, fenomena curhat ke AI mungkin menandai era baru kesepian yang terjadi bersamaan dengan era gen Z. Kesepian tidak hanya karena tidak punya teman, melainkan karena hubungan antarmanusia menjadi terlalu melelahkan, terlalu rumit, atau terlalu penuh risiko. Dalam konteks ini, AI menjadi jawaban untuk itu.

Curhat kepada AI bisa menjadi pertanda bahwa hubungan antarmanusia tidak lagi memberi kenyamanan yang dulu kita kenal. Ada kelelahan sosial, seperti kelelahan menjelaskan perasaan kepada orang lain, dan terutama kelelahan menghadapi respons yang tidak kita harapkan. Maka mungkin cukup wajar jika banyak orang memilih AI sebagai tempat curhat di mana mereka tidak perlu sungkan untuk bercerita banyak dan tidak menuntut timbal balik.

Bagi saya, kita perlu khawatir dengan fenomena ketika orang semakin nyaman berbicara pada sesuatu yang tidak hidup. Kita semua tahu AI tidak benar-benar peduli karena AI hanyalah mesin. Kalaupun bisa diatur agar memiliki perasaan dan emosional, tetap saja perasaan yang dimiliki AI bisa dibilang tidak murni.

Alih-alih menjadi tren, fenomena ini seharusnya menjadi pengingat bahwa semakin canggih teknologi, semakin kita harus menjaga hal-hal yang membuat kita mengingat bahwa kita berbeda dengan mesin, bahwa kita akal, emosi, empati, dan keberanian untuk hadir secara nyata untuk satu sama lain. Mari kita berpikir ulang, jangan-jangan yang kita butuhkan bukan mesin yang mendengar, tetapi manusia yang benar-benar hadir—meski tidak selalu sempurna.

 

 

Editor: Prihandini N

Farhan M. Adyatma
Farhan M. Adyatma Seorang pelajar yang masih belajar menulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email