Siasat Melawan Stigma pada Orang Madura

Naufalul Ihya Ulumuddin

3 min read

Stigma serampangan melalui carok, begal, dan maling besi terus melekat pada tubuh orang Madura. Tubuh orang Madura seakan telah terinstal stigma sejak lahir. Kasarnya, bayi yang lahir dari rahim orang Madura seakan memiliki potensi sebagai tukang carok, maling besi, dan tukang begal. Mengerikan, bukan?

Bahaya Stigma

Stigma secara konseptual merujuk pada label atau cap negatif yang disematkan pada seseorang (Tyler&Slater, 2018). Sehingga, ketika kata stigma dinarasikan, maka konotoasinya pasti negatif. Label negatif (stigma) ini cenderung mengandung logical fallacy: Hasty Generalization, karena menarik kesimpulan atas suatu peristiwa dari pelaku yang sempit atau tidak memadai. Misalnya, ada tiga orang yang maling besi. Kebetulan salah satu pelakunya orang Madura. Lalu kemudian disimpulkan jika semua orang Madura suka maling besi. Demikianlah cara kerja stigma. Dengan logika cacat itulah stigma atas orang Madura yang tukang carok, maling besi, dan begal dibentuk. Dengan kata lain, stigma merupakan label negatif dengan kerja cacat logika yang terus langgeng melekat pada tubuh orang Madura.

Goffman (1970) dalam buku terkenalnya, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity, menyebut stigma bersifat merusak dan menyebabkan individu berpotensi didiskualifikasi dalam penerimaan orang lain. Stigma lebih berbahaya dari belati. Belati melukai fisik. Lukanya bisa kering dan sembuh. Stigma, melekat melintas generasi. Dalam konteks Madura, stigma carok, maling besi, dan begal sudah ada sejak dulu. Namun, hingga hari ini stigma yang sama masih mengakar keras dilekatkan pada tubuh orang Madura. Kemelekatan yang tak kunjung lepas ini bagai luka yang tak pernah kering. Luka yang tak pernah sembuh dan musykil disembuhkan.

Baca juga:

Lebih dari itu, stigma memiliki bahaya yang lebih canggih. Stigma tidak hanya mengendap tetap seperti luka biasa. Stigma bak luka menjalar yang berpotensi menggerogoti karakter asli yang masih suci. Becker (1966) menjelaskan bahwa label negatif (stigma) yang dilekatkan secara terus menerus dapat menjadi landasan kuat untuk individu melakukan tindakan sesuai label yang diberikan. Misalnya, pasangan yang tidak pernah selingkuh, tetapi selalu distigma tukang selingkuh, akan berpotensi melakukan tindakan selingkuh sungguhan.

Begitu pula dengan stigma pada orang Madura. Ketika ada orang Madura yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan carok, maling besi, dan begal, tetapi terus diberi stigma demikian, maka akan muncul gairah untuk benar-benar melakukan sesuatu sesuai dengan stigma yang dilekatkan. Bahaya!

Barangkali, demikianlah karakter negatif orang Madura tercipta dan terus direproduksi. Artinya, jika benar ada kejadian negatif sesuai dengan stigma yang dilekatkan, bukan berarti karakter orang Madura memang demikian, melainkan itulah cara stigma yang diberikan pada orang Madura bekerja. Stigma bekerja menggerogoti karakter orang Madura yang adiluhung. Dengan kata lain, penghasil orang Madura yang melakukan tindakan kriminal adalah produk dari orang-orang yang tak pernah berhenti memberi stigma pada orang Madura. Maka berhentilah. Dan untuk orang Madura, hanya ada satu kata untuk stigma: Lawan!

Lawan! Begini Caranya

Ada 4 tawaran siasat melawan stigma pada orang Madura. Tawaran ini bersifat runtut. Pertama, melawan dengan cara memahami Madura lebih baik dan kritis. Penting kiranya untuk memahami karakter diri sendiri sebelum mulai berdialog dengan orang lain. Artinya, penting untuk memahami Madura itu sendiri sebelum melawan stigma yang disematkan pada orang Madura. Sebagai orang Madura, mari mulai saling memahami dengan cara dialog dengan pengertian. Mulai diaolog dengan diri sendiri sebagai orang Madura dan dialog dengan orang lain melalui logat khas berbasis cinta kasih. Tak lupa, ditambah dengan memahami orang Madura melalui literatur yang berkembang dari sudut pandang orang Madura itu sendiri, seperti membaca buku Manusia Madura karya Mien Rifai, Islam Madura karya Hefni, Puisi-puisi karya D Zawawi Imron, dan sejenisnya.

Kedua, membangun narasi tanding. Setelah kita memahami identitas diri sebagai orang Madura, maka berikutnya melakukan serangan balik pada stigma yang diberikan. Dalam kajian postkolonialisme, narasi harus dibalas narasi. Orang Madura perlu membangun narasi khasnya sendiri untuk melawan stigma negatif carok, maling besi, dan begal. Misalnya, mendokontruksi narasi carok yang bertendsi negatif, menjadi spirit intelektual positif, seperti carok gagasan. Orang Madura perlu mulai dan terus mendekontruski kepekaan pada besi dalam lanskap geliat kesempatan ekonomi. Bukan maling yang mencuri, melainkan pebisnis cerdik yang menemukan celah untuk perkembangan ekonomi komunitas. Orang Madura perlu mulai membongkar narasi begal sebagai kriminalitas yang tidak ada kaitannya dengan identitas Kemaduraan, melainkan bentuk kriminal umum yang bisa dilakukan siapapun dan diselesaikan secara pencegahan sosial dan hukum pengadilan. Mari, bangun narasi tanding, tretan!

Baca juga:

Ketiga, bukti prestasi. Setelah narasi tanding terhadap stigma yang berkonotasi negatif dibentuk, maka langkah berikutnya adalah pembuktian. Buktikan bahwa orang Madura bededikasi dan berprestasi. Media-media asal Madura perlu ambil peran besar. Prestasi orang Madura harus diberi ruang yang besar untuk viral. Misalnya, ada anak muda Madura berhasil meraih medali emas PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional). Perlu diberi perayaan khusus untuk mempromosikan citra positif orang Madura di hadapan dunia: di hadapan mata pemberi stigma keparat pada orang Madura. Jika perlu, pemberitaan prestasi orang Madura diberitakan setiap hari tanpa henti selama 7 hari 7 malam. Beritakan dari sekian perspektif dan sudut pandang. Getarkan dunia dengan kemantapan orang Madura yang bersinar gemilang prestasi.

Keempat, edukasi sebagai upaya meningkatkan kualitas diri dalam jangka panjang. Cara terakhir ini untuk membangun reproduksi tanding di masa depan. Jika stigma mereproduksi karakter bengis orang Madura secara banal dan serampangan, pendidikan justru memberi nafas panjang untuk melawan dan melumpuh habiskan stigma terhadap orang Madura. Pendidikan akan membawa orang Madura pada perlawanan yang semakin sistematis dan masif terhadap stigma. Pendidikan akan membuat orang Madura secara berkualitas memahami dirinya sebagai orang Madura (cara pertama), membangun narasi tanding (cara kedua), dan membuktikan prestasi (cara ketiga).

Maka, mari melawan stigma dengan berpendidikan dan memusnahkan total stigma terhadap orang Madura!

Bangkitlah, Maduraku. Takbeeeerrrrr!!! (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Naufalul Ihya Ulumuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email