Menyukai fiksi & puisi, dan belajar menuliskannya.

Telepon

Diana Rustam

3 min read

Aku ingin memberitahu kepadamu, siang ini aku berdering. Dering yang pantang menyerah untuk mati sebelum dijawab. Sampai-sampai Tuan Palu Kecil yang terbaring di sebelahku, di punggung meja yang datar lagi mengilap ini, ikut bergetar karena deringku yang nyaring.

Dan lihat apa yang aku lakukan sekarang.

“Angkat, dong!” Aku berkata kepada G, laki-laki berwajah bimbang. G memijit keningnya, menggigit jempol tangannya dan menarik napasnya yang mendadak padat dalam rongga paru-paru sejak aku berdering. Tidak lain usaha itu untuk mendorong gelisah supaya menjauh. Tapi aku tahu itu hanya melegakannya sementara.

Kurasa kau akan maklum dengan permintaanku kepada G. Siapa pun ingin nyaman, bukan?

Sejak satu jam lalu aku bergetar, diam dan bergetar lagi. Tetapi G bersikukuh untuk tetap mengabaikanku. Kulihat tangannya bersiap-siap mencabut kabel sambungan telepon, tetapi diurungkan lagi. Saat ini ada kekesalan yang memuncak di wajahnya, entah ia tujukan kepada penelepon atau dirinya sendiri. Sementara aku hanya menerka-nerka dari sedikit yang aku tahu dari masa lalunya.

Dan akan aku ceritakan kepadamu apa yang selanjutnya terjadi.

“Aku akan terus bergetar seperti ini, kalau kau tidak menjawab orang di seberang sana, apa telingamu tidak sakit?” kataku pada G, hampir-hampir habis kesabaran.

Lihat, apa jawaban G padaku, “Kau tahu sendiri, meladeni penelepon itu akan merepotkanku.”

Ketahuilah, sedikit banyak, aku mulai bisa memastikan bahwa kebimbangan G itu berasal dari kejadian lampau yang membuatnya pernah malu, bahkan pada bayangannya sendiri di cermin. Oh, aku bersyukur G masih punya rasa malu pada dirinya, walaupun malu itu tidak berumur panjang sebab arus terlalu deras untuk ia lawan sendirian.

“Menurutmu, aku harus bagaimana?” G menodongku dengan pertanyaan yang sama sekali tidak akan menguntungkan dirinya bila kujawab. Sebagai telepon, aku tentu ingin istirahat dari dering yang panjang dan gelisah ini. Aku ingin G secepatnya mengambil keputusan.

Jadi, mungkin seperti diriku, jika kau berada dalam situasi ini, kau akan bermasa bodoh .

“Katakan iya atau tidak, itu urusanmu,” kataku.

Aku ingin kau tahu bahwa G saat ini berdiri dari kursinya. Ia menimpaliku dari punggungnya, “Terakhir kali aku mengangkat telepon seperti itu, aku sudah menghukum orang yang tidak bersalah.” G menjawabku.

Maaf, aku tertawa kecil, dan agaknya G tersinggung. “Orang-orang itu tahu cacat yang ada pada dirimu, sehingga kau harus selalu tunduk pada mereka.” Aku mengingatkannya pada sesuatu.

Supaya lebih jelas, kuberitahu padamu siapa G: G yang sudah berkeluarga pernah terlibat skandal asmara dengan seorang artis pendatang baru. H tahu persis rahasia itu dan memanfaatkan cela yang ada pada G untuk meluluskan kepentingannya. Aku ingat, H yang seorang pejabat tinggi mendapat masalah karena putranya yang bengal sudah menganiaya kawannya sendiri hingga tewas. Tentu saja H tidak ingin borok itu tercium oleh khalayak dan menjatuhkan nama baiknya. H lantas meminta G untuk memenangkan putranya dalam persidangan, dan menunjuk orang lain sebagai pelaku untuk menggantikan putranya. Saat itu G bagai berdiri di tepi jurang sekaligus di bawah todongan senjata seseorang. Maju atau mundur, G akan tetap menanggung resiko. Namun H menjanjikan upah yang tidak sedikit apabila G bersedia untuk diajak kerja sama. Dengan sangat terpaksa, G menerima tawaran itu untuk menutupi aibnya.

Kau tahu apa yang terjadi pada waktu itu? Setiap kali ia mendengar nama pesakitan yang tidak seharusnya menanggung sakit, G merasa bersalah. Apalagi si Pesakitan diambil dari sembarang tempat yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus putra H untuk dijadikan tumbal di persidangan.

Lihatlah sekarang G menghela napasnya seperti sais menghela kekang kuda. Dan aku berdering lagi. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali. Lalu diam.

Bagaimana menurutmu? Bukankah ini situasi yang menjengkelkan? Seperti denyut sakit gigi yang menyerangmu sepanjang malam.

Aku mendesak G. Aku berkata padanya agar ia tidak terburu-buru mengenali panggilan telepon ini, seperti panggilan telepon tempo itu, sebagai jenis yang ingin menindasnya. Walaupun aku tahu bahwa dering panggilan dari para pelahap kesempatan dalam kesempitan seseorang begitu gencar dan hampir-hampir tidak memberiku ruang untuk bernapas. Apalagi coba, kalau bukan gelisah dan kepanikan yang memicu mereka?

Ah, bahkan dahulu G pernah mendapat telepon yang menurutku seperti aliran sungai, mengalir dari hulu ke hilir. Aku ingin kau menyimak ini baik-baik. Jadi begini: A seorang pengusaha yang ingin memperluas usahanya; membangun kawasan elit untuk orang-orang kaya. Akan tetapi A terkendala pembebasan lahan. Para pemilik lahan, mereka orang-orang kecil yang sudah tinggal di tempat itu sejak nenek moyang, tidak mau melepas tanah mereka barang sejengkal pun, dan menolak iming-iming ganti rugi. Sebab tidak menemukan jalan keluar, A menelepon B kenalannya yang seorang kepala daerah. Kau tahu apa yang dilakukan B? B yang dijanjikan akan dimodali kampanye pemilihan berikutnya oleh A, kemudian menghubungi nomor telepon C. B meminta kepada C yang seorang petinggi keamanan, sekaligus kawan karibnya yang punya hutang budi di masa lalu itu untuk mengerahkan kekuatan guna menakut-nakuti para pemilik lahan. Kau pasti sudah bisa membayangkan dengan apa C kemudian mengiyakan permintaan B. Tepat! Kekacauan meletus. Terjadi bentrok antara oknum-oknum aparat dan orang-orang kecil yang berunjuk rasa meminta keadilan. Beberapa orang-orang kecil dituduh sebagai orang-orang yang membakar semangat perlawanan, mereka ditangkapi satu per satu. Orang-orang kecil itu dianggap sebagai penduduk liar yang telah bertahun-tahun menempati tanah milik negara dan harus digusur. Tetapi orang-orang itu gigih dan melawan dengan cara yang diperbolehkan negara. C melalui siapa pun, D lalu E lalu F,  yang berwenang dan memiliki kuasa mencoba menjadikan orang-orang kecil sebagai pencuri di mata negara. Kurasa kau sudah bisa menebak bahwa F menelepon G untuk menggunakan palunya sebagai langkah mati bagi orang-orang kecil itu. Apabila kau berpikiran demikian, maka itu benar.

Aku ingin kau tahu bahwa sekarang G sangat gelisah. Ia berkata padaku, “Aku tidak perlu mencari tahu siapa yang meneleponku sekarang ini dan apa tujuannya.”

Saat ini tangan kanan G tengah mengambang di udara, ia bersiap mencengkeram sesuatu. Lalu tangannya itu mendarat kepada palu kecil di sampingku. G mengayun palu kecil ke arahku. Namun sebelum palu itu menumbuk wajahku, aku berteriak. “Tunggu dulu! Ada dua jenis orang yang menderingkan telepon seperti denyut sakit gigi itu. Pertama, orang-orang yang ingin memanfaatkanmu dengan intimidasi. Yang kedua adalah, yang mengambil manfaat darimu karena kau menyukainya.”

Kuberitahu kau, bahwa wajah G berubah seketika karena ucapanku. Palu di tangannya berhenti padahal tinggal seruas jari lagi palu itu sudah menghajarku. G meletakkan palu dan dengan sangat berat mengangkat gagang telepon.

Di ujung telepon aku mendengar suara perempuan muda, sepertinya cukup jauh dari usia G. Aku menangkap nada merayu, “Sayang, kulitku agak kering, sepertinya aku harus bergegas ke dokter kecantikan. Dan Oh, ya. Bagaimana mobil yang Mas janjikan kemarin?  Soal rencana pelesiranku ke luar negeri, apakah sudah bisa bulan depan?”

Menurutmu, siapa kira-kira perempuan itu?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Diana Rustam
Diana Rustam Menyukai fiksi & puisi, dan belajar menuliskannya.

Orang Tua

Yoga Mestika Putra Yoga Mestika Putra
3 min read

Api Kecil

Pitrus Puspito Pitrus Puspito
2 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email