Pada tahun 1994 Asperger’s Syndrome masuk ke dalam daftar gangguan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) di American Psychiatric Association. Banyak gejala yang tercantum di sana mirip dengan autisme, tetapi masalah perilaku yang cukup parah dan keterlambatan bicara yang jelas terlihat pada autisme sebelum usia tiga tahun biasanya tidak ada pada Asperger. Orang dengan Sindrom Asperger sering memiliki kecerdasan normal atau bahkan superior; masalah kami terutama adalah dalam berkomunikasi, berpikir, mengambil kesimpulan, dan memecahkan masalah.
Selama beberapa tahun terakhir saya sudah sering diwawancarai atau menulis tentang Asperger’s Syndrome, baik berdasarkan pengamatan hubungan saya dengan para Aspie lain maupun pengalaman diri sendiri. Walau demikian, saya belum bisa menganggap diri saya sebagai seorang ahli dalam sindrom ini. Seorang anak baru bisa divonis menyandang autisme lewat diagnosis oleh psikolog/psikiater.
Dalam kasus saya sendiri, ibu saya dulu khawatir setelah mengetahui ada sesuatu yang salah dengan saya karena pada usia tiga tahun saya tidak dapat berbicara dan kelihatan cuek terhadap dunia luar.
Tingkah laku abnormal bisa membuat anak mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam aktivitas normal. Orangtua yang berpengalaman akan tahu bahwa perilaku anak autis sama sekali di luar ranah variasi normal dalam kepribadian; ada gangguan medis yang nyata. Seorang Aspie, di sisi lain, memiliki perkembangan bicara yang lebih normal dan memungkinkan belajar membaca (bahkan dalam kasus saya, membaca not balok!) pada usia dini.
Anak-anak Aspie mungkin tidak terdeteksi sampai mereka mulai mengalami masalah sosial di sekolahnya. Mereka bisa menjadi “profesor cilik” pada usia empat dan lima tahun, tetapi kemudian menjadi kesepian, dengan sedikit teman. Orang dewasa dengan Asperger bisa menjadi ilmuwan atau seniman brilian hingga pecundang kesepian yang tidak diterima masyarakat. Saya pernah ngobrol dengan psikolog Novita Tandry tentang hal tersebut di acara TV-nya.
Apa sih normal itu?
“Di manakah normalitas berakhir dan ketidaknormalan dimulai? Haruskah orang memandang sindrom Asperger sebagai varian kepribadian yang normal?”
Lawrence Osborne mengutip pertanyaan-pertanyaan di atas dari peneliti autisme Uta Frith dalam bab pertama bukunya American Normal – The Hidden World of Asperger Syndrome. Orborne telah mewawancarai banyak orang dengan sindrom Asperger dalam upaya menjawab pertanyaan provokatif tersebut. Saya sendiri mencoba merangkum sambil menyampaikan opini saya terhadap tulisan Osborne yang keren ini.
Hasil autopsi otak autis, Asperger, dan normal oleh Margaret Bauman dan rekan-rekannya mengungkapkan bahwa baik pada autisme maupun Asperger ada perkembangan cerebellum, amygdala, dan hippocampus yang belum matang. Hal itu bukan kerusakan atau atrofi.
Otak dari orang autis lebih tidak matang dalam perkembangan hippocampus daripada otak Asperger, yang dapat membantu menjelaskan masalah kognisi yang kita lihat pada autisme. Situasinya terbalik untuk amigdala, bagian otak yang memproses emosi. Di sini, otak Asperger sering kali lebih abnormal daripada otak autis.
Bisakah hippocampus yang lebih normal mempertahankan fungsi kognitif pada Asperger, dengan amygdala yang kurang normal menyebabkan masalah sosial? Penegasannya dapat dilihat dari studi pemindaian otak yang menunjukkan bahwa orang dengan Asperger atau autisme memproses informasi emosional secara berbeda daripada para orang normal.
Saya pribadi tidak setuju dengan Lorna Wing, M.D. yang menjelaskan bahwa ciri klinis Asperger adalah kurangnya empati; percakapan yang naif, tidak pantas, sepihak; ketidakmampuan untuk membentuk persahabatan; pidato bertele-tele, berulang-ulang; komunikasi nonverbal yang buruk; minat yang kuat pada mata pelajaran tertentu; dan gerakan yang canggung dan tidak terkoordinasi. Saya memiliki beberapa sifat itu, tetapi tidak semua.
Menulis tentang “Sindrom Geek” di majalah Wired edisi Desember 2001, Steve Silberman menyatakan bahwa autisme dan sindrom Asperger melonjak di antara anak-anak di Silicon Valley. Baron-Cohen dan rekannya Sally Wheelwright telah menemukan jauh lebih banyak insinyur, ilmuwan, dan akuntan daripada rata-rata dalam sejarah keluarga anak-anak autis.
Baron-Cohen memandang varian autisme yang lebih ringan dan Asperger sebagai perbedaan dalam gaya kognitif. Orang normal lebih pandai di “psikologi rakyat” (interaksi sosial), katanya, dan para Aspie tertarik pada “fisika rakyat” (cara kerja hal-hal).
Orang-orang dengan kemampuan hebat di satu bidang sering kali lemah di bidang lain. Einstein memiliki kelainan otak yang menurut beberapa peneliti mendefinisikan kejeniusannya.
Osborne mewawancarai banyak orang dewasa pengidap Asperger, mulai dari Jerry Newport, sejumlah sarjana, hingga mereka yang tidak bahagia dan kesepian yang ditolak masyarakat. Seorang computer programmer di sebuah universitas terobsesi dengan jam dan waktu; dia telah berpindah dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain sampai dia menemukan seorang yang memahami keanehannya dan mengenali bakatnya.
Orang Asperger yang bahagia biasanya (walaupun sebetulnya kurang biasa, sih!) memiliki pekerjaan yang memuaskan secara intelektual di bidang yang diminati dan merupakan keahliannya.
Jika pekerjaan yang membosankan tidak dapat dihindari, hobi yang baik dapat menjadi penyelamat, sebagian karena Asperger dan orang-orang autis yang berfungsi tinggi sering bersosialisasi dengan baik melalui minat yang sama.
“Seiring dengan gagasan tentang kejeniusan yang semakin didiskreditkan di masyarakat luas, konsep itu menjadi semakin medis. Kita mendengar pernyataan: Tidak ada yang namanya jenius; itu tidak ada. Ini adalah sentimen yang menarik bagi gagasan kesetaraan dunia Barat. Kesetaraanlah yang [dipandang] normal, bukan kejeniusan.”
***
Editor: Ghufroni An’ars