Narasumber pertamaku adalah seorang narapidana kasus pembunuhan berencana yang akan dieksekusi esok pagi buta. Aku berhasil mengumpulkan keteguhan untuk menemui laki-laki itu, puluhan meter di bawah tanah sana. Perjalanan menuju ke selnya mengingatkanku pada pengalaman memasuki wahana rumah hantu sewaktu study tour kelas enam SD. Aku tak suka. Namun keinginan untuk berbalik arah kutepis dengan niat bahwa aku harus bersikap profesional.
Membuntut di belakang seorang sipir bertubuh gempal, perhatianku tak dapat terhindar dari kondisi sekitar. Ia membuka gembok demi gembok pada tiap lapis pengamanan. Setiap satu pintu besi berderit terbuka, aku seolah masuk satu level lebih dalam menuju alam lain. Melintasi lorong-lorong sempit dan kelokan tiada ujung, menuruni tangga-tangga licin akibat terkena tetesan-tetesan air, ditambah bau tak sedap yang menguar dan memekat dalam spasi pengap ini.
Jika semua hal tadi termasuk pengalaman tidak menyenangkan, maka laki-laki yang kucari adalah pemilik definisi dari keburukan itu sendiri. Sosok itu sedang menghadap ke tembok, memunggungiku dengan tulang bahu kurus yang gemetar. Pakaian hijau-pudarnya compang-camping. Rambutnya putih, kusut tak terawat mirip akar-akar tanaman purba. Ia menghuni sebuah ruangan tiga kali tiga meter yang dibatasi dinding-dinding kotor dan jeruji berkarat. Dengar-dengar, ia sudah mendekam selama setengah abad.
Aku berdeham. Hanya supaya ia menyadari keberadaanku.
Terkejutlah ketika kemudian tatapanku bertemu manik matanya. Aku mengambil dua langkah cepat—mundur. Bagiku apa yang ada di hadapanku kini terlalu menyeramkan. Ada sesuatu di kedalaman mata seorang tua itu. Ya. Semacam kedamaian; sesuatu yang janggal karena tidak berada pada tempatnya. Harus kuingingatkan diriku sendiri bahwa bagaimanapun juga, orang ini adalah seorang pembunuh yang akan dieksekusi esok pagi buta.
Dari jarak yang kurasa cukup aman—aku khawatir kalau-kalau dia akan menyergap dan mencekik leherku dengan rantai borgol di kedua tangannya—aku pun mengajukan sebuah pertanyaan. Tentang arti kebebasan. Sontak, ia tertawa terbahak-bahak. Begitu keras seolah aku baru saja melontarkan guyonan terlucu dekade ini. Jawabnya kemudian, “aku ini bebas! Ahahahah! Aku merdeka! Merdeka sejak dalam pikiran!”
Pak tua ini pasti sudah terlalu lama terisolasi, pikirku. Meskipun ia sempat menyinggung bahwa dirinya dijebak, bahwa ia hanyalah korban sistem hukum negara yang tumpul ke atas namun runcing ke bawah, aku tetap saja sangsi. Aku tak tahu apakah ia berkata jujur ataukah sengaja memoles emosinya sedemikian rupa—seperti film-film kriminal yang biasa kutonton, tentang seorang psikopat yang ahli memanipulasi. Aku beringsut. Takut, sekaligus meragukan jawabannya. Oleh karena itu, aku pun melanjutkan pencarian.
Narasumber keduaku adalah seorang ibu penjual dawet. Tapi aku harus menunggu, sebab kini beliau sedang melayani puluhan orang yang mengerubungi gerobaknya, mulai dari anak-anak hingga orangtua. Semua tak sabar ingin mencecap manis-segarnya campuran tepung beras, gula merah, santan, dan es parut itu, lalu diguyurkan ke kerongkongan yang terasa kering, apalagi kalau cuaca sedang sangat terik begini. Aku duduk di kursi beton tak jauh dari sana dan masih bisa melihat gerakan ibu itu yang begitu cekatan. Ia menuang, lalu membuhul puluhan plastik berisi dawet dengan karet yang sudah dipotong pendek-pendek.
Ketika akhirnya pembeli sudah susut dan beliau mengambil tempat di sebelahku, matahari sudah tergelincir pula di peraduan. Wanita itu tampak lelah.
“Kebebasan?” ulangnya.
Aku mengangguk, sementara ujung penaku sudah bersiap di muka catatan.
“Ya… nanti kalau semua hutang-hutang saya sudah lunas, itu kan rasanya bebas,” ia tertawa, tapi ada getir di sana, “penghasilan sehari-hari gini harusnya bisa saya tabung. Bisa buat lain-lain. Makan yang enak dikit, beli baju, naik haji…”
Kebebasan finansial, aku mencatat.
“Tapi ya, kenyataannya nggak semudah itu, to? Pasti habis duluan buat bayar kontrakan, hutang di sana-sini, cicilan, kebutuhan ini-itu, begitu terus.”
Setelah itu, timbul pertanyaan berikutnya di pikiranku. Apakah uang selalu bisa membeli kebebasan? Kembali ke kasus pak tua yang di penjara itu, kalaupun yang dikatakannya benar bahwa dirinya adalah korban ketidakadilan hukum negara, pasti ia sudah bebas dan tak perlu menderita sakit jiwa jika mampu membayar dengan jumlah fantastis. Sama, seperti yang dilakukan pejabat-pejabat korup yang membunuhi hak-hak rakyat itu. Lalu, apakah uang sama dengan kebebasan? Untuk menggali lebih dalam, aku pun melanjutkan perjalanan.
Narasumber ketigaku adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang teknologi. Kurasa secara pendapatan, ia takkan pernah merasa kekurangan. Gajinya dihitung per jam, dalam dolar. Semua hal yang berkaitan dengan kesejahteraannya sudah dijamin. Ketika kutanyai apa arti kebebasan menurutnya, ia malah mengembuskan napas panjang.
“Saya ingin bebas menemui anak dan istri, keluarga saya,” ujarnya sambil tersenyum, namun lingkar hitam di bawah matanya bercerita tentang sesuatu yang lain.
“Sepuluh tahun sudah saya bekerja di sini. Setiap hari berkutat dengan grafik, angka-angka, bahasa pemrograman. Kalau ada masalah, bisa-bisa harus stand-by berhari-hari. Kadang saya cuma ingin bebas menemani anak saya yang kecil,” laki-laki itu menunjuk ke sebuah foto 4×6 yang ditempel dengan selotip washi di sisi kiri kubikelnya.
“Ini Cattleya. Seharusnya hari ini saya hadir ke sekolah. Ada pertunjukan musikal yang ia mainkan di acara kelulusan. Saya dengar, ia sudah berlatih sepenuh hati untuk itu. Tapi… saya mengingkari janji karena ada setumpuk pekerjaan yang harus saya selesaikan,” nadanya muram.
“Nah!” ia lantas mengagetkanku, “bisakah Anda pergi sekarang kalau memang sudah selesai? Saya harus kerja.”
Aku langsung berdiri dan membungkuk rikuh. Laki-laki itu mengarahkan atensinya kembali ke layar komputer. Di sisi meja, tampak gelas-gelas berjejak kopi yang menjadi saksi pertempurannya. Waktu, aku menulis di catatanku. Kebebasan, berarti memperoleh lebih banyak waktu. Pada kenyataannya, laki-laki itu tak bisa membeli waktu, berapapun uang yang dimilikinya.
Namun jika benar itu adalah arti kebebasan yang sesungguhnya, waktu juga tak bisa memberi rasa bebas pada pak tua di penjara maupun ibu penjual dawet itu. Bagi mereka, lebih banyak waktu bisa saja berarti sengsara lebih lama, alih-alih kebebasan. Jawaban itu tak memuaskanku. Aku pun melanjutkan ke wawancara yang selanjutnya.
Narasumber keempatku adalah seorang mahasiswa. Ketika kudatangi, ia tampak sedang bersantai di depan ruang sekretariat himpunan mahasiswa pecinta alam, menggenjrang-genjreng gitar sambil menyenandungkan sebuah lagu asing. Sepertinya, ia sudah menghidupi kebebasan yang hakiki.
“Ah, nggak juga,” sanggahnya sambil terkekeh, “saya naik-turun gunung, menjelajah tanah-tanah jauh, tetap saja kepikiran skripsi yang belum kelar! Kalau skripsi sudah selesai, baru saya bisa merasakan yang namanya kebebasan. Ahahaha!”
Aku menepuk jidat.
Narasumber kelimaku adalah seorang anak kecil. Kutanyai saja ketika kebetulan ia mendekat ke arahku untuk mengambil layang-layang mininya yang jatuh di dekat kursi taman. Aku penasaran dengan jawabannya sebagai anak kecil yang belum punya beban apa pun—ia tak tahu rasanya dipenjara, terlilit utang, terhimpit jam kerja, maupun dihantui skripsi. Namun ia tak menjawab pertanyaanku. Anak itu hanya tertawa lepas sambil berlari, menerbangkan layangannya lagi. Untuk pertama kalinya, aku merasa kesal karena tak kunjung menemukan jawaban yang bisa menghapus tanda tanya besar di kepalaku. Dari sana, aku memutuskan untuk bertanya pada narasumberku yang selanjutnya.
Narasumber keenamku adalah angin. Saat kutanya, apakah makna kebebasan yang sebenar-benarnya, ia menjawab dengan semilir, menerbangkan layang-layang anak kecil tadi semakin tinggi. Aku berusaha mengejar, namun yang kudapati hanya hela dingin yang meresap ke pori-pori kulitku.
Tak terasa dini hari merebak di muka jendela kamar. Aku tersadar dari kontemplasiku yang amat dalam. Orang-orang yang hadir di imajinasi, di kepalaku, sayangnya belum ada yang mampu mendatangkan inspirasi yang jernih. Aku pun berinisiatif untuk bertanya pada seseorang yang mungkin adalah narasumberku yang terakhir. Semoga, ia bisa diandalkan.
Narasumber ketujuhku adalah diriku sendiri. Aku bertanya tentang arti kebebasan padanya. Lantas aku mengerti. Langsung saja, aku membuka laptop dan menuliskan kata pertama untuk memulai sebuah karya cerita pendek.
***
Editor: Ghufroni An’ars