Cuman mahasiswa kimia gabut yang suka sastra

Tikus Aneh dan Puisi Lainnya

Mohammad Indar Malik Ibrahim

1 min read

Manusia Silver Usia Emas

Kemarin
Aku di dalam mobil mewahku
Melihat anak kecil berbadan silver
Wajah tersenyum ceria
Seakan tak ada beban di hidupnya

Dalam hatiku bagaimana bisa
Padahal di dalam kuliahku tadi pagi saja kudengar dosen berkata
Anak seusianya
Sedang dalam masa emasnya
Menikmati masa kecilnya
Digandeng sepulang sekolah oleh orangtuanya
Bermain dan belajar bersama teman sebayanya

Kudatangi dia
Kusapa dia, kupeluk dia
Dan berdoa semoga ia mendapatkan hidup yang baik setelahnya

Esoknya aku kembali pulang lewat perempatan itu
Dia digelandang aparat
Dalam hati aku bersyukur
Akhirnya ia digandeng orangtua
Dan semoga ia dibawa ke tempat di mana ia bisa bermain dengan teman sebayanya

Aku menutup jendela mobilku sembari tersenyum
Tuhan mengabulkan doaku

Brutu

Hari ini hari bahagiaku
Aku dan temanku memasuki kampus terbaik di kota kami
Kampus impian kita bersama
Semenjak bangku sekolah

Setelah kumendaftar ulang, aku keluar sambil menenteng jas almamaterku
Dalam hati sudah tak sabar untuk menanti hari pertama kuliahku
Lalu kulihat temanku tak membawa jas almamater yang sama denganku
Wajahnya lesu
Dia tidak diterima
Mereka berkata aku tak cukup uang untuk membayar uang pangkalku
Ternyata pintar saja tidak cukup

Aku menghiburnya dengan mengajaknya makan ayam
Setelah makan, aku menyisakan brutu
Dia menanyakan mengapa aku tidak menghabisinya
Akupun berkata bahwa brutu dapat menyebabkan bodoh

Lantas ia mengambil brutu itu dan menghabisinya
Akupun bertanya mengapa ia menghabiskannya
Dia menjawab dengan entengnya
“Sekarang kepintaranku sudah tak berguna lagi.”

Tikus Aneh

Suatu hari rumahku geger
Ternyata dapurku diacak-acak tikus
Kami semua memburunya sampai dapat
Lalu membunuhnya dan membuangnya ke sungai

Di suatu negeri
Ada tikus mengacak-acak dapur
Tapi anehnya tak ada yang memburunya
Ia bebas melintas ke sana & ke mari

Dari Bali sampai Singapura
Tak kunjung mati

Tikus itu aneh
Sekali.

Senyum 17 Senti

Aku memiliki seorang kakek
Ia bekas mantan veteran kemerdekaan
Namun ia sudah pikun
Jangankan untuk mengingat namaku
Untuk mengingat kembali kegiatan sebelumnya saja ia sudah lupa

Saat kecil, aku selalu disuruh senyum
Tak lupa ia mengambil penggaris favoritnya
Untuk mengukur bahwa senyumku pas 17 senti
Dan tak lupa mengajarkanku pekikan:
“Semangat 45!”

Kakekku selalu berkata:
“Senyummu sekarang adalah buah perjuanganku dulu
yang mungkin aku sudah lupa bagaimana caranya.”

Goyang

Setia musim panen tiba
Bapak-bapak bergoyang
Ditemani para biduan dangdut cantik-jelita

Setiap malam
Ibu-ibu paruh baya bergoyang
Ditemani kerlap-kerlip lampu klub yang memecah gulita

Setiap malam
Anak-anak bergoyang di sosial media
Demi mendapatkan seperangkat atensi di jagat yang maya

Kita ini generasi penggoyang rupanya
Tarik dulu
Hahahahahahaha.

Mohammad Indar Malik Ibrahim
Mohammad Indar Malik Ibrahim Cuman mahasiswa kimia gabut yang suka sastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email