Tiada henti orang-orang membicarakan Kiai Zawir. Namun, mereka bukan membicarakan kepiawaiannya bertablig. Bukan juga berbicara soal amal jariah Kiai Zawir yang selalu menuai puji para orang tua. Meski sumbu pembicaraan baru menyala tiga hari yang lalu, api pembicaraan tentang Kiai Zawir telah menyala di setiap sudut kampung. Setiap kerumunan membahas nama Kiai Zawir dalam pembicaraan. Rasa penasaran warga berusaha mencari jawaban melalui cara-cara iseng. Rombongan pelari sengaja mengganti rute lari pagi mereka agar bisa lewat rumah Kiai Zawir. Penjual garam dan gerabah keliling sengaja berhenti di depan kediaman Kiai Zawir lebih lama dari biasanya. Potret-potret rumah Kiai Zawir tersebar di beragam grup WhatsApp. Namun, berita janggal yang dibawa oleh orang-orang nyatanya adalah kenyataan yang mutlak. Kiai Zawir benar-benar memasang patung salib di rumahnya.
Patung seseorang yang mati pada kayu berbentuk salib itu mencuri perhatian orang-orang yang tanpa sengaja atau dengan sengaja lewat. Sebenarnya bukan soal patungnya, melainkan ia yang meletakkan patung itu di rumahnya. Kiai Zawir meletakkan patung salib pada teras rumahnya yang terbuka. Jauh sebelum patung itu dipasang, orang-orang kampung memang terbiasa menoleh ke arah teras rumah Kiai Zawir ketika lewat di depan rumahnya. Biasanya warga akan menyapa beliau yang sedang duduk di teras sambil menartil surah-surah pendek. Jika beruntung, mereka yang kebetulan lewat akan dipanggil oleh Kiai Zawir untuk menerima sedikit rezeki seperti seplastik buah mangga, setoples kurma, atau sepiring garang asem. Ketika anak-anak yang lewat, mereka tidak akan segan memanggil Kiai Zawir layaknya memanggil ayah mereka sendiri. Jika sudah begitu, Kiai Zawir akan memanggil mereka datang untuk ke teras rumah, menyuguh setoples kue ka’ak dan menceritakan dongeng-dongeng dengan sisipan amar makruf nahi mungkar. Kini keberadaan patung itu kian menarik orang-orang untuk terus memasang mata ketika melewati rumah Kiai Zawir.
“Pak RT, Kiai Zawir sudah menemui Anda belum?” tanya penjual gerabah ketika ia sedang berhenti di depan rumah Pak RT Zaenal.
“Lho? Memang ada keperluan apa, Mbak Tari? Sejauh ini beliau tidak ada janji untuk bertemu saya. Tidak mengirim pesan WhatsApp juga,” kata Pak Zaenal sembari terus memilah kendi.
Mbak Tari mendekat ke arah pak RT.
“Bukannya Kiai Zawir hendak pindah agama? Seharusnya beliau sudah menemui Bapak untuk mengurus administrasi KTP,” kata Mbak Tari berbisik, berharap agar tidak ada pembeli yang mendengar ucapannya.
Sebenarnya telinga para pembeli lain sudah mulai siaga menangkap segala informasi ketika si penjual gerabah menyebut nama Kiai Zawir. Dan meski Mbak Tari merasa dirinya telah berbisik, ia tidak pernah sadar bahwa pendengarannya yang mulai berkurang justru membuat suaranya justru lebih lantang. Orang-orang yang tengah mencari kebutuhan gerabah masing-masing bisa mendengar dengan jelas pembicaraan Mbak Tari barusan.
“Astagfirullah! Mbak Tari jangan sembarangan menuduh orang!” bentak Pak Zaenal dengan mata melotot memandang Mbak Tari yang ada di sebelahnya.
Mbak Tari langsung terdiam dan menunduk.
“Ma-maaf, Pak RT. Sa-saya hanya bermaksud memastikan kebenaran omongan orang-orang,” kata Mbak Tari salah tingkah.
Pak Zaenal menghela napas panjang, menyadari bentakannya barusan membuat suasana menjadi kurang menyenangkan.
“Istigfar, Mbak Tari. Istigfar. Jangan berprasangka buruk kepada orang lain,” kata Pak Zaenal sambil kembali memilih kendi yang ia butuhkan.
Mbak Tari hanya menunduk dan terdiam.
“Lagipula, siapa yang menyebarkan berita semacam itu, Mbak Tari? Kiai kita tidak mungkin murtad,” tanya pak Zaenal.
Bu Koso–tetangga Pak Zaenal–mendekat ke arah mereka berdua, menyodorkan sebuah ember plastik dan dua buah gayung kepada Mbak Tari.
“Ya jelas dari semua orang, Pak Zaenal. Lagipula Bapak ini hanya pura-pura tutup mata dan telinga. Muazin kampung kita juga mengatakan hal yang sama. Semua orang sudah tahu kalau Zawir hendak murtad. Salib juga sudah dipasang di teras rumahnya. Bapak pasti sudah melihat salib itu ketika pendataan vaksinasi,” kata Bu Koso dengan nada ketus.
Setelah Mbak Tari menyebutkan jumlah yang harus dibayarkan, Bu Koso menyodorkan uang pas dan langsung beranjak pergi meninggalkan kerumunan. Pak Zaenal hanya terdiam ketika menyadari kini bertambah satu lagi warga desa yang mulai bersikap dingin kepada Kiai Zawir. Bertambah lagi mereka yang tidak lagi menyebut Kiai kebanggaan kampung itu dengan sebutan ‘kiai’. Meski bukan kejadian pertama, dinginnya sikap masyarakat terhadap Kiai Zawir tidak pernah gagal membuat Pak Zaenal terkejut. Meski terdengar bengis, nyatanya mereka yang ditemui selalu bercengkerama di warung kopi tidak kalah zalim dalam hal membicarakan Kiai Zawir. Mereka tidak ragu menyematkan sebutan kiai sesat. Meski gusar, sebagai ketua RT, Pak Zaenal tidak bisa berbuat banyak selain meminta warganya untuk istigfar.
Sesampainya di rumah, Pak Zaenal menyerahkan kendi kepada istrinya yang tengah memasak. Istri pak Zaenal terdiam menatap suaminya, seolah paham bahwa keadaan di luar rumah ternyata tidak kunjung membaik melainkan terjadi sebaliknya. Semenjak berita tentang Kiai Zawir yang memasang salib di teras rumahnya meluas, istri Pak Zaenal selalu menghindari berpergian keluar rumah. Meski alasannya karena seorang komorbid yang menjaga diri dari wabah, orang-orang lebih menganggap penarikan diri Bu RT terjadi lantaran rasa malu yang ditanggung.
Kiai Zawir dan istri Pak Zaenal berkerabat. Kedatangan kiai Zawir di kampung tidak lepas dari peran keluarga pak Zaenal. Setelah meninggalnya mendiang Kiai Soleh, kampung tidak lagi memiliki seorang kiai. Pengajaran di Taman Pendidikan Al Qur’an terbengkalai hingga anak-anak selalu tampak asyik berkerumun sambil bermain gawai dibanding berkerumun untuk mengaji dan belajar membaca Al Qur’an. Selain kehilangan sosok pengajar, kematian Kiai Soleh juga telah merenggut sosok dai bagi para penyelenggara kegiatan dakwah. Melihat kondisi masyarakat yang memprihatinkan karena kekosongan sosok kiai, istri Pak Zaenal menawarkan kerabatnya untuk bekerja di kampungnya. Kiai Zawir kala itu baru saja lulus sekolah agama di perguruan tinggi. Tawaran itu langsung segera disambut baik oleh Kiai Zawir dan ia mulai tinggal di kampung kerabatnya dengan mengontrak rumah petak. Kegiatannya sehari-hari adalah mengajar di madrasah di pagi hari, dan menjadi dai serta perukiah seusai tugas mengajarnya di sekolah berakhir.
Kedatangan Kiai Zawir menuai kenangan baik di hati warga kampung. Wibawa dan keramahan yang ia miliki tidak pernah gagal membuat warga nyaman. Selain disebut sebagai guru yang baik di sekolah, ia selalu ringan tangan membantu orang-orang kampung. Pekerjaannya sebagai perukiah membawa Kiai Zawir bertemu dengan Welas–kembang desa yang akhirnya menjadi istri Kiai Zawir. Welas adalah seorang atlet clay pigeon shooting yang rutin keliling Indonesia dan dunia untuk mengikuti kompetisi. Suatu kali Welas merasa menerima guna-guna dari lawan tandingnya. Mantri kampung tidak menemukan penyakit yang singgah pada Welas, hingga menyarankan agar orang tua Welas menghubungi Kiai Zawir. Usai Kiai Zawir rutin datang ke kediaman Welas untuk membaca zikir, perilaku Welas mulai membaik. Ia tidak lagi merasa diintai bahkan tidak pernah berhalusinasi lagi. Rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuh mulai menghilang. Welas merasa guna-guna yang melekat pada dirinya lenyap. Sejak saat itu hubungan asmara antara Kiai Zawir dan Welas terajut erat.
Seusai keduanya menikah, Welas memutuskan untuk berhenti menjadi atlet dan beralih menjadi ibu rumah tangga. Ia ingin menjadi istri yang selalu ada untuk suaminya, meski Kiai Zawir sendiri tidak pernah melarang Welas melanjutkan karir sebagai atlet. Setelah satu tahun pernikahan, warga kampung diselimuti kebahagiaan usai menerima kabar bahwa Kiai Zawir dan Welas dikaruniai seorang anak perempuan bernama Nur. Anak itu tumbuh dengan sempurna. Berwajah cantik seperti ibunya, taat beribadah seperti ayahnya, dan selalu bersikap baik kepada sesama seperti kedua orangtuanya. Orang-orang di kampung memuji Kiai Zawir dan Welas sebagai orangtua yang berhasil meneladani putrinya dengan kebaikan. Meski tidak menjadi juara kelas, prestasi Nur tetap membanggakan. Terpilihnya Nur sebagai duta bahasa kota mengharumkan nama kampung. Ibu Bupati bahkan menyempatkan diri menyambangi kampung dalam rangka melakukan kampanye sembari memberikan selamat kepada duta bahasa yang baru itu.
Keadaan berbalik hanya empat bulan setelah kedatangan Ibu Bupati. Kiai kebanggan kampung kini menjadi topik cemooh warga kampung. Kampung ini memang bukan kampung yang kental dengan konflik agama. Masyarakat yang tinggal di kampung ini tidak hanya muslim, melainkan juga mereka yang nasrani, bahkan ada pula yang masih melakukan kejawen. Masjid dan gereja bersandingan dan tidak pernah ada masalah yang terjadi. Warga yang memeluk agama Islam selalu menjadi petugas keamanan ketika mereka yang nasrani tengah merayakan ibadah hari besar seperti hari Natal. Begitu juga sebaliknya, mereka yang nasrani selalu menjaga masjid ketika salat Idul fitri. Interaksi warga terjalin tanpa pernah ada persoalan menyangkut agama.
Namun pemasangan salib di rumah Kiai Zawir tetap saja membawa resah di kampung. Bukan hanya membuat resah umat muslim, melainkan juga mereka yang beragama nasrani. Pastor bahkan sampai datang ke rumah Pak Zaenal dengan kabar yang mengejutkan. Sebagai pemuka agama nasrani, ia menyatakan bahwa Kiai Zawir tidak pernah berbicara soal keinginan pindah agama. Gereja sendiri tidak pernah menerima berkas yang menyatakan bahwa beliau ingin menjadi seorang nasrani. Pastor justru bercerita kepada Pak Zaenal bahwa belum lama ini Kiai Zawir datang ke gereja sambil menangis. Ia meminta tolong kepada pastor menyampaikan kepada umat nasrani bahwa Kiai Zawir tidak bermaksud pindah agama. Berdasarkan keterangan dari pastor, peristiwa itu terjadi pada malam hari, di hari pertama ketika patung salib dipasang pada teras rumah Kiai Zawir.
***
“Percuma dia mengajarkan kita tahajud. Dia sendiri sekarang berdoa pakai salib,” kata Umar, seorang pemuda kampung, sambil menerima pesanan kopi hitamnya.
Pak Bagyo pemilik warung kopi menyodorkan kopi hitam dan pisang goreng pesanan para bujangan kampung yang tengah asyik membicarakan Kiai Zawir sejak tadi. Awalnya ia terganggu ketika ada orang yang membicarakan soal Kiai Zawir di warung kopinya. Namun, semuanya menjadi terdengar biasa usai pak Bagyo melihat sendiri patung salib yang terpasang pada teras Kiai Zawir.
“Padahal adik aku itu, Mar, jadi rajin tadarus karena Zawir. Katanya orangnya baik, suka bagi-bagi jajan. Eh, ternyata ajakan murtad terselubung,” kata Fikri.
“Kakek saya juga jadi rajin salat marid karena saran dari Kiai Zawir,” sambung Irwan.
Umar melempar cabai hijau ke mulut Irwan.
“Tolol! Kamu masih panggil dia dengan sebutan kiai? Dia sudah tidak pantas dengan sebutan kiai. Betul, Pak Bagyo?” kata Umar sambil menatap Pak Bagyo yang sibuk mengambil gelas-gelas kosong yang ada di meja sebelah mereka.
Pak Bagyo mengangguk mantap dan menghampiri gerombolan pemuda itu. Umar menggeser posisi duduk agar Pak Bagyo bisa duduk di sebelahnya.
“Bu RT pernah bilang kalau Zawir sejak kecil adalah seorang mustagfir. Katanya sejak kecil sudah berperilaku baik. Seorang mumayiz! Sekarang? Kemarin usulannya ketika rapat RT untuk kerja bakti di masjid pun tidak ada yang peduli. Tidak ada lagi warga yang peduli dengan Zawir,” kata Pak Bagyo.
“Lho, masih berani dia datang ke rapat RT?” tanya Irwan.
“Mereka itu kerabat. Ya jelas Bu RT membela Zawir! Tapi sekarang lihat keadaannya. Bu RT tidak mau keluar rumah. Pasti karena malu mengetahui saudaranya akan murtad. Nikmatnya menjilat ludah sendiri,” kata Umar.
“Yang lebih malu itu pasti Nur sama ibunya. Saking malunya mereka sampai kabur dari rumah,” Fikri menggarami pembicaraan.
Pak Bagyo, Umar, dan Irwan tampak terkejut dengan ucapan Fikri.
“Kabur?” Kamu tahu dari mana, Fik?” tanya Pak Bagyo.
“Jangan sembarangan ngomong kamu, Fik. Bisa-bisa ditembak kamu sama Umi Welas,” kata Umar.
“Kamu, sih, waktu ronda semalam kebanyakan minum ciu, teler jadinya!” bentak Fikri pada Umar.
Umar hanya tergelak sambil meminum kembali kopi hitamnya.
“Baru semalam aku lihat Umi Welas sama Nur lewat gardu kita. Awalnya aku pikir orang lain, eh, ternyata mereka berdua. Jalannya buru-buru sambil membawa koper. Nah, aku panggil mereka. Eh, mereka langsung lari,” kata Fikri.
“Kasihan Nur. Kelakuan bapaknya bikin malu satu keluarga,” kata Umar menggeram.
“Sudah jelas Umi Welas minta talak,” ucap Irwan.
“Lalu Umi Welas dan Nur pindah ke luar kota memulai hidup baru,” kata Fikri menggarami pembicaraan sambil melirik ke arah Umar.
“Tolol! Jangan sembarangan kamu, Fik!” bentak Umar.
Fikri dan Irwan tertawa melihat reaksi sahabatnya.
“Umar pasti jengkel karena gagal pendekatan ke Nur kalau dia pindah kota,” kata Pak Bagyo terkekeh.
Fikri dan Irwan ikut tertawa sambil mengangguk-angguk, membenarkan perkataan Pak Bagyo. Umar hanya bisa berusaha menutupi salah tingkahnya dengan menyantap satu pisang goreng yang ada di piring.
Sepulangnya dari warung kopi, Pak Bagyo menceritakan kabar kepergian Welas dan Nur kepada istrinya. Cerita yang sama disampaikan oleh Umar dan Irwan kepada orangtuanya masing-masing. Berita tersebut juga tersebar luas melalui pesan WhatsApp seseorang yang berjanji untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapapun. Hanya dalam beberapa jam menjelang malam, keesokan harinya topik kepergian Welas dan Nur dari kampung menjadi bahan obrolan baru. Bu RT sampai mematikan gawainya karena tidak kuat menerima pertanyaan dari ibu-ibu yang mengonfirmasi kebenaran akan berita tersebut. Ibu-ibu yang memberanikan diri datang ke rumah Kiai Zawir tidak mendapatkan jawaban. Rumah Kiai Zawir benar-benar membisu tanpa ada orang yang membuka setiap ketuk pintunya. Orang-orang yang terlanjur sampai teras memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil gambar patung salib di teras rumah Kiai Zawir yang dipasang dekat kaligrafi lafaz Allah. Tanpa perlu menunggu waktu lama, foto-foto itu kembali menggemparkan setiap grup WhatsApp.
***
Suara azan subuh para muazin terdengar bersahutan dari masjid terdekat hingga yang jauh jaraknya. Kiai Zawir belum tidur. Sama seperti malam-malam sebelumnya, ia tidak bisa tidur. Kantung matanya kian menebal dan menghitam. Tiba-tiba kokang senapan terdengar usai dirinya menyelesaikan kunut nazilah dan mengucapkan salam. Meski tidak dapat melihatnya, Kiai Zawir dapat merasakan ujung senapan berada sangat dekat dengan pelipis kanannya. Air mata kembali meleleh di pipi Kiai Zawir. Sebuah gawai terjatuh di hadapan Kiai Zawir dengan layar yang menampilkan gambar foto hasil rekam USG. Tangis Kiai Zawir semakin menjadi usai ia memungut dan mengamati layar gawai yang ada di hadapannya.
“Ada kelainan di tubuh bayi dengan indikasi efek samping dari zat kimia obat peluruh,” ucap seseorang dari balik kegelapan.
Seseorang itu melangkah ke depan. Senapan yang sedari tadi ia sodorkan dalam gelap kini sengaja ditekan pada pelipis Kiai Zawir. Ujung besi lonjong yang dingin itu kini menempel pada kulit Kiai Zawir yang basah oleh peluh. Dengan ragu-ragu, Kiai Zawir mendongak menatap wajah yang mulai tampak karena cahaya lampu jalan yang menembus lubang ventilasi kamar. Kiai Zawir telah menemukan wajah Welas, istrinya, dengan tatapan yang masih sama. Dingin, pilu, dan penuh dendam.
Tangis Kiai Zawir kian menjadi dengan erang yang lantang. Welas yang terkejut dengan erangan suaminya, langsung justru menodongkan senapannya ke mulut Kiai Zawir. Ujung senapan itu kini menyumpal mulut Kiai Zawir dan menyamarkan isak tangisnya.
“Jangan berani-berani kamu teriak, laki-laki zalim!” bentak Welas dengan nada meninggi namun masih dengan suara yang lirih.
Kiai Zalim terisak-isak dengan kedua tangan yang menahan ujung senapan agar tidak masuk lebih dalam ke kerongkongannya.
“Aku tidak menyangka, Pak, kamu tega meminta anakmu sendiri untuk menelan obat peluruh kandungan,” kata Welas sambil terus menatap suaminya yang tampak tersedak akibat ujung senapan yang masuk terlalu dalam.
Welas kini menarik senapannya keluar dari mulut, dan menempelkan ujung senapannya yang basah oleh liur ke tengah dahi Kiai Zawir. Suaminya terbatuk-batuk dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Welas hanya diam melihat suaminya yang batuk-batuk dan sesak. Ia kembali menekan ujung senapan pada dahi suaminya hingga bagian belakang kepala Kiai Zawir terantuk ujung dipan.
“Welas…. Istigfar Welas. Aku…, aku khilaf. Sampaikan kekhilafanku pada Nur. Aku, aku akan bertanggung jawab atas anak itu, Welas!” kata Kiai Zawir terisak.
“Jangan kamu beri noda pada kata-kata itu, Pak. Kamu sudah tidak layak mengucapkannya. Seorang ayah yang menghamili anaknya tidak pantas mengucapkan khilaf. Ini zalim!” kata Welas sambil terus menekan senapan pada dahi Kiai Zawir.
“Kalau begitu bunuh saja aku, Las! Aku sudah tidak sanggup mengikuti permintaanmu. Kamu memaksaku memasang patung salib di teras rumah. Semua ini menimbulkan prasangka, Las. Kamu tidak kasihan dengan pastor dan mereka yang nasrani dituduh melakukan kristenisasi? Ibu Theresia tetangga kita sampai pindah rumah karena dianggap warga mengajarkanku menjadi seorang nasrani,” kata Kiai Zawir.
“Lalu mengapa kamu memerkosa dan menghamili anakmu sendiri? Aku hanya memintamu mengingatkan Nur agar dia cukup berteman dengan kawan laki-lakinya yang nasrani. Aku tidak memintamu menghamilinya,” kata Welas.
Kiai Zawir kini menunduk tanpa berani menatap mata istrinya. Bagaimanapun, perempuan yang di depannya kini dapat dengan mudah melenyapkan nyawa tanpa perlu diminta. Welas cukup menarik pelatuk senapannya sebelum sebutir peluru melubangi kepala Kiai Zawir. Sesal terbesit di kepala Kiai Zawir karena mengizinkan istrinya masih menyimpan senapan yang dulu digunakan semasa menjadi atlet clay pigeon shooting.
“Kamu tidak memberiku pilihan, Las. Apa gunanya kamu menyembunyikan aib jika kamu memaksaku memasang salib? Orang-orang tetap akan membenciku,” kata Kiai Zawir pelan.
Kepala Kiai Zawir terus menunduk tanpa berani memandang wajah istrinya. Welas kini mengambil posisi berlutut sambil terus menekan senapan pada dahi suaminya.
“Demikian juga kamu, Pak. Kamu tidak memberi kami pilihan. Kamu bertanggung jawab atau tidak, bayi ini digugurkan atau dibiarkan hidup, Nur tetap harus mengingat wajah berahimu ketika kamu melucuti pakaiannya dengan paksa. Penderitaan akan tetap menjerat keturunanmu meski kamu telah mati di tanganku. Dan aku tetap harus menghadapi kenyataan bahwa suamiku adalah seorang pemerkosa, bahkan tega memerkosa anaknya sendiri sampai hamil. Jika semua orang tahu kenyataan ini, orang tidak lagi membicarakanmu. Mereka akan dengan senang hati mengantre untuk membunuhmu,”
Tidak ada pilihan lain. Istrinya benar. Jika sampai semua orang di kampung tahu bahwa Nur hamil karena diperkosa oleh ayahnya sendiri, hidupnya justru semakin terancam. Baginya yang paling penting untuk saat ini adalah Nur anaknya telah dipindahkan dari kampung, dan perbuatan keji ini tidak sampai terdengar oleh warga di kampung. Kiai Zawir tidak ingin mencoreng nama keluarga Pak Zaenal dengan predikat seorang pemerkosa yang tega menghamili anaknya sendiri. Kesepakatan istrinya dan Nur untuk tutup mulut, bagi Kiai Zawir adalah rezeki yang harus ia terima meski harus dengan konsekuensi yang tidak kalah pahit.
“Sekarang apa maumu, Las?” tanya Kiai Zawir putus asa.
“Daging di tubuh Nur telah berkembang. Mulai hari ini hingga hari kelahirannya, aku memintamu menjual daging babi di halaman rumah,” kata Welas.
Kiai Zawir yang sedari tadi menunduk, kini mengangkat kepala untuk mengamati wajah istrinya. Telinganya masih meragukan perintah yang baru saja didengarnya. Namun mata istrinya tetap sama. Dingin, pilu, dan penuh dendam. Perintah ini mutlak. Jika ia tidak mematuhi perintah istrinya, maka semua orang akan mengetahui bahwa dirinya adalah seorang pemerkosa. Semua orang akan tahu bahwa Nur pergi dari kampung karena diperkosa oleh ayahnya yang adalah seorang kiai. Perlahan air mata Kiai Zawir mulai kembali membasahi pipinya. Welas melangkah meninggalkan suaminya yang masih menangis dalam kamar temaram.
***
Madiun, 18 Februari 2022