Tangan-tangan Buruh Tak Terlihat di Balik Kecanggihan AI

Mohamad Rachmat Ramdhani

2 min read

Dalam era digital, kecerdasan artifisial (AI) telah menjadi simbol kemajuan teknologi dan otomatisasi yang mengubah berbagai aspek kehidupan. AI sering kali digambarkan sebagai inovasi yang mandiri, dengan sistem algoritma yang dapat memproses data dan membuat keputusan tanpa bantuan manusia. Namun, narasi ini menyembunyikan kenyataan penting: di balik keberhasilan AI, terdapat jaringan tenaga kerja manusia yang tersembunyi dan sering kali tak terlihat. Tenaga kerja ini, atau yang disebut dengan living labour, memainkan peran vital dalam menjaga dan meningkatkan performa AI, meskipun kontribusinya jarang diakui.

Realitas Tak Terlihat 

Kecerdasan artifisial membutuhkan volume data yang sangat besar untuk beroperasi secara efektif. Data ini perlu disusun, dilabeli, dan disaring untuk memastikan model AI dapat mengenali pola dan menghasilkan prediksi yang akurat. Pekerjaan ini dilakukan oleh ribuan pekerja digital yang tersebar di seluruh dunia, yang sering kali bekerja melalui platform crowdsourcing seperti Amazon Mechanical Turk, Appen, dan Clickworker. Mereka melakukan tugas-tugas mikro, seperti pelabelan gambar, pengklasifikasian teks, dan penyaringan konten, yang sangat penting dalam proses pembelajaran mesin.

Namun, pekerjaan ini bersifat sementara, memiliki bayaran rendah, dan tidak menyediakan jaminan sosial yang memadai. Para pekerja ini, yang mungkin bekerja dari rumah dengan waktu fleksibel, menghadapi tekanan dan ekspektasi produktivitas yang tinggi. Keterlibatan mereka tetap tersembunyi di balik lapisan teknologi, sementara masyarakat luas cenderung menganggap AI sebagai sistem otomatis yang tidak lagi membutuhkan tenaga manusia. Inilah ironi besar dalam AI: teknologi yang dianggap sebagai lambang otomatisasi dan kemandirian masih sangat bergantung pada tenaga kerja manusia meskipun kontribusinya diabaikan dalam wacana umum.

Eksploitasi dan Alienasi 

Dalam konteks kapitalisme, sistem AI sering kali dikelola dengan prinsip-prinsip efisiensi dan optimalisasi profit. Pekerja-pekerja digital ini berada dalam sistem kerja yang memungkinkan mereka dipekerjakan sesuai kebutuhan tanpa harus menjalin hubungan kerja formal dengan perusahaan. Mereka diposisikan sebagai “sumber daya” yang dapat diakses kapan saja, yang menciptakan hubungan kerja yang eksploitatif dan alienatif.

Dengan begitu, AI bukan hanya sebuah teknologi, tetapi juga fenomena ekonomi yang memperkuat struktur kapitalis yang mengutamakan keuntungan di atas kesejahteraan pekerja. Kapitalisme digital ini tidak hanya memanfaatkan teknologi, tetapi juga menciptakan lapisan tenaga kerja baru yang bekerja secara diam-diam demi melayani sistem AI. Menurut Kate Crawford dalam Atlas of AI, tenaga kerja manusia dalam sistem ini sering kali mengalami pengawasan yang ketat dan minim otonomi, seperti yang terjadi di gudang Amazon. Pekerja tersebut harus mengikuti ritme kerja yang dikendalikan algoritma, sebuah kondisi yang mempertegas posisi mereka sebagai elemen tak terlihat dalam lanskap kecerdasan artifisial.

Baca juga:

Konsekuensi dari eksploitasi ini tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup dampak sosial yang lebih luas. Dengan menyembunyikan peran tenaga kerja manusia dalam sistem AI, industri teknologi secara tidak langsung menciptakan ilusi bahwa kecerdasan artifisial adalah produk yang ‘bersih’ dan bebas dari eksploitasi. Padahal, realitasnya jauh dari itu: ketergantungan pada pekerja dengan bayaran rendah dan kondisi kerja minim jaminan justru memperlihatkan sisi gelap AI yang jarang dibicarakan.

Dari sudut pandang etika, hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keadilan sosial dan tanggung jawab dalam pengembangan teknologi. Dengan terus memanfaatkan tenaga kerja yang tak terlihat, industri AI berisiko melanggengkan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Selain itu, kondisi ini mempertegas adanya ketimpangan dalam distribusi manfaat teknologi. Manfaat dari kecerdasan artifisial, baik dalam bentuk keuntungan finansial maupun kemajuan teknologi, cenderung terkonsentrasi pada perusahaan besar dan elit teknologi, sementara pekerja-pekerja digital yang terlibat tetap berada di pinggiran.

Masa Depan Berkeadilan

Menghadapi realitas ini, diperlukan perubahan mendasar dalam cara kita memahami dan mengelola kecerdasan artifisial. Salah satu langkah yang perlu diambil adalah pengakuan dan penghargaan yang lebih besar terhadap peran pekerja digital dalam ekosistem AI. Regulasi yang lebih kuat terkait standar upah, jaminan kerja, dan transparansi perlu diterapkan untuk melindungi hak-hak pekerja ini. Selain itu, perusahaan teknologi perlu berkomitmen untuk menciptakan kondisi kerja yang lebih manusiawi dan berkelanjutan bagi para pekerja digital.

Masa depan AI yang berkeadilan harus mencakup dimensi sosial yang menghormati hak dan kesejahteraan semua pihak yang terlibat. Pengakuan akan pentingnya living labour dalam AI dapat membantu menggeser narasi dari teknologi yang murni otomatis ke teknologi yang juga berakar pada kerja keras manusia. Dengan demikian, AI tidak hanya menjadi simbol kemajuan teknologi, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai keadilan dan keberlanjutan.

Kecerdasan artifisial dan otomatisasi bukanlah sebagai pengganti total bagi tenaga manusia. Realitas di balik layar memperlihatkan bahwa AI masih sangat bergantung pada tenaga kerja yang tak terlihat, yang memainkan peran penting dalam menggerakkan sistem ini. Kita tidak boleh melupakan kontribusi dan pengorbanan pekerja-pekerja digital yang berada di baliknya. Untuk menciptakan ekosistem AI yang adil, industri teknologi perlu memberikan pengakuan dan perlindungan yang lebih besar bagi para pekerja ini, sehingga kecerdasan artifisial dapat berkembang tanpa mengorbankan prinsip keadilan sosial. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Mohamad Rachmat Ramdhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email