Orangtua macam apa yang menamakan anaknya Setan?
Entah apa yang ada di pikiran Laili ketika pertama kali mendengar tangis anak pertamanya. Tadinya ia telah mempersiapkan nama sejenis Labib, Laura, Lastri, pokoknya apa pun yang diawali huruf L. Tapi, setelah melihat wujud Setan yang masih merah dan merengek itu, sirnalah semua usulan nama dan ia jadikan Setan sebagai pilihan utama.
Adik-adiknya setelah itu bahkan dinyatakan gugur melulu, seakan-akan si sulung enggan membagi bekas kontrakannya untuk ditinggali janin lain. Fenomena ini memunculkan satu pertanyaan di benak warga sekitar: apa yang membuat Laili memutuskan memberi nama anak semata wayangnya ‘Setan’?
“Bapaknya yang memberi nama. Tahu-tahu akta kelahirannya sudah tercetak begitu. Ini anaknya, sudah sepatutnya ia yang memberi nama,” ucap Laili ketika diwawancarai tim kami.
“Mengapa bapaknya memilih nama itu? Apa anak Ibu lahir saat azan Magrib?”
“Lho, memang apa hubungannya nama anak saya dengan waktu Magrib?”
“Ya, namanya aja ‘Setan’, Bu. Siapa lagi makhluk yang keluar pas Magrib?”
Laili meminggirkan mikrofon yang sedari tadi nyaris meninju bibirnya, masuk ke rumah, dan membanting pintu kencang-kencang. Seolah jadi pertanda bahwa sudah saatnya kami angkat kaki.
Tapi, bukan kami namanya kalau menyerah lantaran gertakan satu narasumber. Kami beri waktu Laili dua hari untuk melupakan tampang kami, kemudian pada hari ketiga, kami kembali ngetem di depan rumahnya.
Kali ini, yang keluar rumah bukan Laili, melainkan anaknya, yang—sudah pasti—Setan sendiri.
“Selamat pagi, maaf mengganggu. Kamu Setan, ya?”
“Ada perlu apa, ya?”
“Kalau Nak Setan punya waktu barang semenit-dua menit, kami mau melangsungkan wawancara dengan Nak Setan. Tidak sedikit orang yang penasaran dengan kisah di balik nama pemberian kedua orangtua Nak Setan. Apa Ibu Nak Setan ada di rumah?”
“Ibu lagi kondangan.”
“Baik, kalau begitu, apa Nak Setan bersedia diwawancara tim kami?”
Setan mengangguk menyetujui. Ia mempersilakan kami duduk di sebuah sofa kulit yang kulitnya sudah digerogoti gesekan pantat berulang kali, hingga usia tak lagi kebagian jatah. Ia bilang, mohon tunggu, saya masuk ke dalam sebentar. Kenyataannya, mungkin ada dua puluh menitan, ia baru keluar dan membawa nampan berisi tiga gelas kaca berisi kopi tubruk. Ia menyuruh kami minum dulu, sebelum mulai mengajukan pertanyaan.
Setengah gelas telah tandas, kami lantas melangsungkan maksud kedatangan. “Menurut Anda, mengapa Anda diberi nama Setan?”
“Waduh, saya tidak tahu pasti apa alasannya, ya. Saya tidak pernah bertanya. Ada yang bilang nama adalah sebuah doa, ada pula yang bilang, apalah arti sebuah nama. Jadi, saya bingung juga ungkapan mana yang mendasari alasan orangtua saya.”
“Begitu, ya. Kalau pendapat Anda sendiri bagaimana? Mengapa nama Anda Setan? Mengapa tidak ada unsur lokalnya? Setan kan, kita sama-sama tahu, diambil dari bahasa Arab. Apakah nama Anda merupakan perwujudan perangai Anda sendiri, atau justru berbanding terbalik sama sekali?”
“Mungkin iya, mungkin juga tidak. Anda tidak berpikir pertanyaan semacam itu bias kalau saya sendiri yang menjawab?”
“Lalu, siapa yang punya jawabannya?”
“Bapak saya mungkin punya jawabannya.”
Saya mengerjapkan mata, meski saya merasakan tatapan sang kameramen yang menusuk bahu kiri saya, hendak menciptakan kontak mata dengan saya. Ia menggelengkan kepala. Ini tak ada harapan. Tak menjual. Saya menggeleng demikian halus, agar tidak tertangkap kamera tapi hanya tertangkap sang kameramen. Justru ini kunci sukses larisnya pemberitaan ini. “Di mana Bapak Anda sekarang, Nak Setan? Apa beliau berkenan jika diwawancarai tim kami?”
“Pertanyaan itu juga hanya bisa dijawab bapak saya. Mungkin Kakak-kakak bisa langsung mendatangi beliau.”
“Di mana Bapak Anda sekarang, Nak Setan?”
“Di neraka.”
***
Setan sempat menitipkan salamnya kepada kami, untuk bapaknya. Entah ada di belahan neraka mana bapaknya itu.
Tidak, ini bukan berarti kami lantas merentangkan bendera putih di atas kepala kami.
Seusai dari rumah Setan, kami menyempatkan diri belok ke rumah sejumlah tetangga Setan. Mereka bilang, mereka tidak tahu pasti alasan apa yang membuat Laili yakin menamakan anaknya demikian. Atau di mana sebetulnya keberadaan bapaknya Setan saat ini.
Usut punya usut, menunggu Setan lahir seperti halnya pucuk tidak dicinta, ulam malah tiba. Tahu-tahu perut Laili sudah membengkak, padahal Laili anak rumahan, demikian yang saya kutip dari obrolan tetangga. Berapa kali ia keluar rumah bisa dihitung jari. Menyaksikan penampakan tampangnya seumpama menunggu gerhana matahari terjadi.
Jejak demi jejak menuju jawaban kami dapatkan dari salah satu informan kredibel: Pak RT mengaku pernah melihat seorang lelaki keluar dari rumahnya pada dini hari. Kembali lagi pada petang hari. Bolak-balik seperti setrikaan. Ia asing dengan sosok lelaki itu, merasa itu bukan warganya.
“Kalau memang Bapak merasa asing dan menyaksikan langsung ia bolak-balik ke rumah salah satu warga Bapak, mengapa Bapak tidak langsung menegur lelaki itu? Kan bisa saja ada tindak kejahatan, Pak?”
“Lho, tidak bisa begitu. Kita tidak bisa langsung berspekulasi dan menyimpulkan tanpa bukti begitu. Dan lagi, saya tidak mau ikut campur. Bisa saja itu hanya sebatas masalah keluarga.”
Ada pula tetangga yang meyakini bahwa Laili membuat semacam janji dengan raja setan, kemudian diiming-imingi imbalan yang sepadan. Entah dari mana spekulasi itu mengakar. Hidup Laili boleh dibilang biasa-biasa saja. Tidak ada “imbalan” yang tampak mentereng di rumah Laili. Namun, apa lagi alasan masuk akal bagi seseorang yang secara sukarela menamai anaknya dengan nama semacam itu?
Mencari informasi seputar ayahanda Setan bukan hal gampang, namun justru ini yang menantang. Kami memutuskan untuk mengamati Setan lebih dekat lagi. Karena, siapa lagi yang paling tahu bapaknya selain anaknya sendiri?
Dini hari tanggal 6 Juni, pandangan kami menangkap kedatangan Setan menuju sebuah tempat yang digadang-gadang sebagai ladang dosa. Dari luar sini terdengar suara sorak-sorai menyambut kedatangan Setan. Kami mencoba mendekat, agar dapat memperoleh gambaran secara jelas. Setan tak membalas sapa, lantas menepis kasar botol-botol kaca yang mulanya tertata rapi di atas meja. Puing-puing kaca bertaburan. Dua insan yang mengeksplorasi tubuh satu sama lain dilerai Setan, seakan-akan habis melewati pertengkaran. Kegiatannya diikuti dengan mengacak-acak kartu domino yang sudah menjalar panjang. Membalik semua meja dan kursi yang tidak lagi berpenghuni. Kami menunggu ledakan amarah para pengunjung, namun tak terjadi apa-apa. Mereka tampak memunguti kartu-kartu di kaki mereka, agaknya sudah terbiasa dengan perbuatan Setan. Seolah-olah memang ini yang dilakukannya setiap ia datang.
Tampak kamera terguncang-guncang kencang, membuat saya menoleh. Sang kameramen tengah menggaruk-garuk kepalanya.
Suara langkah kaki terdengar mendekati warung. Kameramen kembali siap siaga.
“Woi, Setan!” Sahut lelaki paruh baya, salah satu pemain gaple. “Kalau mau jadi satpam suci, bukan di sini tempatnya.”
Setan menoleh ke arah sumber suara. Ia timpali dengan senyuman. Namun, tangannya yang sedang memporak-poranda ruangan ini tak seramah seringainya.
“Cari apa sih, di sini?”
“Bapak saya. Kata ibu saya, dia di sini.”
“Sudah cari di balik podium, belum? Atau sudah cari di balik meja perkantoran? Banyak memang bilik-biliknya di situ, tapi kadang ada saja yang nyempil di sana. Mungkin juga sembunyi di rumah-rumah tetangga. Eh, sudah lapor aparat? Biasanya ia menyamar jadi salah satunya.”
Ajakan ibadah berkumandang dari megafon. Musik jedak-jeduk berhenti menonjok pengeras suara. Setan menghentikan aksi vandalismenya, melayangkan botol ke arah kepala bapak tadi. “Kalau bapak saya kemari, tolong kabari.”
Setan keluar dengan tangan dan mata kosong. Rupanya, mungkin saja, setelah kami ungkit perihal bapaknya, ia berniat menemui bapaknya lagi.
“Eh, Setan,” lelaki paruh baya tadi sempoyongan keluar sebelum Setan berlalu, dengan kepala bergelimang darah. “Barangkali bapakmu itu masih di rumah, tidak pernah ke mana-mana. Hanya tidak pernah menampakkan dirinya lagi.”
Setan mengangguk-ngangguk, tampak tidak mendengarkan betul-betul petuah bapak itu. Ia berjalan menuju rumah, melewati sejumlah lelaki yang berjalan ke arah sumber megafon. Botol kaca yang sudah setengah pecah masih setia berada di genggamannya.
Kami tidak lagi memantau Setan. Kami biarkan Setan hilang ditelan fajar. Saya menyeret lengan kameramen untuk menyorot peristiwa di dalam ruangan yang sudah seperti kapal pecah. Gila, beginilah perbuatan Setan. Benar-benar bukan sembarang orang. Tidak ada orang yang sanggup berbuat begini, di tempat seramai ini, dan tidak pula ada satu pun yang berani menghentikan aksinya. Deretan pasal tentu mengantre untuk menjeratnya. Semata-mata mencari bapaknya yang lalai tanggung jawab. Mengapa ia limpahkan kekecewaan atas bapaknya terhadap dunia? Mengapa setelah tuntas membubuhkan nama di akta, sang bapak menganggap impas andil dan perannya dalam mendidik anak? Mengapa? Mengapa?
Deretan mengapa ini menarik untuk diselisik lebih dalam. Kisah nyata tanpa rekayasa ini mungkin akan melewati proses penyuntingan dan sensor yang panjang, namun patut diberitakan. Layak diperbincangkan. Mengapa? Ah, andai saya tahu mengapa. Saya—kami pun ragu setan tahu jawabannya.
***
Editor: Ghufroni An’ars