untuk indonesia gelap
perasaan kita
adalah pledoi basah
yang berkecamuk di bawah hujan
bergelombang ke arah patung kuda
satu lagi upaya memenangkan perkara:
“tolong kami ingin bisa makan
di luar jam makan siang,”
perasaan kita
adalah langgam layu
yang terhempas keroncong di televisi
setiap pukul pagi
yel-yel memantul di gedung serbaguna sentul
“hidup jokowi!”
perasaan kita hilang sudah
dari partitur
perasaan kita
adalah titah lalu
usang di timbunan kepentingan
perasaan kita
ditelan gelombang laut
dengan pagar hak guna bangunan
perasaan kita
diuru tanah-tanah adat
yang dijejak undang-undang
konsesi tambang
perasaan kita
rabu,
abu,
legam,
kelam,
hitam,
lawan.
–
gulma gila
untuk: sukatani
subversif
gulma gila ditemukan di pekarangan
menjerat kaki-kaki, sulit melangkah
sulit menjamah, sulit ambil pungli
‘hari ini jadwalnya ngarit’
tanpa sapi, jadi babi
sukatani nandur teki
senadyan diarit, sansaya thukul lan ninggal mukti
babat alas, suket, utek
‘rusuh, bengal, pembuat kegaduhan’
menukil hormat dari paksa
gulma gila merambat ke dalam tanah
menyebar ke jalan-jalan protokol
luar pulau, luar negeri
menyusupi rumah-rumah
lalu merimbun dan melebat
mengabu angin, membawa hujan
suaramu yang diredam
jadi api dalam sekam
di jalanan kami berkobar lebih liar
“bayar bayar bayar!”
–
gelap
hari belum malam
tapi gelap sudah kental
bercampur muntah, aspal, dan hujan
mengiringi kaki kami dari cikini
seorang ibu menjahit doa
dari balik bus kota
seorang bapak mengepal tangan
ke tanah dan udara
semoga matahari lahir lagi
dari wajah anak yang terbias cahaya
–
lelayu
tukang pos tiba di teras rumah
mengantarkan serat lelayu
ibu dibunuh mereka lagi
menguji sekeras apa hati kita mencintai
terpal biru menggelepar
bendera kuning di kelokan
surat terinjak koran-koran baru
kematian baru, patah hati baru
doa-doa kita bersulang di udara
berdenting di telinga tuhan
lantas jatuh sebagai hujan
memilih menjadi berkat yang lain
sembari menenun karma
selarik basah yang durhaka
–
hompimpa
pagi itu di selasar puskesmas
kaki anak penuh borok, nenek terbatuk, bapak demam tinggi,
ibu hamil menghalau asap rokok
petugas melempar kertas fotokopi ktp dan kartu keluarga
subsidi tidak banyak, siapa mau mengalah?
“tidak ada kuota lagi,
kita harus efisiensi.”
ibu, anak, nenek, dan bapak berdesakan
melompati ruang tunggu untuk tiba
di loket pendaftaran
“saya datang duluan.”
“hamil ini tujuh bulan.”
“kulitku dimakan waktu.”
“waktuku dilindap lalu.”
petugas menggeram,
mendudukkan mereka dalam lingkaran
mereka hompimpa
dari tuhan kembali ke tuhan
putih hitam putih putih hitam
putih putih putih putih putih
nasib manusia di balik telapak tangan
siapa kalah, mati duluan
*****
Editor: Moch Aldy MA