mahasiswa biasa

Usia dan Cita-Cita dalam Sinema

Nurfikri Muharram

3 min read

Tick, Tick… Boom!

Tick, Tick… Boom! merupakan film autobiografi dari Jonathan Larson yang diperankan oleh Andrew Garfield. Larson adalah seorang komposer yang berpengaruh dalam dunia teater musikal Broadway. Sejak muda, Larson bermimpi untuk bisa tampil di Broadway mengikuti jejak idolanya Stephen Sondheim.

Larson terus menjaga mimpinya tersebut sembari bekerja paruh waktu untuk tetap mendapatkan penghasilan. Dia sangat yakin pada mimpinya sampai usianya mendekati 30 tahun. Larson merasa pesimis dan mulai membandingkan dirinya dengan Sondheim yang sudah tampil di Broadway sejak usia 27 tahun.

Larson mulai berpikir untuk meninggalkan mimpinya tampil di Broadway. Apalagi setelah dia mengalami rentetan permasalahan yang dirasa makin sulit untuk diselesaikan.

Saat dirinya sudah merasa gagal, Michael mengingatkan bahwa Larson memiliki bakat dan kemampuan untuk tampil di Broadway. Michael sendiri merupakan sahabat Larson yang dulu juga sempat berkecimpung di dunia teatrikal.

Meskipun Michael mengatakan bahwa dirinya berbakat, Larson menolak pujian itu dan menganggap bahwa sudah terlambat bagi dirinya untuk bersinar. Usianya sudah mendekati 30 tahun dan dia belum menjadi siapa-siapa.

Namun, keinginan Larson untuk menyerah tidak terwujud saat Michael mengingatkan bahwa dia belum kehabisan waktu. Semangat Larson untuk menulis juga makin menggebu-gebu setelah Sondheim menyebut musik Larson sangat bagus dan dia memiliki potensi yang besar untuk bersinar.

Singkat cerita, karya Larson yang berjudul Rent berhasil tampil di Broadway. Sayangnya, dia tidak sempat melihat karyanya ditampilkan.

Larson meninggal sehari sebelum pertunjukan, di usia 35 tahun. Akhir yang sedikit tragis, memang. Namun, bukan itu inti yang coba disampaikan oleh film ini.

Selain sebagai penghormatan pada Larson atas karya besarnya, film ini dibuat untuk memberi penonton perspektif lain terhadap impian. Apa jadinya kalau Larson menyerah dan tidak menciptakan Rent? Dia akan mati tanpa sempat menggapai mimpinya.

Kita semua tahu bahwa kematian adalah takdir yang tidak dapat diubah, sementara menyerah atau tetap memperjuangkan mimpi adalah pilihan yang dimiliki oleh setiap manusia. Dan Larson memilih untuk tetap memperjuangkan mimpinya.

Dalam perdebatannya dengan Larson, Michael mengingatkan bahwa pencapaian Sondheim tampil di Broadway pada usia 27 tahun bukanlah urusan Larson. Semua orang punya waktunya masing-masing untuk bersinar. Michael menyuruh Larson untuk lebih bersabar lagi.

Ucapan Michael tersebut bukanlah tanpa alasan. Karena ada kalanya mimpi menjadi kenyataan justru di usia yang tidak lagi muda. Misalnya saja kisah Henry Ford melalui Ford Motor Company yang menuai keberhasilan di usia 45 tahun atau kisah Adolf Dassler yang sukses dengan brand Adidas saat usianya sudah 49 tahun. Masih kurang tua? Colonel Sanders dengan KFC-nya baru menuai kesuksesan di usia 70 tahun.

Keberhasilan tokoh-tokoh di atas menunjukkan bahwa usia tidak menjadi penghalang untuk mengejar mimpi. Premis ini pula yang dibawa oleh drama Korea Navillera.

 

Navillera

Navillera menceritakan seorang kakek berusia 73 tahun bernama Shim Deok-chul (Park In-hwan) yang ingin belajar balet. Bagi sebagian besar orang, tentu impian itu adalah sebuah kemustahilan. Hal ini juga yang ada di benak Lee Chae-rok (Song Kang) yang ditugaskan gurunya untuk mengajarkan Deok-chul menari balet.

Keinginan Deok-chul untuk belajar balet bukanlah tanpa alasan. Sejak kecil, dirinya menyukai balet. Sayangnya, ia ditentang oleh kedua orangtuanya. Deok-chul menghabiskan hidupnya sebagai tukang pos sampai pensiun tanpa sekalipun mencoba meraih mimpinya.

Dia mengira mimpi tersebut sudah terkubur dalam-dalam, sampai dirinya melihat Chae-rok menari balet dengan sangat indah. Perlahan mimpi yang dikiranya mati mulai kembali hidup.

Niat Deok-chul untuk belajar balet semakin besar setelah melihat temannya meninggal dengan penyesalan. Semasa hidup, temannya tersebut berdagang kapal, tetapi dia tidak pernah membuat kapalnya sendiri. Bahkan, di hari-hari terakhirnya, dia sering terbangun karena mendengar suara ombak yang dirasa sangat nyata. Hanya kematian yang berhasil memutus rasa penyesalannya.

Awalnya, keputusan Deok-chul untuk menari balet ditentang oleh keluarganya. Keluarganya merasa Deok-chul sebaiknya beristirahat saja di rumah mengingat usianya yang semakin tua. Deok-chul pun sempat berhenti menari balet karena tidak ingin menimbulkan pertengkaran di keluarganya. Akan tetapi, dia tidak benar-benar bisa berhenti.

Istrinya menyadari bahwa Deok-chul kehilangan semangat hidup saat berhenti berlatih balet. Dia pun mendukung keinginan suaminya untuk meraih mimpi masa kecilnya itu. Keluarganya yang lain juga ikut mendukung setelah melihat kesungguhan Deok-chul dalam berlatih.

Seperti yang diduga oleh banyak orang, Deok-chul kesulitan untuk belajar balet. Akan tetapi, dia tidak pernah putus asa dan tetap menjaga mimpinya untuk menari balet di atas panggung. Keadaan Deok-chul juga makin sulit setelah divonis menderita Alzheimer. Deok-chul harus melawan kondisi fisik dan ingatannya yang semakin parah tiap harinya.

Deok-chul akhirnya mendapatkan jadwal tampil di atas panggung bersama Chae-rok. Hal itu tidaklah didapat dengan mudah karena dirinya harus mengikuti seleksi melawan belasan penari lainnya yang berusia lebih muda. Bahkan, di hari penampilan, Alzheimer yang diderita Deok-chul kambuh, sehingga Chae-rok dan keluarganya berusaha ekstra keras untuk memulihkan ingatannya.

Segala usaha yang dilakukan Deok-chul membuahkan hasil yang manis. Penampilannya bersama Chae-rok memukau banyak orang. Otaknya mungkin bisa lupa, namun tubuhnya selalu mengingat gerakan demi gerakan yang telah dilatihnya selama ini. Deok-chul berhasil mewujudkan mimpinya meskipun sudah berusia tua dan harus melawan penyakit yang dideritanya.

Kisah Deok-chul memberi kita harapan bahwa selama ada niat dan usaha yang keras, tidak ada kata terlambat dalam meraih mimpi. Drama ini juga memperlihatkan bahwa sekeras apa pun mimpi dikubur, mimpi akan terus hidup dalam ingatan, dan mungkin akan muncul di saat yang tidak diduga-duga.

Setelah mengetahui kisah Jonathan Larson dan Shim Deok-chul, apakah kita akan tetap mengubur impian kita, atau mengejarnya sedari sekarang?

 

Editor: Ghufroni An’ars

Nurfikri Muharram
Nurfikri Muharram mahasiswa biasa

2 Replies to “Usia dan Cita-Cita dalam Sinema”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email