Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Trompet!

Kala Lail

15 min read

Tiba-tiba sebuah lonceng berdecing. Burung-burung di aspal bilang itu lonceng dari tengah laut. Tinggal di muka laut. Berdecing melintasi laut tapi juga terdengar dari dasar laut. Seperti tumbukan, semacam kuping kemasukan air.

Burung-burung itu boleh menyampaikan pendapat, tapi anak kecil yang sedang memegang ecek-ecek tutup botol menghadap dinding kaca toko mainan itu masih bergumam lirih. Katanya itu suara dencing rantai tembaga yang dilepaskan dari ikatannya. Artinya trompet purba akan segera diangkat lalu ditiup sepenuh napas peniupnya. Anak kecil itu lupa nama peniupnya, tapi ia yakin betul ada yang akan segera terjadi. Tidak kurang dari setengah hari.

Selalu ada yang lekas berakhir ketika suara paling keras mengambang di udara. Seperti suara yang mengganggu tidur. Suara yang mengubah dunia seketika. Dari dunia mimpi jadi dunia asli. Dari hari-hari pegal jadi mimpi yang buru-buru. Selalu sebuah suara yang menjadi batasnya.

Tidak ada yang bisa mendengar ketika seseorang tidur. Kita baru dikatakan tidur ketika kita sudah tidak mendengar. Tapi setelah itu, kita punya pendengaran lain. Di dalam mimpi, kita bisa mendengar dengan telinga yang berbeda. Sebenarnya berapa banyak pendengaran manusia?

Mana kutahu. Kata burung itu. Bulunya makin mengilat. Seperti paha kuda sembrani yang tak pernah diternakkan. Tak pernah disentuh tangan kasar manusia.

Barangkali burung itu merasa dihina. Burung tak pernah bermimpi. Burung tak punya mimpi. Katanya, hanya manusia yang butuh mimpi untuk menghibur kehancurannya. Sebagai tempat sembunyi. Untuk membius pegal dan migrain semalam. Pastilah hancur seluruh tubuh manusia andai tak ada waktu tidur dan bermimpi.

Mimpi adalah hidup kedua. Mimpi adalah alternatif hidup. Ada ribuan hidup yang bisa dijalani yang mencabang dari hidup utama. Kau bisa mati seribu kali dalam mimpi. Dengan ribuan skenario. Tapi kau tetaplah kau dengan seluruh pikiran dan watakmu. Semua orang di dalam mimpi adalah sepenuhnya wajah-wajah yang kau kenal atau pernah selintas kau lihat di hidup utamamu.

Kau harus setuju bahwa di dunia asli manusia adalah diorama. Miniatur 3 dimensi. Lantas, mimpimu itu adalah ide-ide pencipta yang tidak terjadi. Sebatas ide-ide karena kau tidak melakukannya. Ide butuh dikerjakan. Ide butuh tubuh material. Karena kalian manusia diberi kebebasan membuat ide sendiri, selalu ada gesekan antara ide rapuhmu dengan ide utama.

Hanya kamilah ide-ide yang masih melekat pada ide utama. Kami burung-burung tak bermimpi. Kami diciptakan dari bunyi untuk terus berbunyi, bukan bermimpi. Kami punya tugas yang amat besar. Sekali lagi, mimpi kami amatlah besar. Tapi ketika suara kami tak lagi ada, ketika kalian bunuh kami semua atau rumah-rumah kami tak lagi bisa dibangun dengan ranting dan rerumputan, ketika suara trompet akbar itu diembus dengan sekuat tenaga sehingga suara kami tak lagi berarti–suara kicau pujian untuk menyeimbangkan alam yang kacau sejak anak manusia dilempar ke atas bumi–maka semuanya akan berakhir dan ini bukan mimpi.

Kenapa burung itu seperti telah berusia seribu tahun? Dari mana ia mengetahui semuanya. Ia hanya seekor burung. Pemakan berbijian. Apa yang bisa dilakukan tiga-empat butir biji jawawut. Kenapa ia diberi tugas sebesar itu serta rahasia seluruh alam.

Burung itu mendekat lagi. Hanya sejarak lengan. Jika cepat aku bisa meraih dan meremasnya. Ia tidak akan  mengoceh lagi.

Kalian. Manusia. Kalian selalu merasa menjadi pusat semesta. Lanjut burung itu.

Itu adalah kebenaran mutlak. Kataku. Semua orang tahu itu. Lagi pula siapa lagi yang menduduki puncak rantai makanan di semesta ini jika bukan manusia. Vegetasi, air, dan hewan memang ada untuk mencukupi kebutuhan hidup kami. Tidak ada yang salah dengan itu.

Burung itu menatapku kecil. Jika ia punya lengan, pastilah ia memukulku. Katanya manusia itu bodoh dan sombong. Semua suara yang manusia hasilkan berasal dari benda lain. Tidak ada yang dihasilkan manusia kecuali hanya kotoran. Energi adalah kekal, tapi hanya manusia yang memproses energi dengan sia-sia. Energi dihasilkan untuk menunjang hidup yang lemah lalu dilepaskan tanpa ada gunanya bagi kehidupan lain. Itu lebih rendah dari kepakkan sayap kecil burung yang bisa menghasilkan tetumbuhan dari berbijian yang jatuh ke tanah. Kami adalah spora yang menyebar bersama udara. Tak berasap. Tak bising. Suara kami sepenuhnya berarti.

Burung itu bicara omong kosong, tapi kepul asap pabrik celana dalam di udara jadi terlihat jelas. Berhenti tak bergerak. Seperti satu frame yang dipotret tergesa. Hanya untuk pakai celana dalam manusia mesti menyia-nyiakan kerja ratusan  pepohonan. Barangkali di sana ada udara bening yang dihasilkan daun-daun bengkok dari rumahku. Tapi mau bagaimana lagi. Tidak ada cara lain. Manusia dilahirkan telanjang tapi tak boleh telanjang. Sejak jutaan tahun, burung dilahirkan telanjang dan terus telanjang. Tak ada perbandingan yang tepat. Sejak jutaan tahun yang lalu, burung hanya menelan biji-bijian dan akan terus seperti itu.

Barangkali trompet itu adalah tanda untuk berhenti. Orang-orang diciptakan memang untuk merusak bumi ini. Seperti migrasi belalang yang melewati dan menutupi seribu kilometer persegi ladang gandum. Mereka hanya lewat tapi menghabiskan persediaan makanan sejuta orang dalam setahun. Seluruh ladang hancur dan gandum habis, lantas ratusan ribu belalang itu akan pergi seperti badai pasir.

Maka trompet itu adalah penanda kapan semua orang ini harus pergi. Selalu ada waktu berhenti karena tanpa berhenti tak akan pernah ada permulaan. Permulaan bisa dimulai lagi dan lagi. Tapi semua orang harus berhenti terlebih dahulu.

Atau barangkali trompet itu hanyalah suara dari luar untuk membangunkanku? Aku sedang tidur dan bermimpi. Trompet itu adalah suara derum motor depan rumah yang suka mengagetkan jam 6 pagi. Aku pernah memasang paku payung dua belas kali di depan supaya orang itu jengah lantas menjual motor keparatnya itu. Ia harus mulai berjalan kaki. Tidak menghasilkan suara. Tidak mengganggu orang bermimpi. Tidur adalah hadiah besar. Tidur adalah ruang pribadi yang mesti diurus dengan sungguh-sungguh dan penuh penghayatan. Tak boleh diganggu.

May percaya itu. May adalah penggemar tidur. Tiga perempat hidupnya dihabiskan untuk tidur. Ia lebih suka merawat tidurnya. Tidur baginya adalah keadaan yang tidak merusak otot tubuh serta lingkungan. Dan mimpi. Mimpi adalah hidup sesungguhnya. Mimpi lebih elastis dan dapat dikontrol sepenuhnya. Aku ingat, May pernah bilang, orang-orang menganggap dirinya pusat semesta tapi May mengaku hanya bisa menjadi pusat semesta ketika berada di dalam mimpi.

Tidak ada yang terluka di dalam mimpi. Tidak pernah ada luka. Semua bisa diulang ketika hal-hal tidak sesuai keinginan.

May sudah menetap dan punya rumah di mimpinya. Rumahnya ada di dekat tebing dekat pasar malam yang buka setiap hari. Katanya ia menjadi orang penting dan mau tinggal di sana seumur hidup. Kadang ia terbangun karena suara klakson mobil boks es krim, kadang suara trompet kertas milik seorang badut yang berkeliling di atas sepeda roda satu, kadang suara ringik kuda, kadang suara simbal pembuka sirkus. Suara-suara itulah yang selalu membangunkan May dari tidurnya. Di dunia nyata, suara itu bisa jadi dering ponsel, piring pecah, petir bulan Desember, denging kue putu depan gang atau suara lirih pacarnya di hotel.

Aku tahu pacarnya. Aku tahu rumahnya. Aku tahu tempat kerjanya. Aku bisa menikamnya di jalan lalu melarutkan tubuhnya dengan cairan asam.

Tapi kata May jangan. Ia adalah kesalahan dan di dunia nyata kesalahan tidak dapat dimundurkan. Tidak seperti di dalam mimpi. Di dunia nyata, kesalahan harus dilanjutkan sebagai kesalahan dalam bentuk apa pun. Dalam perjalanannya, ia akan berubah menjadi baik atau buruk tidak akan mengubah fakta bawah ia adalah kesalahan. Kesalahan tidak dapat berubah menjadi kebenaran. Salah dan benar berbeda dengan baik dan buruk.

Ia adalah cinta pertamanya sementara aku lelaki yang harus May nikahi. Semua pernikahan selalu begitu. Semua orang menikahi orang baru. Sedangkan yang dicintai harus dilupakan.

May mencintai mimpinya, tapi ia harus menghidupi dunia nyata. Ia harus bekerja formal. Seperti manusia normal.

Kita tidak bisa memiliki semuanya. Kita hanya satu dan selalu harus memilih. Pada akhirnya, pilihan kita adalah pilihan yang membuat kita menjadi manusia. Penuh dengan penyesalan, penerimaan, lalu pembiasaan. Tidak boleh ada hidup yang sempurna. Kesempurnaan adalah keserakahan. Dalam kesempurnaan selalu ada yang dikorbankan.

Kita tidak boleh sempurna dengan memiliki semuanya. Dengan begitu kita bisa jadi manusia.

Aku tidak mau. Kata May suatu malam sepulang dari Hotel Katrina.

May adalah kucing jantan. Aku tidak bisa menyamakannya dengan manusia pada umumnya. Sementara aku dan lelaki itu adalah dua ketidakpastian. Kami adalah dualitas gelombang-partikel. Antara mimpi dan nyata, semuanya dapat berada dalam beberapa keadaan secara bersamaan hingga teramati. Mana yang mimpi mana yang nyata. Aku kah atau lelaki itu kah.

May tidur dengan lelaki di Hotel Katrina karena aku juga pernah dengan perempuan lain. May amat membenciku, tapi tetap mempertahankanku.

Lagi-lagi ini adalah tentang balas dendam. Tak ada yang tak dimulai dari balas dendam. Dendam adalah falsafah pertama yang menggerakkan hidup. Dan yang kelak mengakhiri. Gunung itu. Aku lupa dengan gunung yang hampir gumoh itu.

Kota masih diliputi kebingungan dan dendam baru. Semua orang membawa dendamnya masing-masing. Mereka menghidupi dendam itu. Bahkan seorang yang jatuh di aspal lalu hilang ingatan akan segera mencari kesalahan orang. Seluruh tubuh manusia tumbuh dari kesalahan-kesalahan yang disengaja dan yang tak disengaja oleh orang lain.

Kau salah. Kata burung gereja itu. Ia meluncur ke atas pagar. Ada seekor belalang kecil berwarna hijau di sana. Dengan agak buru-buru burung itu mencapitnya lalu memukul-mukulkan paruhnya ke besi. Ia melirik ke arahku. Aku yakin ia sedang tersenyum tapi paruh kaku itu tak bisa membentuknya. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa migrasi ribuan belalang tak pernah menyerang burung gereja.

Tak ada dendam bagi binatang. Katanya. Binatang tak pernah menyimpan dendam. Kita tak punya ingatan jangka panjang. Ingatan itu merusak dan berbahaya. Tanpa ingatan, makhluk hidup akan berlaku secara dasar. Tak ada intervensi. Semua adalah baik adanya. Seperti bayi. Kecuali ingatan panjang. Ingatan pendek adalah ingatan yang merusak dan membuat orang bodoh. Manusia paling merusak pada abad 20 adalah manusia dengan ingatan pendek. Ingatannya hanya 56 tahun ke belakang. Ia tak punya pengalaman panjang selain dari apa yang ia baca. Usia manusia adalah kelemahan. Terlalu pendek bagi makhluk berakal. Akan selalu ada orang yang serampangan karena tahu umurnya tak sampai seratus tahun. Karena itulah tak ada orang jahat. Yang ada adalah orang bodoh atau tidak tahu menahu tentang sesuatu.

Ia tidak punya pengetahuan sepuluh tahun ke depan atau bahkan esok pagi. Ia tidak punya pengetahuan pada kejadian-kejadian ribuan tahun lalu yang pernah terjadi dan tak jauh berbeda. Semua adalah pengulangan yang dikerjakan terus menerus oleh orang-orang bodoh. Sejak manusia ada sampai hari ini, jika semua dikumpulkan, maka ada lebih dari dua triliun manusia dengan jiwanya masing-masing. Dengan kejadiannya masing-masing.

Butuh satu kepompong untuk menghasilkan 300 meter benang sutra. Manusia adalah kepompong-kepompong yang memintal benangnya sendiri sehingga dunia yang kau lihat hari ini adalah hasil kerja semua manusia yang telah mati. Gunung itu akan segera meletus bukan tanpa sebab. Ada campur tangan kakekmu dalam proses pergeseran gerak bumi.

Menjinakkan yang liar adalah kerusakan. Penjinakan ada setelah manusia ada. Tabiat cuaca sejak manusia belum ada adalah menggelepar seringan udara. Yang menggerakkan waktu adalah angin, angin digerakkan laut, laut adalah jam raksasa yang terus menerus membawa gerak ke daratan.

Angin dan permukaan air laut terus bergesek sehingga gelombang tak pernah bisa tenang. Ia bergerak dalam gerakan melingkar. Seperti adonan terigu. Mencampur lapisan air laut dan membawa energi matahari ke dalam sehingga semua yang ada di dalam perut samudera bisa makan. Kerja akbar seluruh alam adalah untuk saling menghidupkan.

Kalau kau masih tak percaya bahwa seluruh alam tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan manusia, apakah manusia bisa hidup tanpa kerja seluruh komponen alam sementara seluruh alam dapat hidup mandiri tanpa keberadaan manusia?

Tetap saja. Seluruh kerja alam adalah sia-sia tanpa keberadaan manusia. Belaku.

Burung itu tak terima. Katanya, bagaimana kau menjelaskan 100 kali lipat kepunahan vegetasi serta hewan di bumi karena manusia? Manusia akan memusnahkan planet ini seperti asteroid. tanpa manusia, bumi akan menyerupai Serengeti modern, sebuah ekosistem Afrika yang penuh dengan kehidupan mamalia besar.  Mereka akan memindahkan benih dan nutrisi melalui makan dan buang air besar. Tanpa manusia, seluruh elemen itu akan lebih merata di seluruh lanskap. Tanah yang subur akan menyebar dan menyebabkan ekosistem menjadi lebih produktif.

Alam semesta adalah mesin raksasa yang terdiri dari bagian-bagiannya yang terpisah. Manusia ada untuk memberi energi kekuasaan padanya. Kemahiran proses dalam mengolah dan mendayagunakan adalah yang terpenting. Belaku lagi.

Kau salah. Alam bukan mesin raksasa pasif. Ia adalah penunjang kehidupan sekaligus adalah kehidupan itu sendiri. Di dalam ekosistem alam mengandung kehidupan itu sendiri atau paling kurang yang memungkinkan kehidupan dapat berlangsung di dalamnya.

Aku tidak bilang alam adalah mesin raksasa pasif. Alam adalah mesin raksasa yang bekerja dalam chaos yang menciptakan pola statis. Alam membutuhkan kontrol, kreativitas, dan komunikasi untuk membawa dan mendorong makna atau tujuan baru untuk menemukan keteraturan dalam keadaan chaos itu. Hanya manusia yang memiliki laku kontrol, kreativitas, dan komunikasi.

Kami akhirnya berdebat. Tampak tidak seimbang dari ukuran, tapi burung itu layak untuk berdebat.

Kau harus melihat ribuan tahun ke belakang, wahai anak manusia yang mengantuk. Ilmu pengetahuan manusia berkembang dengan pola melingkar. Gerak kemajuan linier manusia kini berhenti. Seperti di dalam mimpimu ini. Semuanya berhenti. Selalu terjadi proses titik-balik sejarah yang kompleks. Manusia mulai kembali ke masa lalu dengan memungut kembali puing-puing masa lalu di dalam turbulence dan chaos yang kompleks.

Sekarang orang-orang melukis gambar yang sama dengan coretan tangan manusia purba di gua. Seni mulai kembali kepada bentuk bayinya. Merangkak mencari bentuk-bentuk baru untuk menjadi dewasa. Lukisan abstrak tak berpola makin digandrungi dan lukisan abad 14 dianggap menjiplak lingkungan. Dalam kerja seni serta peradaban akan mencapai puncaknya lalu runtuh dan kembali pada permulaan. Ilmu pengetahuan manusia hanya lingkaran yang tak berkesudahan.

Dalam kemajuannya, manusia hanya menemui permasalahan yang diciptakannya sendiri. Kebutuhan hidupnya adalah kebutuhan yang diciptakannya sendiri. Sejak jutaan tahun yang lalu, seluruh vegetasi dan biota hanya membutuhkan hal yang sama untuk hidup dan memperbanyak hidup.

Gerak kemajuan yang diusahakan oleh manusia hanya akan berputar-putar di tempat yang sama. Mengolah, memperbaiki, mengolah, memperbaiki. Manusia terjebak dalam siklus yang berulang sebab manusia mengganggu ekosistem yang sudah tepat. Alam ini sudah sempurna dan maju semaju-majunya. Dalam pola yang tetap dan seimbang, alam ini dapat menyembuhkan dirinya sendiri dan cukup. Tetap ada masa depan tanpa kemajuan apa pun. Rantai hidup telah erat tanpa campur tangan anak manusia.

Hanya manusia yang harus mengubah kontur alam untuk bertahan hidup. Seluruh perubahan itu mengakibatkan penyesuaian yang akbar dari seluruh rangkaian keseimbangan alam. Jangan salah paham, alam ada bukan untuk dimanfaatkan manusia sebesar-besarnya, tapi alam memang komunitas yang sudah saling membutuhkan dan membantu. Hanya manusia anggota asing yang andil tapi tak membantu. Ialah yang pada akhirnya bergantung.

Satu miliar manusia tinggal di pegunungan dan setengah populasi manusia bergantung pada gunung untuk air tawar. Jagung, kentang, barley, sorgum, tomat, dan apel, adalah vegetasi yang memasok sebagian besar makanan dunia dan semuanya berasal dari pegunungan. Kau tak lebih hebat dari seekor lebah. Tambah burung gereja itu.

Lagi pula apa yang membuatnya kesal padaku. Ia seperti sedang memakiku untuk keseribu kalinya. Barangkali ia sudah pernah menyampaikan protesnya itu pada kakek nenekku, tapi hari ini aku yang berdiri di depannya.

Apabila lebah sampai musnah dari muka bumi, manusia hanya punya waktu 4 tahun untuk bertahan hidup. Dalam mempertahankan spesiesnya, lebah membutuhkan serbuk sari untuk memberi makan bayi-bayi mereka tapi ia membayarnya dengan menjaga keseimbangan alam dan keberlangsungan spesies lain. Kau harus bersikap baik pada lebah.

Tidak. Aku harus bersikap baik pada May. Ia sudah terlanjur membalas dendam. Meski balas dendam itu pada akhirnya ditujukan untuk dirinya sendiri. Ayahnya sudah mati atau sembunyi di antara kekacauan orang-orang di jalan itu. Semua orang hidup dengan pikiran kacau dan acak. Apa yang ayahnya lakukan adalah pikiran acak sehingga naluri hewannya yang menang.

Tapi May juga rindu pada ayahnya dalam satu waktu. Lagi pula apa itu rindu. Rindu hanyalah rasa penasaran. Aku yakin, jika ayahnya muncul tiba-tiba lalu mengetuk pintu rumahnya, May hanya akan beramah-tamah selama dua menit. Selepas itu ia akan mengingat semuanya kembali. Lagi-lagi ingatan itu merusak dan berbahaya. Tanpa ingatan tak ada dendam. Tak ada dendam maka manusia akan menjadi sama dengan tetumbuhan dan hewan.

Bukan maskulinitas dalam bentuk dominasi dan kekuatan fisik milik ayahnya yang ia rindukan, melainkan citra dari tubuh maskulin itu sendiri. Bahkan bukan ayahnya yang sebenarnya ia rindukan. Tapi kelaki-lakian. Pada ayahnya, pada pacarnya di hotel Katrina, dan padaku. Ia menyukai kulit tebal, dada lapang, lengan keras, kumis kasar, serta suara berat laki-laki. Ia membutuhkan itu sebagaimana aku membutuhkan lengan lembek, bibir lunak, dada hangat, dan rambut lurus perempuan.

Tapi May tak pernah mengerti kenapa ibunya selalu mewajarkan perilaku ayahnya. Ia tak pernah tanya padaku. Lagi pula jika kujawab, hanya akan terdengar sebagai pembelaan.

Sejak awal laki-laki dipaksa merepresi emosi yang tidak maskulin dan dipandang sebagai kelemahan. Laki-laki tidak boleh takut, tidak boleh menangis. Laki-laki seperti terhalang untuk bisa mengekspresikan dirinya. Ini yang membuat kami jadi tidak manusiawi.

Pada akhirnya kami ditoleransi untuk marah, menggunakan kekerasan untuk mengekspresikan kemarahan sehingga dianggap wajar. Pria tidak punya ekspresi emosi dan memvalidasinya. Ibunya May sadar itu. Ia mengasihani suaminya sekaligus membencinya dalam satu waktu. Tapi karena ia pernah mencintainya dan ada cukup besar rasa empati, ia tidak punya tenaga untuk membenci. Maylah yang menanggungnya. Ia amat membenci ayahnya.

Saat ini, May telah menguasai dua lelaki sekaligus. Ia merasa telah memenangkan seluruh lelaki di dunia ini. Meski pada kenyataannya, Maylah yang akhirnya bergantung pada kami. Ia sudah terlanjur masuk dalam fase kemelekatan.

Perempuan selalu sulit dipikat dan didapatkan, namun selepas ia merasa telah menguasai lelaki, sebenarnya ia akan seumur hidup bekerja untuk lelaki itu. Tanpa disadari.

Laki-laki tak bisa mengurus dirinya sendiri. Laki-laki tak punya kemampuan untuk melakukan semua hal sekaligus. Laki-laki bahkan tak punya kemampuan untuk menanggung dan menampilkan emosi alami manusia. Laki-laki tak bisa bertahan hidup sendiri dengan layak dan bermartabat. Semuanya akan ditanggung oleh perempuan. May tidak mengetahui itu. Di luar sana, barangkali ayahnya sudah menikah lagi karena tak pecus mengurus rumah atau pakaiannya sendiri. Tapi ibunya masih bertahan hidup sendiri sampai hari ini. Dengan sebelah kaki lumpuh karena jatuh dari bianglala dua puluh tahun lalu.

Perempuan, kata ibunya May suatu hari padaku, selama masih punya tangan walaupun hanya sebelah kanan saja ia masih bisa bertahan hidup. Tapi laki-laki tidak. Bahkan mengurus syahwat saja laki-laki tak mampu.

Bagaimanapun juga, perempuan membutuhkan energi yang besar di luar kemampuan dasarnya untuk mengerjakan visi besar dan mimpi ambisius. Maskulinitas lelaki memberikan energi cuma-cuma untuk melakukan dan berorientasi pada tindakan. Sedangkan, feminin memberikan energi untuk menjadi dan intuisi kreatif.

May memiliki dunia mimpi yang megah dan kreatif. Ia ingin menjadi banyak hal. Ia pernah ingin jadi lumba-lumba, kadang jadi badut sirkus, kadang jadi sebongkah batu di dasar kali. Di dunia nyata, ia ingin membangun penerbitan sendiri, tapi ia tak punya cukup energi untuk bertindak dan melakukan. Itulah kenapa ia menikahiku.

Energi maskulin stabil dan lebih dapat diprediksi. Itulah alasan ia langsung bisa menebak di hari pertama aku bersama perempuan lain di hotel Katrina.

Laki-laki mampu melakukan satu hal dalam waktu yang lama. Pekerjaan robotik dan monoton. Energi maskulin lebih mudah dalam membuat struktur dan aturan, sehingga tahu bagaimana menerapkan logika dengan benar. Sementara May hanya mengikuti intuisi alamiahnya. Energi feminin mengalir dan dinamis. Gerakannya tidak dapat diprediksi. May tidak dapat dibatasi oleh norma-norma sosial karena ia enggan mengikuti aturan apa pun selain bimbingan yang datang dari hatinya.

Bagi laki-laki, bimbingan dari hati amatlah lemah. Laki-laki selalu meragukannya. Laki-laki selalu meragukan dirinya sendiri sebab energi maskulin berasal dari pengetahuan dan kejelasan. Tanpa pengetahuan dan tanpa ingatan yang jelas terhadap sesuatu, laki-laki tidak akan mampu bertahan hidup. Ia akan menjadi makhluk berinsting dasar.

Sebaliknya, May dapat melihat kemungkinan yang tidak terlihat oleh energi maskulin yang terstruktur sehingga ia dapat menciptakan peluang yang bertentangan dengan logika dan yang sebelumnya tidak mungkin.

Mendirikan penerbitan yang idealis itu tidak mungkin. Tidak sebagai mata pencaharian. Tapi May nekat keluar dari penerbitan lamanya. Ia tidak lagi menjadi editor novel penulis industri. Ia sudah sejak 5 tahun lalu mengatakan rencananya itu dan hanya keterpaksaan sajalah yang mampu membuatnya bergerak. Ia tidak menyelesaikan terbitan novel akhir tahun lalu. Ia banyak meninggalkan naskah karena sibuk tidur. Kepala editor mulai capek dengannya. May harus keluar dan mengurus keinginannya. Menciptakan peluang sendiri yang sangat naif dan tak menjual itu.

Buku terbitannya tidak akan laku di pasaran. Ia hanya akan bekerja dengan penulis-penulis rendahan. Penulis yang menulis hanya ketika mendapat ilham. Tak diburu jadwal dan pasar. Semua adalah kehendak pribadi dan artistik. Mereka membicarakan ketidaksetujuan pada hal-hal klise dan memaksakan ide mengawang tentang semua hal. Tapi May suka itu. Harus ada buku yang tidak laku tapi ditulis dengan tangan yang bersih. Tanpa campur tangan selera pasar rendahan.

May punya cerita panjang setiap pagi selepas tidur. Tapi ia tidak pernah mau menuliskannya. Ia tak berani mengerjakannya. Ia hanya ingin menjadi. Menjadi lumba-lumba atau badut sirkus. Ia tak punya cukup energi untuk melakukan.

Pada akhirnya, akulah yang menulis semua itu. May suka bicara. Ia selalu menceritakan apa yang terjadi padanya di mimpi. Aku mengumpulkannya selama ini. Suatu hari nanti, aku akan menerbitkannya. Setelah May tahu siapa Laluba yang selama ini ia cari.

Aku tahu. Laluba yang selama ini ia cari di dalam mimpi adalah dirinya sendiri. Saat tidur, otak manusia masih terus bekerja. Memori yang tersimpan dalam otak berisi harapan, emosi atau kejadian yang pernah terjadi menjadi mimpi. Karena itulah mimpi berisi dua hal saja: harapan atau ketakutan.

Jelas bahwa May sangat mengharapkan pertemuan dengan Laluba itu. Makhluk simbolis di dalam mimpinya. Tapi bisa jadi itu adalah ketakutannya. Ia trauma pada pasar malam terutama bianglala yang telah merenggut kesehatan ibunya. Tapi mimpi May selalu berkutat di dalam pasar malam. Ia takut pada badut, tapi badut sirkus adalah idolanya di dalam mimpi. Bagaimana bisa memori itu terdistorsi di dalam mimpi sehingga menjadi paradoks. Semua serba terbalik.

Tentu saja. Itu mungkin terjadi. Kata burung itu menyela. Di dalam ketakutan selalu ada harapan. Semua orang takut pada kematian tapi selalu ada orang yang berharap pada kematian dengan cara menjaga dirinya tetap dekat dengan kematian. Dengan akrab pada hal yang ditakuti, rasa takut itu akan menjadi lucu belaka. Semua akan terasa biasa saja. Anak-anak kami takut ketinggian tapi setelah dua minggu di sarang, mereka akan didorong induknya atau menjatuhkan diri supaya bisa belajar terbang. Ketinggian berisi ketakutan sekaligus harapan. Pertanyaannya, mimpi ini harapan atau ketakutanmu?

Jelas aku tidak pernah takut pada seekor burung gereja dengan paruh sebesar kuaci itu. Aku takut pada gunung berapi. Gundukan tanah besar itu menyimpan celaka. Tapi aku lebih takut pada orang-orang. Aku ingin mereka diam saja.

Aku selalu ingin menjadi bayangan yang tak terlihat. Seperti anak kecil yang tak dihiraukan. Tidak ikut dalam kerja sosial dan menjadi palsu untuk memenuhi norma yang manusiawi dan normal. Jadi artinya ini adalah mimpi yang berisi harapanku. Dan kehancuran yang masif yang akan segera terjadi setelah suara itu berdecing juga adalah harapanku. Trompet itu akan segera ditiup. Gunung akan merekah seperti roti gandum. Isiannya meleleh turun lalu aspal mendidih di bawah kaki orang-orang. Semuanya akan mati dengan cara yang paling menyiksa. Lebih baik seperti itu. Sebab aku sudah berakhir dan senyum orang-orang itu sangat menyiksaku.

Aku belum memberi tahu May bahwa perempuan di Hotel Katrina itu mati pekan lalu. Ia dicekik seorang lelaki di hotel karena mengaku positif AIDS. Jika bukan lelaki itu yang mencekiknya, pastilah aku yang melakukannya. Dua hari lalu dengan perasaan hancur aku pergi ke rumah sakit dan dinyatakan positif. May tidak tahu. Kami sudah lama tidak berhubungan, artinya May masih sehat. Aku tidak mau membawa May pada mimpi buruk ini. Mimpi May sangatlah berharga dan luar biasa. Ia harus melanjutkannya. Aku tidak mau membawa petaka pada tubuhnya.

Jika aku mengaku, rasa benci May akan lebih masuk akal sebagai alasan untuk meninggalkanku. Lagi pula ia tidak akan menyentuhku lagi, artinya ia akan menceritakan mimpi-mimpinya pada lelaki lain.

Semua sudah berakhir. Aku ingin mencekik orang-orang yang mematung di jalan itu untuk menghapus senyum mereka. Mereka dan seluruh kota ini sudah terlanjur masuk ke dalam kesengsaraan manusia modern.

Manusia itu konyol. Burung itu lagi-lagi menyela. Di seberang gedung bank swasta, jalan tol layang yang baru selesai dibangun ambruk dengan kecepatan yang amat lambat. Seperti bumi kehilangan gaya tariknya. Burung itu tampaknya telah menyelesaikan makan siang berprotein tinggi. Seekor belalang yang entah dia datang karena memang harus datang untuk memberi makan burung itu atau dia dikejar maut dengan mengarahkannya pada kerongkongan seekor burung.

Hanya manusia yang hidup sibuk mempertanyakan makna. Burung itu melanjutkan. Lagi pula memangnya kenapa jika hidup ini sia-sia belaka. Tubuh ringkihmu akan didera ratusan penyakit dan perutmu selalu minta makan. Kau harus bekerja terus menerus setiap hari. Dan ketika tua, tubuhmu makin ringkih dan tak berguna. Makna seperti apa yang manusia cari?

Dalam kerja alam yang saling bahu membahu menjaga keberlangsungannya, vegetasi tak pernah mempertanyakan makna hidup. Mereka hidup selamanya dalam tubuh keturunan-keturunannya. Tanaman berakar-akar serabut tak pernah punya anak. Mereka mengganda dengan tubuh mereka sendiri. Tak ada kematian yang jelas sehingga tak ada makna yang ingin dipahami.

Pikiran bahwa hidup ganjil dan aneh bagi manusia ada karena kemalasan manusia dalam mengerjakan hidup dan keserakahannya untuk menghindari kematian. Umur manusia amatlah pendek sehingga kalian cengeng. Kalian takut pada kematian yang kosong dan memusnahkan semuanya. Manusia berusia seratus tahun masih sangatlah remaja. Sementara vegetasi perdu itu telah berusia jutaan tahun dengan cara memperbanyak dirinya sendiri terus menerus sehingga ia tak pernah mencari pemaknaan apa pun. Hidupnya sudah cukup dan lengkap. Tak pernah berlari ke pada mimpi. Tak pernah bunuh diri.

Burung itu masuk akal. Di luar kenyataan bahwa ia bisa berbicara. Aku akan tetap membunuhnya jika ada kesempatan. Ini mimpiku. Ia pastilah tak benar-benar mati. Ia sudah berusia ribuan tahun. Burung itu adalah burung kesukaan Nabi Sulaiman. Burung yang bertugas langsung padanya sampai hari akhir. Burung itu adalah kepanjangan lidah Nabi Sulaiman. Artinya, aku adalah muridnya. Aku mendengar semua ucapannya dan berguru padanya. Pastilah semua yang dikatakannya benar.

Jadi, bisakah kau mengubahku menjadi umbi-umbian? Aku ingin tinggal tenang di dalam tanah di belakang kebun seorang petani miskin. Tanpa bising suara kendaraan.

Aku tidak lagi peduli pada May. Aku ingin meninggalkan tubuhku yang sakit ini. Jika aku mati sebagai manusia, aku akan segera dilupakan dan seperti tak pernah ada. Mereka akan membuang atau membakar tubuhku dengan perasaan jijik. Dan May akan mengaku tak pernah mengenalku supaya ia tak dijauhi lelaki lain. Dan semua buku yang sedang dan pernah kutulis akan ditumpuk serta diikat kasar oleh pengepul barang bekas. Tak ada yang sempat membacanya. Membaca adalah pekerjaan yang sia-sia, apalagi menulis.

Tapi barangkali setidaknya aku mesti melakukan satu tugas yang berarti. Misalnya mencari ayahnya May lalu menusukkan pensil ke lehernya. Dengan begitu, May tidak akan pernah menunggu atau membenci sosok itu. May akan terbebas. Ia bisa tidur dengan tenang dan menemukan Laluba tanpa ada darah di tangannya. Ia tidak akan menanggung rasa benci ibunya lagi.

Sementara aku. Mimpiku selalu buruk dan sama. Aku akan membusuk di penjara dengan tato burung gereja di dada kiri. Aku akan mati karena sakit dan bosan melakukan aktivitas yang sama selama belasan tahun ke depan.

Tapi setidaknya aku berguna sebagaimana seekor burung yang membunuh seekor belalang sehingga tanaman petani miskin di bawah gunung itu tidak gagal panen dan ia bisa tidur dengan tenang.

*****

*Cerpen ini adalah lanjutan dari cerpen berjudul Lonceng! 1 Februari 2023.

Editor: Moch Aldy MA

Kala Lail
Kala Lail Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email