Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Sekolah Coba-Coba

Femas Anggit Wahyu Nugroho

3 min read

Sepanjang perjalanan dunia pendidikan Indonesia, setiap pergantian menteri membawa gebrakannya sendiri. Namun, beberapa gebrakan tersebut layu sebelum berkembang dan seolah coba-coba saja. Salah satunya adalah upaya pengadaan sekolah dengan label tertentu.

Sedikit ke belakang, terdapat kebijakan Sekolah Penggerak yang kini resmi dihapuskan. Ke belakang lagi, terdapat kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang akhirnya dibatalkan atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai sebagai bentuk liberalisasi pendidikan dan bertentangan dengan UUD 1945.

Upaya pengadaan sekolah dengan label tertentu muncul kembali pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kemensos berupaya mendirikan Sekolah Rakyat, dan Kemendiktisaintek berupaya mendirikan Sekolah Garuda.

Baca juga:

Perbedaannya dengan kebijakan serupa yang pernah ada terlihat jelas. Sekolah Penggerak dan RSBI melabelisasi sekolah-sekolah yang sudah ada, sementara Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda benar-benar diniatkan dibangun dari nol.

Melansir dari berbagai media, Sekolah Rakyat diperuntukkan bagi mereka dengan latar belakang miskin ekstrem. Konsep sekolah ini menyerupai boarding school di mana kebutuhan siswa ditanggung negara sepenuhnya.

Sekolah Garuda merupakan sekolah unggulan di jenjang SMA untuk anak-anak yang pintar dan bertalenta. Salah satu tujuan Sekolah Garuda adalah mempersiapkan siswanya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi top dunia. Konsepnya juga mengadopsi boarding school, dengan guru berkualitas, hingga penggunaan kurikulum internasional yakni International Baccalaureate (IB).

Sekilas Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda tampak memiliki tujuan yang mulia. Mereka yang teramat miskin diberi tangga untuk merangkak naik, dan mereka yang pintar dan bertalenta disediakan ruang untuk berkembang. Namun, kedua jenis sekolah ini justru berpotensi melanggengkan diskriminasi dan ketimpangan.

Pelabelan Sekolah Rakyat sebagai sekolah untuk anak-anak miskin justru mempertegas pengastaan. Mereka ditempatkan dalam satu kelompok sehingga masyarakat lebih mudah untuk mengenali status kelas dan memberi stigma-stigma kepada mereka.

Seharusnya terdapat kajian yang lebih dalam dan komprehensif mengenai Sekolah Rakyat. Terutama dampaknya terhadap psikologi siswa dan sosiologi pendidikan Indonesia ke depannya.

Perlu dipertanyakan pula mengenai urgensi adanya Sekolah Rakyat. Apabila tujuannya untuk memfasilitasi akses pendidikan kepada mereka yang miskin, apakah sekolah-sekolah yang sudah ada dan program seperti Program Indonesia Pintar (PIP) tidak dapat mengakomodasi tujuan tersebut?

Alih-alih langsung mendirikan jenis sekolah baru, pemerintah seharusnya melakukan kajian berbasis kekurangan terlebih dahulu. Perlu dipetakan dengan jelas mengenai populasi dengan kebutuhan jumlah sekolah, sebarannya, mutunya, dan kemudahan aksesnya.  Mana yang kurang, itulah yang diperbaiki.

Mengacu pada Neraca Pendidikan Daerah (2023), jumlah sekolah dengan ruang kelas dalam kondisi kerusakan berat pada jenjang PAUD sebesar 12.617, SD sebesar 121.011, SMP sebesar 27.121, SMA sebesar 10.692, SMK sebesar 5.690, dan SLB sebesar 1.438.

Adapun PIP, faktanya menjadi lahan basah untuk korupsi. Pemberitaan mengenai hal ini dapat dengan mudah ditemukan melalui mesin pencarian.

Berdasarkan data dan fakta yang ada, dalam hal mendasar saja seperti penyediaan kualitas kelas untuk mendukung proses pembelajaran masih banyak yang perlu diperbaiki. Sementara untuk memastikan ketepatsasaran, keefektifan, dan ketertiban program yang bersifat bantuan pun pemerintah masih kalang kabut. Belum lagi persoalan lain yang tentunya lebih kompleks.

Sangat disayangkan, eksekusi kebijakan Sekolah Rakyat seolah menggelinding begitu saja. Sekolah Rakyat telah dinyatakan akan mulai beroperasi pada tahun ajaran baru 2025/2026.

Di sisi lain, Sekolah Garuda dengan label unggulan yang menyasar siswa pintar dan bertalenta lebih berpotensi diisi oleh mereka yang kaya. Hal ini dikarenakan asumsi yang secara umum dapat diterima akal sehat bahwa titik jalan hidup antara mereka yang kaya dan miskin jelas berbeda.

Mereka yang kaya memiliki modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik yang lebih memadai untuk bisa jadi pintar dan bertalenta. Sementara mereka yang miskin apabila ingin pintar dan bertalenta jelas perlu perjuangan yang lebih berdarah-darah.

Baca juga:

Mutu yang tinggi seharusnya terdapat pada setiap sekolah. Pemusatan mutu pada sekolah tertentu, apalagi dengan mendirikan jenis sekolah baru, justru berpotensi menimbulkan eksklusivisme pendidikan.

Pendidikan bermutu tinggi hanya akan dinikmati oleh mereka yang kaya. Akibatnya, peran pendidikan untuk mengubah nasib menjadi tumpul. Mereka yang kaya akan tetap dan semakin kaya, dan mereka yang miskin akan tetap dan semakin miskin.

Dalam konteks seperti itulah, Pierre Bordieu dalam Reproduction in Education, Society, and Culture (1990), mengkritik pendidikan yang semula menjadi sarana mobilitas vertikal justru menjadi sarana reproduksi kelas sosial yang telah ada.

Alih-alih mendirikan sekolah baru dari nol yang jelas lebih menguras biaya dan malah berpotensi menimbulkan eksklusivisme pendidikan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengadakan program persiapan bagi mereka yang potensial dan berminat untuk melanjutkan ke perguruan tinggi top luar negeri.

Program persiapan tersebut dapat diintegrasikan melalui kerja sama antara sekolah-sekolah yang sudah ada dengan konsultan pendidikan luar negeri. Tentunya akses program ini harus mampu menjangkau mereka yang potensial tanpa memandang ras, status sosial, dan ekonomi.

Apabila pemerintah tetap berambisi untuk mendirikan Sekolah Garuda, maka diperlukan jaminan mengenai kiprah lulusannya terhadap negara ini nantinya seperti apa. Pemerintah juga perlu bercermin, apakah telah siap dan sedia untuk mengatur sistem yang mendukung anak negeri yang jempolan itu untuk berkiprah di negaranya sendiri?

Pasalnya, beberapa penerima beasiswa justru tidak pulang ke Indonesia. Selain itu, melansir dari beberapa media, sejak 2019-2022, setidaknya sekitar 1.000 anak negeri memilih menanggalkan kewarganegaraan dan mengabdi kepada negara lain.

Beberapa penyebab fenomena itu tentu buruknya meritokrasi, ekosistem akademik, dan ekosistem riset di negara ini sehingga tidak memungkinkan mereka yang potensial untuk mengembangkan diri dan berkiprah di dalamnya.

Melihat kompleksitas masalah pendidikan saat ini, sebenarnya lebih mendesak untuk menyelesaikan berbagai masalah mendasar sembari memperbaiki apa yang sudah ada daripada terobsesi dengan Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda.

Apabila pemerintah tetap ngotot, pemerintah harus mampu menyediakan kajian mengenai orientasi jangka panjang yang jelas melalui perspektif makro. Artinya, melibatkan pertimbangan secara dialektis antara kebijakan pendidikan dengan kebijakan lain seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sangat disayangkan apabila ternyata ke depannya Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda bernasib sama seperti para pendahulunya yang sekadar menjadi sekolah coba-coba. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 

Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email