Pekerja media yang gemar isu-isu kebudayaan dan humaniora. Kadang-kadang menulis, seringnya membaca.

Para Malaikat dan Keresahan Sebuah Kota

Mochammad Fajar Nur

6 min read

Bayangkan sebuah kota yang kelabu – dengan rantai panjang kisah tentang penaklukan dan heroisme, kini tinggal sebuah serakan resah dan suara-suara yang banyak gamang soal kehidupan. Berlin – di akhir 80-an adalah sebuah kota yang sedang mengalami transisi sejarah, antara harapan dan luka sebuah perang. Mengenai gambaran kota Berlin – Goenawan Mohamad menuliskan dalam Catatan Pinggir-nya yang terbit di Tempo pada 17 April 1993, sebagai: “… bukan cuma sebuah tempat. Berlin adalah sebuah trauma”.

Seorang sineas bernama Wim Wenders, juga mencoba menggambarkan suasana kota Berlin yang tengah risau itu pada karya filmnya yang terbit tepat dua tahun sebelum Tembok Berlin runtuh – “Der Himmel über Berlin” yang kurang lebih berarti, Langit di Atas Berlin atau judul internasional yang dikenal luas sebagai “Wings of Desire”. Pada film ini kita akan melihat Berlin dari sudut pandang lain – sebuah penglihatan dari “yang tak kasat”, para malaikat yang bertugas memenuhi seisi kota Berlin. Wenders mencoba membawa kita menyelami Berlin bukan hanya dari lanskap kota yang megah namun juga dari pikiran dan keresahan para penduduk kota Berlin. Berpusat pada dua malaikat yang bernama Damiel dan Cassiel serta beberapa manusia yang mereka jumpai.

Baca juga:

Saya melihat film ini sebagai sebuah cerita berisi fragmen-fragmen yang mencoba membuat penonton membaca, bukan hanya melihat – berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam kehidupan. Seorang manusia, bernama Homer – seorang professor yang telah ringkih di senjakalanya, namun dihantui dengan sebuah kenangan pada suatu tempat. Seorang manusia, Marion – wanita yang tengah dilema untuk tidak terjebak pada pekerjaanya sebagai pelayan dan menginginkan kestabilan hidup pada sebuah sirkus, namun sayangnya seperti yang ia katakan: “Hal-hal tidak selalu berjalan seperti yang kau sukai” dan sirkus – tempat harapannya bergantung menuju kebangkrutan. Juga berbagai fragmen lain – seperti seorang pengendara motor yang kecelakaan, seorang  Ayah yang berkonflik dengan anaknya, seorang aktor Amerika dan lawan mainnya, seorang pemuda yang ingin melompat dari gedung, dan manusia-manusia Berlin lainnya.

Wings of Desires mencoba menyajikan semua ini dalam sajian hitam-putih ketika kita dibawa melihat Berlin dan penduduknya dari mata para malaikat – dan beberapa kali mengalami transisi pada pewarnaan penuh (full color) ketika sudut pandang penceritaan difokuskan dari tokoh manusia. Seakan-akan Wenders ingin memberi sebuah “pilihan” ketimbang “kesimpulan” pada penontonnya untuk memilih sudut pandang mana yang hendak mereka refleksikan. Hal ini diperkuat ketika pengambilan kamera dari sudut pandang malaikat yang terbang mengelilingi langit kota, mencoba membawa kita pada berbagai sudut Berlin yang megah sekaligus menyimpan berbagai kekelabuan yang menyelubungi. Sebagaimana Chris Venner pada artikelnya berjudul “Personal Identity and Angelic Touch in Wim Wenders’ Wings of Desire” menyebutnya sebagai “angelic camera” – sebuah sudut pandang yang mecoba “mengusahakan persepsi lebih menyadari pada pilihan daripada solusi”.

Beralih dari segi teknis – saya berusaha mengambil sikap reflektif ini pada kehidupan kita yang juga berperan sebagai “manusia perkotaan”, seperti manusia Berlin – sama-sama diliputi berbagai fragmen hidup yang tak hanya terang namun sering kali berhadapan dengan hal-hal yang remang dan merisaukan.

Pada adegan ketika Homer – sang professor tua yang tertatih dalam sebuah perpustakaan kota hendak merenungi tentang kenangan yang menghantuinya – ia dipenuhi pikiran yang keruh pada memorinya: “Itu adalah  tempat yang ramai […] lalu tiba-tiba bendera muncul // […] dan orang-orang tak lagi bersahabat”. Maka muncul Cassiel sang malaikat menemaninya dan menyentuh pundaknya – mengarahkan sebuah suara baru pada persepsi negatifnya, memberinya pilihan untuk terus berjalan dan menemukan tempat yang menghantui kenangannya – “tapi aku takkan menyerah sebelum menemukan Potsdamer Platz” – tekad Homer pada akhirnya, untuk terus berjalan dan terus menemukan apa yang tengah ia cari.

Postdamer Platz mungkin telah tiada – secara fisik ia telah runtuh dan bersatu dengan tanah namun Homer tak mencari sebuah bangunan fisik, ia mencari lokasi di mana ia mampu terhubung dengan “yang di luar diri”— terkoneksi dengan yang ada di dalam hati dan memori, sebuah tempat yang meminjam istilah Pascal – sebagai “space of the heart”. Jika menilik dari sudut pandang Martin Heidegger – sebuah “sentuhan” dari Cassiel sang malaikat pada Homer adalah semacam venture pada dirinya. Istilah ini Heidegger pinjam dari Rilke untuk menjelaskan semacam interaksi dari luar diri (sentuhan Cassiel) kepada subjek (Homer) dan membuat sang subjek di sini akhirnya memberanikan diri menerima sentuhan tersebut sebagai sinyal untuk berani memperluas (extending) kapasitas dirinya. Kita mampu melihat pada akhirnya Homer yang diliputi suara keruh merubah tekadnya lebih jernih, pergi berjalan menemukan kenangannya – Potsdamer Platz yang telah terbangun di hatinya, dengan ini Homer menghendaki venture pada hidupnya.

Dalam tulisannya “What are Poets For?” – Heidegger juga membicarakan soal bagaimana seorang penyair menjadi apa yang ia sebut sebagai sine cura. Hal ini merupakan kondisi ketika seseorang tak lagi bergantung pada “nalar produksi” yang harus selalu gentar pada maksud dan hasil, pada identitas dan tujuan, pada hal-hal lainnya yang membuat seseorang “gagal bebas” dalam menentukan maknanya sendiri. Ketidakhadiran fisik dari Postdamer Platz membuat Homer harus menyambut apa yang ada di dalam hatinya sebagai jejak petualangannya (venture). Dalam hal ini Heidegger (masih meminjam istilah Rilke) menyebutnya sebagai menyambut “the Open” pada diri. Homer berhasil membuat yang “tidak hadir menjadi ada (exist)”. Dengan begini ia melampaui dirinya sendiri. Membuatnya bebas dari identitas dan kepungan ketidakmungkinan – Homer membiarkan dirinya sebagaimana tulis Heidegger: “overflow into the unbounded whole of the Open”. Kondisi di luar nalar produksi yang bebas dari selubung hasil dan kepastian.

Homer menjadi sine cura dalam terminologi Heideggerian, dengan membuka dirinya pada venture untuk terus berjalan tanpa peduli apakah tujuannya masih ada atau telah runtuh, tanpa peduli apakah tempat tersebut hanyalah ilusi pikirannya, tanpa peduli kenapa harus mengunjungi sebuah bekas reruntuhan, ia tak peduli (sine cura). Ia hanya yakin pada sebuah tempat dan memori yang ada di hatinya. Ia terus berjalan – berpetualang, dan terus mencari.

Dengan fragmen cerita Homer di atas, ini makin mempertebal bagaimana Wenders melalui Wings of Desire ingin membuat penonton merenungi kehidupan yang penuh dengan berbagai pilihan dan kemungkinan. Misalnya kita ambil adegan lain ketika, Marion si pemain sirkus yang sedang galau memikirkan nasibnya kedepan antara terus menjadi pelayan atau memilih menggantungkan hidup pada sirkus yang akan bangkrut, bergumam dalam pikirannya yang keruh: “Ini selalu berakhir tepat ketika baru saja dimulai. Memang terlalu bagus untuk menjadi nyata”. Lantas muncul Damiel sang malaikat menyentuhnya dan bersandar mendengar gumam keresahannya – seketika kejernihan muncul dan mengusir pikiran keruh Marion, ia “mendongak […] dunia seakan hadir di depan mataku dan memenuhi hatiku”. Senyum mengembang dari bibir Marion – sentuhan itu mengusir resahnya, memberinya pilihan untuk memandang yang lain, seperti langit atau seekor gajah yang berlatih sirkus. Hal-hal sederhana yang terlewat di sekitarnya.

Sentuhan para malaikat dalam film Wings of Desire seakan-akan mampu mengarahkan suara-suara keruh manusia yang resah dan ingin menyerah. Sentuhan para malaikat seperti memberi pilihan lain pada pikiran keruh manusia, untuk menengok ke arah yang lebih terang dan tak fokus pada satu pilihan yang telah meredup. Contoh lainnya kita bisa melihat dalam adegan seorang pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan. Pada suatu peristiwa di mana akhirnya kita gamang antara maut dan takdir yang harus berlanjut, selalu muncul kesan negatif untuk memandang sebuah akhir. Dalam fragmen ini kesan negatif si pengendara motor, muncul dalam sebuah suara penyesalan: “Aku seharusnya memberitahunya kemarin, bahwa aku menyesal”. Adegan ini seakan-akan mengingatkan saya pada sebuah baris sajak Goenawan Mohamad berjudul – Berlin, 1993:  “Berlin hanya berteriak // hanya berteriak // dalam serak // dan bengis sirine

Dalam keriuhan duka dan suara sirene yang menyala , muncul Damiel sang malaikat, berlutut dan menyentuhnya, lantas sang pengendara motor yang tengah diliputi kesan negatif tentang penyesalan hidup mulai mengingat apa-apa yang telah ia lewati dalam hidupnya. Dalam kepalanya muncul: “The Far East. […] Great Bear Lake. […] Tristan da Cunha Island. […] The old houses of Charlottenburg. […] The spots from the first drops of rain” – muncul sebagai pilihan yang lebih jernih dalam kepalanya untuk dipikirkan dan menghilangkan fokusnya dari terkubur dalam perasaan sesal pada seseorang.

Namun – kehidupan mungkin tak sesederhana itu dalam mengalihkan satu pilihan ke pilihan lain. Sebagaimana kita masih berkubang dalam “nalar produksi” yang Heidegger katakan – kita masih belum mampu dalam menerima petualangan dan menerima “sentuhan” dari luar diri. Masih belum bebas dalam menentukan makna hidup kita sendiri yang masih didikte dengan cara hidup perkotaan yang selalu meminta suatu kejelasan hasil dan solusi.

Mari berpindah pada suatu adegan dalam film Wings of Desire di mana seorang pemuda tengah berdiri di atas sebuah gedung tinggi. Ia berpikir untuk loncat dari atas gedung tersebut – memperhatikan bagaimana kecilnya para manusia dan lalu lintas berjalan di bawah kakinya. Pemuda itu bergumam di pikirannya seakan tanpa emosi apapun dalam nada yang datar: “Aku ingin terbang kapan-kapan. dalam pesawat yang berputar di atas Berlin … sampai jatuh. Pemuda itu menutup telinganya dengan headphone – mungkin mendengarkan lagu, mungkin tak mendengar apapun selain kekecewaan pada hidup – sebagaimana ia tak mendengar orang-orang sekitar yang teriak berusaha menyuruhnya turun. Cassiel sang malaikat buru-buru datang, menyandarkan kepalanya dan menyentuh si pemuda, namun justru pemuda itu bergumam pada akhirnya: “Ah, semua pikiran ini…lebih baik aku tak berpikir lagi” – dan ia melompat dari gedung. Cassiel menjerit tanpa harap.

Dalam hidup – kita tau tak semudah itu mengusir sebuah pikiran yang keruh. Tak semudah itu mendongak pada langit dan berpikir adakah pilihan-pilihan lain yang mungkin mampu kita ambil. Kita tak permah tau akhir nasib si pengendara motor yang sekarat juga bagaimana Marion akhirnya mesti menafkahi hidupnya kelak. Namun sebetulnya bukan berarti pilihan lain itu sama sekali tak ada atau tak tersedia. Seperti adegan pemuda di atas – ada kalanya ketika kita sudah membiarkan dan membatasi diri dari “sentuhan luar” maka kita tak mampu menangkap apapun yang tengah melakukan “sentuhan” pada diri. Memutus pilihan dan kemungkinan.

Memang tak mudah, namun ada kerja yang saling timbal balik antara “sentuhan” dan “yang disentuh” untuk menerima dan berusaha manangkap sinyal ini. Sentuhan yang dalam film ini termanifestasi oleh kerja malaikat mungkin berbentuk lain pada kenyataan hidup. Mungkin berbentuk kesadaran spiritual, mungkin ajakan seorang kawan untuk keluar bersama, mungkin suara orang tua yang mengetuk pintu kamar, mungkin gesekan kucing peliharaan di mata kaki, mungkin suara burung di luar halaman, mungkin suara musik yang menenangkan hati dan banyak kemungkinan lain. Pertanyaanya adalah – bisakah kita menangkap dan menerima segala sentuhan yang datang dari luar diri? mampukah sentuhan ini mengarahkan pikiran kita pada pilihan-pilihan hidup yang lebih jernih dan mampu menghendaki kita pada sebuah petualangan lain? semua jawaban tergantung pada diri masing-masing tampaknya. Namun kita berusaha – seperti si Homer tua.

Terakhir – izinkan saya mengutip sebuah sajak dari Peter Handke seorang penyair pemenang Nobel yang ikut terlibat dalam pembuatan film Wings of Desire, sajaknya yang berjudul “Song of Childhood” menggema berkali-kali dalam narasi film ini seakan-akan bersahutan dan memberi sinyal:

When the child was a child,
it didn’t know that it was a child,
everything was soulful,
and all souls were one.
When the child was a child,
it had no opinion about anything

….

When the child was a child,

It was the time for these questions:

Why am I me, and why not you?

Why am I here, and why not there?

Agaknya pertanyaan di atas jika muncul dari mulut bocah kecil atau cara berpikir mereka yang dipenuhi rasa penasaran namun jernih – akan lebih membawa secercah optimisme. Entah mengapa saya yakin – pertanyaan tersebut berasal dari keinginan untuk mencari jawaban sekaligus menghendaki petualangan. Saya tak merasa ada aroma cerca pada hidup dan fatalisme dari pertanyaan seorang bocah.

Mungkin – terkadang mengistirahatkan diri dari berbagai kegamangan hidup sama artinya dengan mencoba menemukan pilihan lain untuk tidak berfokus pada keresahan saat ini. Kita bisa berpikir jauh ke belakang untuk mengingat pertama kali momen ketika memakan buah apel, menjilat es krim coklat, atau melihat gunung tinggi – menghendaki sesekali diri ini lepas dari rutinitas “manusia kota” yang dibebani oleh berbagai macam tuntutan kepastian dan jalan keluar. Mungkin – menerima pilihan lain juga sama dengan menerima misteri kehidupan. Menerima esok yang gelap selayaknya bocah kecil, yang tak berpikir soal setan apa yang akan memukul tengkuknya esok hari, namun – hanya berpikir tentang tongkat dan sungai yang hendak ia susuri hari ini. Sebuah petualangan yang ia nanti.

Mochammad Fajar Nur
Mochammad Fajar Nur Pekerja media yang gemar isu-isu kebudayaan dan humaniora. Kadang-kadang menulis, seringnya membaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email