Kita hidup di tengah dunia yang mengalami krisis dalam segala hal: krisis iklim yang mempercepat kehancuran ekologis, krisis ekonomi yang membuat kemiskinan menjadi norma baru, krisis politik yang menelanjangi kehampaan demokrasi liberal, hingga krisis eksistensial yang melumpuhkan imajinasi kolektif akan masa depan. Dalam pusaran berbagai krisis itu, banyak orang mencoba mencari penyebab tunggal: perubahan iklim, kesalahan regulasi, kegagalan kepemimpinan, atau bahkan semata-mata akibat pandemi global.
Namun menurut Maurizio Lazzarato dalam Wars and Capital, seluruh bentuk krisis tersebut bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan merupakan ekspresi dari satu struktur kuasa dominan: kapitalisme dalam bentuk terintegrasinya hari ini—sebuah entitas yang tidak hanya mengatur ekonomi, tetapi juga membentuk cara berpikir, bertindak, dan bahkan cara kita menderita.
Dalam kerangka pemikiran Lazzarato, kapitalisme tidak dapat dipahami hanya sebagai sistem produksi dan akumulasi; ia juga adalah sistem destruksi yang beroperasi melalui bentuk-bentuk perang yang tidak selalu tampak. Inilah yang menjadi tesis utama Wars and Capital: bahwa kapitalisme mengandung dan mengorganisir perang seperti awan yang membawa badai.
Baca juga:
- Instagram dan Kapitalisme Digital
- Mempertahankan Kepemilikan Tubuh di Bawah Bayang-Bayang Kapitalisme
Perang bukanlah pengecualian dari sistem ini, melainkan modus utama kerjanya. Perang dalam bentuk finansial, sosial, budaya, ekologis, dan militer, yang semua menyatu dalam logika produksi nilai dan penundukan subjek. Maka dari itu, ketika kita menyebut “krisis ekonomi” atau “krisis politik”, Lazzarato mengajak kita untuk membaca itu sebagai perang, bukan hanya sebagai anomali atau kesalahan kebijakan.
Perang finansial melalui utang, misalnya, adalah bentuk dominasi yang efektif dan sistematis, seperti yang terjadi di Yunani tahun 2015. Di bawah tekanan Troika—Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan IMF—negara Yunani dipaksa menerima syarat penghematan brutal demi membayar utang. Dalam situasi ini, rakyat Yunani berkata, “Ini seperti berada dalam perang,” dan Lazzarato menegaskan, “Bukan seperti perang—ini memang perang.”
Perang di sini tidak lagi menggunakan senjata atau tentara, melainkan melalui angka-angka, kebijakan moneter, dan kekuatan modal global yang menghancurkan kedaulatan politik dan martabat sosial. Ini adalah bentuk perang sipil global yang tak membutuhkan deklarasi resmi, karena ia telah dilembagakan dalam perangkat keuangan dan legal internasional.
Akan tetapi perang tidak berhenti di sana. Di Eropa dan Amerika, narasi “perang melawan teror” membuka jalan bagi bentuk baru kolonialisme internal, di mana Muslim, imigran, dan komunitas kulit berwarna diposisikan sebagai ancaman dalam tubuh masyarakat. Lazzarato menyebut ini sebagai bentuk “endokolonisasi,” yakni kolonialisme yang tidak lagi diarahkan keluar, melainkan ke dalam—terhadap kelas pekerja, perempuan, minoritas, dan populasi rentan.
Baca juga:
Perang hari ini bersifat fraktal dan transversal: fraktal karena terus berulang dalam berbagai skala, dari global hingga personal; transversal karena menembus batas antara ekonomi, militer, dan kehidupan sehari-hari. Ia terjadi di medan geopolitik sekaligus di ranah rumah tangga, di tempat kerja, dan di platform digital.
Kapitalisme telah menjadi mesin perang yang menyatukan negara, teknologi, sains, dan produksi dalam satu perangkat kekuasaan yang menyeluruh. Mesin ini bekerja bukan hanya untuk menciptakan barang dan jasa, tetapi juga untuk memproduksi subjektivitas, ketakutan, dan kepasrahan. Bahkan teknologi yang tampak netral seperti internet, algoritma, dan kecerdasan buatan, memiliki akar militeristik dari proyek-proyek Perang Dunia dan Perang Dingin.
Lazzarato menunjukkan bahwa apa yang oleh para pemikir Marxis pasca-industri sebut sebagai General Intellect—yakni akal kolektif umat manusia yang menghasilkan pengetahuan dan inovasi—telah dikooptasi oleh logika kapital. Ia bukan lagi kekuatan pembebasan, tetapi telah terintegrasi dalam produksi nilai dan pengendalian sosial.
Bahkan negara kesejahteraan yang dulu dianggap sebagai keberhasilan modernitas, menurut Lazzarato, tidak lahir dari semangat egalitarianisme, melainkan sebagai produk sampingan dari perang total. Welfare adalah wajah sipil dari warfare; negara memberikan jaminan sosial agar masyarakat tetap dapat dikendalikan setelah mengalami militerisasi besar-besaran.
Maka, pembongkaran sistem jaminan sosial yang terjadi hari ini bukanlah penyimpangan, melainkan bentuk konsisten dari logika neoliberalisme pasca-Perang Dingin, yang ingin mencabut semua bentuk proteksi kolektif demi mengembalikan supremasi pasar dan utang. Dalam situasi seperti ini, Lazzarato mengkritik tajam gagasan-gagasan pasca-1968 yang menurutnya gagal menghadirkan bentuk perlawanan yang setara dengan kekuatan mesin perang kapital.
Filsafat dan politik pasca-68 terlalu larut dalam kritik representasi dan wacana, sementara kapitalisme justru berkembang sebagai kekuatan strategis dan militeristik yang sangat konkret. Kapital bukan hanya struktur ekonomi, melainkan mesin logistik yang mengatur ruang, waktu, dan kehidupan. Oleh karena itu, politik yang hanya berpijak pada etika atau simbolik tidak akan cukup.
Yang dibutuhkan adalah rekonstruksi strategi: sebuah politik perang yang mampu menandingi logika destruktif kapital, tidak dengan menirunya, tetapi dengan memahami medan pertempuran dan membentuk kembali logistik kolektif kehidupan. Dalam dunia di mana “perdamaian” hanyalah lanjutan dari perang dalam bentuk yang dilembutkan, maka jalan keluar dari krisis bukanlah menyesuaikan diri dengan logika kapital, tetapi membongkarnya dari akarnya: dari utang, dari perang, dari seluruh aparatus yang telah menyamarkan dominasi sebagai kemajuan.
Editor: Kukuh Basuki