Kami duduk di barisan kursi ketiga belas, bila dihitung dari depan. Aku nyaris akan menyalahkan Jong andai saja malam ini kami kehabisan tiket.
Dia menjatuhkan kacamatanya ketika kami berjalan menuju gedung teater dan harus menghabiskan cukup banyak waktu mencari benda sialan itu. Kacamata itu biasanya diselipkan di saku kemeja, namun entah bagaimana, kacamata itu terlepas dari tempatnya diselipkan.
Beruntung seorang pedagang kacang rebus menemukan kacamata itu setelah kami hampir menyerah mencarinya.
Katakanlah sebagai bentuk terima kasih, kami membeli sebungkus besar kacang dari pedagang tua berjanggut putih itu. Pada koran yang menjadi bungkus kacang kami, ada berita tentang pertunjukan teater malam ini.
Diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Daerah, tertulis di keterangan berita.
Di halaman yang sama, terpasang berita pidato politisi yang mengutip sebaris kalimat dari sebuah kitab suci. Kami sempat membacanya saat koran itu masih tergeletak di atas tumpukan lain di samping keranjang kacang.
“Ayat-ayat Tuhan jadi bungkus kacang,” Jong cekikikan.
Aku tak memberi komentar.
Pertunjukan malam ini dihadiri banyak orang, dan sejumlah pejabat pemerintah mengambil tempat duduk di kursi paling depan sebagai tamu kehormatan. Satu di antara mereka menjabat walikota.
Pertunjukan tidak langsung dimulai. Acara dibuka dengan pidato sambutan dari Bapak Walikota yang sejak tadi berwajah masam itu.
Dalam pidatonya, Bapak Walikota mengingatkan para penonton tentang betapa pentingnya mengapresiasi kerja-kerja kesenian, yang kemudian disambut banyak tepuk tangan. Tepuk tangan itu bernada mengejek. Tidak terkesan serius bila dinilai dari temponya yang terdengar sporadis.
“Kacangnya sudah habis?” tanyaku, memeriksa sekeliling tempat duduk.
Sebenarnya tidak semua bertepuk tangan, beberapa orang sengaja menyibukkan diri, seperti kami yang sejak awal memang sudah mengetahui tidak boleh membawa makanan ke dalam gedung pertunjukan, dan berhasil menyelundupkannya dari pemeriksaan penjaga pintu gedung yang terlihat terlalu lesu dan mengantuk.
Reaksi sarkas biasa dilakukan para penonton setiap kali politisi berpidato di acara-acara kesenian – dan anggap saja menyelundupkan kacang adalah salah satu cara kami berpartisipasi dalam aksi massa itu.
Di kursi yang lain, ada penonton yang datang bersama kekasihnya, sengaja berciuman saat walikota mulai berpidato. Ada juga penonton yang tiba-tiba melakukan meditasi di kursinya. Malah biasanya, tidak sedikit bahkan, sejumlah penonton akhirnya kelolosan tidur padahal mulanya cuma ingin pura-pura saja.
Di belakang kami, seorang laki-laki berambut kriting, berkacamata, menyangga dagunya dengan kedua tangan, dengan nada putus asa ia menyesalkan keputusannya masuk ke gedung pertunjukan terlalu cepat. Padahal para penonton memang dilarang keluar-masuk dan pintu akan dikunci dari luar sejak susunan acara dibacakan.
Laki-laki itu sepertinya tidak hendak melakukan aksi sarkas. Ia justru sengaja membesar-besarkan suaranya, mengeluh agar semua orang mendengar.
“Bung, bukankah pintu memang harus dikunci sejak pejabat berpidato?” Jong menanggapi keluhan laki-laki itu.
“Iya. Aku tahu, Tuan. Aku hanya bermaksud mengekspresikan ketidakberdayaanku menghadapi situasi tanpa pilihan ini.”
Jong mengangguk-angguk, memasang kacamatanya, lalu memerhatikan wajah laki-laki itu.
“Kalau kau mengetahui aturan itu, berarti kau sudah sering menonton teater?” tanyaku, sambil setengah menoleh ke belakang. Barangkali Jong juga melihat pada beberapa bagian wajah laki-laki itu, ada tanda-tanda bekas perkelahian sengit. Kulitnya mengkilap cokelat seperti anak pesisir yang dibesarkan matahari.
“Begitulah,” kata lelaki itu, singkat, datar. “Kalian datang berdua?”
Aku mengangguk meski tak yakin lelaki muda itu dapat membaca anggukanku karena cahaya di kursi penonton amat remang mendekati gelap.
“Mestinya, kalau kita memang sama-sama suka menonton teater, ada kemungkinan kita akan bertemu lagi. Mari berkenalan, Tuan-Tuan?” laki-laki muda itu menyodorkan tangannya hingga melewati punggung kursi yang kududuki. “Panggil saja Aan.”
“Aku Nice. Dan ini temanku, Jong.”
Jong berlagak menjaga sikap, menghadap ke depan sebentar, seakan-akan dia bukanlah orang yang bisa sembarangan diajak bergaul. Meski akhirnya, dengan cara yang canggung, dia pun meraih jabatan tangan laki-laki itu.
Selama setengah jam, mereka terus berbincang. Jong mengikuti tinggi volume suara Aan. Sampai-sampai beberapa penonton di sekitar mereka ikut mendengarkan bagai peserta diskusi dalam sebuah forum intelektual. Mereka bahkan membahas banyak hal tentang sastra, kebetulan Aan ternyata adalah penyair, dan Jong merupakan pembaca yang baik. Mereka cepat akrab. Aku tak terlalu peduli pada apa yang mereka bicarakan, kecuali saat mereka menyinggung soal musik. Selebihnya aku lebih banyak diam.
Kami mengakhiri percakapan setelah sekitar setengah jam berlalu, lebih tepatnya setelah Bapak Walikota selesai berpidato. Forum intelektual dibubarkan, para penonton kembali bersandar di kursi mereka. Sebelum forum berakhir, kami sempat mendengar kalimat penutup pidato Bapak Walikota: “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepada kamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara!” dan tepuk tangan kembali menggelegar. Kali ini jumlahnya lebih besar. Dan suasana mengejek terasa lebih kental.
Bapak Walikota kembali ke tempatnya. Tubuhnya yang ramping tapi cukup tinggi, membuat posisinya yang berada di barisan depan terkesan seperti keputusan keliru. Setengah badannya menghalangi pandangan satu orang penonton di belakangnya. Namun, siapa yang berani mendepak kepala pejabat, sementara tak sengaja menyentuhnya saja bisa dicurigai sebagai teroris dan perlu diintrogasi selama berhari-hari. Kasus seperti itu sudah sering terjadi, dan banyak orang diam-diam menyesal telah memilih walikota itu saat proses pemilihan dulu.
Pembawa acara yang nada bicaranya sudah tidak sesemangat awal segera membacakan sinopsis pertunjukan. Tirai panggung dibuka. Lampu-lampu dimatikan perlahan-perlahan. Satu lampu yang menggantung di atas panggung, bercahaya merah, menyorot seorang aktor berkepala botak yang dibungkus kantung plastik. Aktor itu membawa obor di tangan kirinya. Asap-asap dari obor yang dibawanya terbang meliuk-liuk ke langit-langit panggung.
Ia mulai bergerak; mengelilingi panggung, sambil membentangkan kedua lengannya seperti elang yang sedang mengawasi mangsa dari langit.
“Tuhan tidak akan mati!”
“Tuhan tidak akan mati!”
“Karena kalian, tidak akan mampu membunuhnya!”
Pekik aktor sambil berdiri di tepi panggung proscenium yang menghadap penonton. Matanya memburu ke kursi-kursi penonton, sampai pandangannya terpaku kepada Walikota di barisan terdepan. Mereka saling bertatapan dalam waktu yang cukup lama.
Mungkin karena merasa aneh atau tak nyaman, Walikota menepuk pejabat lain yang duduk di sampingnya sambil berbisik-bisik mencairkan suasana, kedua pejabat itu tertawa.
Aktor kembali bergerak; mengelilingi panggung. Tiba-tiba, entah sedang melakukan improvisasi karena terlalu mendalami karakter atau memang bagian dari skenarionya, sang aktor melepaskan obor yang dibawanya, secara dramatis. Obor itu menggelinding ke sisi panggung, dan apinya dengan cepat melahap tirai yang menjuntai.
Api menjalar ke atas, percikan listrik muncul dari kabel-kabel yang tersambung dengan lampu-lampu panggung. Sesaat kemudian, lampu-lampu itu berjatuhan, dan salah satu lampu, yang bercahaya merah, menimpa kepala aktor yang tiba-tiba melakukan tablo seakan sudah mengetahui nasib yang akan menimpanya. Para penonton panik, menengok ke sekeliling mencari jalan keluar. Mereka berhamburan menuju pintu yang terkunci.
“Siapapun tahu, gedung teater dirancang untuk kedap suara,” kata Aan.
“Jadi apa yang perlu kita lakukan sekarang?” aku berusaha bersikap tenang, sambil melihat api yang mulai memenuhi setengah langit-langit gedung.
“Hidup adalah kepanikan di teater yang terbakar,” Jong cekikikan, dia terlihat lebih siap mati.
“Jadi apa yang perlu kita lakukan sekarang, Bung-Bung sekalian?” aku mengulang pertanyaanku, sebab tak menemukan solusi dari perkataan Jong yang ngelantur.
Aan berdehem, membenarkan kacamatanya, menyeka keringat yang mulai membintik di keningnya, lalu berkata: “melihat api bekerja.”
Saat mengatakan itu, bola mata Aan memantulkan kilatan api, ekspresinya seakan mengusung keyakinan tak tergoyahkan.
Api sudah menghanguskan panggung pertunjukan, lalu merayap dan menyentuh kursi penonton. Pandangan kami semakin terhalang asap-asap yang memadati seisi gedung. Dan sebelum api sampai di barisan kursi ketiga belas, aku sempat melihat, bagaimana Walikota tertimpa sebuah balok kayu yang sudah terbakar saat dirinya berusaha mencari jalan keluar.
Sementara dari tengah kerumunan, pembawa acara terdengar seperti mendapatkan semangatnya kembali. Seolah semua yang terjadi adalah bagian dari pertunjukan, ia berseru: “Penonton harap tenang!”
***
Editor: Ghufroni An’ars