Bogor, 2046.
“Menurut lu, abis emas apa?” suara Budi memenuhi ruang yang sumpek, diselingi decit kain pel yang diadu dengan lantai, air dan darah.
“Hah?” Iman sedikit budeg, mungkin terlalu sering mendengar jerit dan pekik karena terlalu rajin berangkat kerja lebih awal.
“Iya, gue nanya, abis emas itu apa, Man?”
“Harusnya balik lagi ke tanah sama air.”
Iman bicara soal air, mengingatkan Budi kalau air perasan pel ini semakin lengket dan pekat, mereka harus cari keran air terdekat kalau tak mau bikin bau anyir di lantai makin melekat. Budi meninggalkan Iman sendiri, ia membawa ember dan mencoba mencari sumber air terdekat.
“Man! Minjem sendal ya!” Budi memang sering pinjam sendal Iman, cuma sendal jepit biasa tapi jadi andalan Budi karena ia selalu kerja dengan sepatu.
“Man, kalau keran air di sini paling deket sebelah mana ya?”
“Sekarang kita kan di Ruang Letnan Sjafrie, lu coba aja keluar pintu, nengok kanan, ada baliho, di bawah baliho ada keran.”
“Oke.”
Ruang Letnan Sjafrie, dinamakan begitu bukan karena tanah ini secara hukum milik Tuan Sjafrie, namanya disemat untuk melanggengkan sejarahnya saja, aslinya ini adalah ruang kelas di salah satu Universitas di Bogor, tapi talenta Tuan Sjafrie di Santa Cruz mengabadi juga di Ruang ini.
Iman sendiri dalam ruangan, senandungnya beradu dengan sepi, tak jarang ia ngomong sendiri. Iman itu mantan spekulan saham, ia senantiasa hidup dalam pertaruhan, tapi hidup yang seperti ini adalah pertaruhan Iman yang paling merah. Iman hanya bisa menerima nasib yang ternyata merenggut keluarganya. Iman baru bertemu Budi di awal Agustus 2041, Budi hidupnya asal-asalan, karena menjadi pengacara adalah jalan hidup paling asal-asalan di Indonesia, sebab ia hanya relevan di Negara Hukum. Sembilan tahun lalu, secara optimal militer bergerak untuk menjaga kepastian sosial di masyarakat, pengacara yang mengawal kepastian hukum jadi tak relevan. Benar saja kalau pengacara adalah pekerjaan yang tidak tergantikan oleh AI (Artificial Intelligence), karena ternyata penggantinya adalah AD (Angkatan Darat).
Budi sudah kembali, membawa ember penuh air, tumpah sedikit ke lantai, bercampur darah.
“Man, gua mau nyiram dulu coba… sama itu coba angkat dulu itu yang belum dibungkus.”
“Buset, ini gede banget, ini babi apa orang?”
“Keciri itu mah, Man, orang desa… ditumbalin Kades itu dia, masih make seragam kan.”
“Masa?”
“Iye… eh, Man. Katanya ada yang hasil operasi siber, Man?”
“Itu, yang di pojok, udah dibungkus… tolol dia, postingan lama malah jadi backfire.”
“Ya Allah, pendek amat ini orang.”
Budi dan Iman telaten menyucikan tiap ruang eksekusi. Ruang Letnan Sjafrie bukan satu-satunya ruang eksekusi, pengalaman Iman, ia pernah bersih-bersih di bawah kolong jembatan Stasiun Cikini, yang Iman ingat, operasi itu dilakukan saat Presiden berpidato soal “mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia”. Hari ini adalah hari yang istimewa bagi Budi, lima tahun lalu, di hari yang persis sama dengan hari ini, Budi ditangkap, karena mengacau di hari kemerdekaan. Seluruh rekannya dibawa ke tengah sawah daerah Tambelang, Jawa Barat. Budi satu-satunya yang diboyong tanpa ditutup kepalanya, semua kamerad Budi ditutupi kepalanya dengan karung. Budi gagal menyelamatkan seluruh nyawa kameradnya tapi ia berhasil menyelamatkan nyawanya sendiri. Hari itu adalah hari pertama Budi bertemu Iman, hari pertamanya melaksanakan hukuman.
“Muat gak, Man?”
“Coba lu naik sini, injek-injek, gua make sendal soalnya,” sudah tugas Budi karena ia ia selalu kerja dengan sepatu.
Sembari Budi memuat mayat ke dalam tong-tong berisi selongsong kosong dan pakaian gosong, Iman membersihkan golok dan parang yang mungkin digunakan di operasi-operasi lain yang akan datang. Tugas mereka hanya untuk menjamin ruang eksekusi kembali rapih, bersih dan suci, sehingga bisa difungsikan seperti sediakala. Ini tahun kelima untuk Budi dan kesepuluh untuk Iman sebagai tukang bersih-bersih. Hari pertama Iman, adalah hari terakhirnya bersama dengan keluarga, Iman menikahi gadis tertua anak sekretaris jenderal partai, saat sang istri mengandung anak kedua, mertuanya berbalik arah, memilih lawan yang salah dalam politik. Iman selalu berpikir, apakah semua yang terjadi ini karena pilihan yang berdasarkan irasionalitas—dalam hal ini adalah ‘cinta’—yang membawa nasib sang spekulan ke takdir yang seperti ini?
2046, satu tahun setelah nubuat Indonesia Emas, setelah itu apa? Kalau Indonesia Emas itu artinya Indonesia yang berharga, ternyata harga emas itu setara dengan nyawa. Budi dan Iman tidak merasa lebih berharga walaupun dibiarkan bernyawa di masa Indonesia Emas, Indonesia lebih berharga dari manusia. Mungkin betul kata Iman, “harusnya balik lagi ke tanah sama air”, seratus satu tahun lalu, Indonesia itu masih “Tanah Air Beta”, sekarang Indonesia harusnya balik lagi dari Indonesia Emas, ke Indonesia Tanah Air Kita.
*****
Editor: Moch Aldy MA