Saat Kita Menyadari Alam Bukanlah Pelayan Manusia

sajad Khawarismi

2 min read

Banjir besar di Sumatra dan kekeringan parah di Nusa Tenggara bukan lagi sekadar peristiwa alam, melainkan sebuah protes. Selama ini, kita memperlakukan alam sebagai pelayan yang patuh gudang “sumber daya” yang tak terbatas untuk kita kuasai. Ketika batasnya dilampaui, ia merespons dengan kekuatan yang menggentarkan sebagai koreksi atas cara pandang kita yang keliru. Kita lupa bahwa alam adalah sistem hidup yang kompleks, bukan mesin bisu.

Namun, dampak dari protes ini tidaklah adil. Di Indonesia, petani kecil, nelayan, dan masyarakat adat kelompok yang paling sedikit menyumbang kerusakan justru paling menderita. Kebijakan dan hukum yang bias telah mengubah “sumber hidup” mereka (hutan, sungai, tanah) menjadi sekadar “sumber daya” untuk proyek-proyek ekstraktif besar. Logika kebijakan yang merendahkan alam ini difasilitasi oleh hukum, dipercepat oleh oligarki, dan akhirnya menjadikan masyarakat struktur paling bawah sebagai penyangga krisis ekologis.

Logika Kebijakan yang Mendehumanisasi Alam

Paradigma pembangunan kita masih bertumpu pada logika ekstraktif yang mereduksi alam menjadi angka dan komoditas. Dalam dokumen perencanaan, hutan disebut “lahan tidur”, sungai jadi “potensi listrik”, dan tanah dilihat sebagai “aset produktif”. Logika ini mengabaikan hubungan intrinsik manusia dengan lingkungan. Alam dianggap objek pasif yang harus “patuh” pada target ekonomi, bukan subjek kehidupan yang menopang kita.

Baca juga:

Akibatnya, bencana menjadi hal yang dinormalisasi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan pola mengkhawatirkan: hingga November 2025, banjir menyumbang 49,42% dari total kejadian bencana di Indonesia. Angka besar ini sering dianggap konsekuensi “wajar” musim hujan, bukan alarm kegagalan tata kelola lingkungan. Kebijakan tata ruang dan perizinan kerap mengabaikan daya dukung ekologis, justru mempermudah alih fungsi lahan yang memicu siklus bencana berulang.

Lebih parah, kerangka hukum yang ada sering mengukuhkan pandangan bias ini. Pasal-pasal dalam UU sektoral (kehutanan, pertambangan) dapat dengan mudah dikriminalisasi. Masyarakat yang mempertahankan lahannya dari perusahaan sering dianggap “mengganggu usaha”. Dalam konflik, hukum kerap berpihak pada pemegang izin yang menguasai “sumber daya”, bukan warga yang mempertahankan “sumber hidup”. Hukum pun berfungsi sebagai alat legitimasi penguasaan sumber daya oleh segelintir pihak.

Meja Hijau dan Konflik Agraria

Kekaburan hukum menjadi senjata ampuh dalam konflik agraria yang melibatkan oligarki jaringan kekuatan yang mengonsolidasi sumber daya ekonomi-politik untuk kepentingannya. Kelompok ini memanfaatkan rezim perizinan untuk mengakumulasi konsesi luas, mengubah lanskap hidup menjadi monokultur dan tambang. Kasus petani di Ketapang, Kalimantan Barat, yang dilaporkan polisi oleh perusahaan perkebunan, adalah contoh bagaimana mekanisme hukum dibelokkan untuk melindungi kepentingan korporasi.

Pertarungan di Mahkamah Konstitusi memperlihatkan tarik-ulur antara kepentingan publik dan modal. Masyarakat sipil berjuang untuk hak lingkungan dan partisipasi, sementara korporasi aktif menggunakan judicial review untuk melindungi kepentingan ekonominya. Ruang hukum menjadi medan pertempuran tidak setara, di mana sumber daya dan pengaruh politik sering menentukan akhir cerita. Laporan Ombudsman tentang pengawasan perizinan yang lemah dan temuan izin tumpang tindih dengan wilayah kelola rakyat mengukuhkan kerentanan sistem.

Terjadi pemisahan tragis antara “sumber daya” dan “sumber hidup”. Apa yang bagi korporasi adalah aset di laporan keuangan, bagi warga adalah kehidupan nyata: kebun sayur untuk makan, hutan sumber obat, laut tempat mencari ikan. Ketika “sumber daya” diekstraksi habis, “sumber hidup” punah. Masyarakat yang sebelumnya mandiri terpaksa menjadi buruh harian atau meninggalkan kampung halaman. Proses ini secara sistematis memindahkan kedaulatan pangan dan ekonomi dari banyak orang ke segelintir konglomerat.

Dampak Struktural pada Masyarakat Rentan

Dampak sistem ini bersifat struktural dan paling keras menghantam masyarakat termiskin dan paling rentan. Mereka menjadi penyangga utama yang menahan dampak pertama setiap krisis ekologis. Data berbagai bencana selalu menunjukkan pola sama: kelompok inilah yang paling lama terdampak, paling sulit pulih, dan paling rentan jatuh miskin. Mereka kehilangan akses terhadap basis penghidupan tanpa cadangan modal atau jaring pengaman sosial yang memadai.

Baca juga:

Sektor pertanian skala kecil, tulang punggung kehidupan akar rumput, berada di garis depan paling rentan. Perubahan iklim yang diperparah model ekonomi ekstraktif menyebabkan gangguan pola musim parah dan cuaca ekstrem. Sebuah studi Bank Dunia memproyeksikan bahwa tanpa adaptasi memadai, pendapatan rumah tangga petani berisiko turun 9-25% pada 2045. Petani kecil, yang bukan pelaku utama deforestasi, justru menanggung kerugian ekonomi langsung tidak proporsional.

Menyadari bahwa “bumi bukanlah pelayan yang patuh” mengharuskan refleksi dan evaluasi atas cara kita memberlakukan alam sebaik mungkin. Ini adalah panggilan mendesak untuk mengembalikan makna tanah dan alam sebagai “sumber hidup” yang dihormati, bukan sekadar “sumber daya” yang dieksploitasi habis. Masa depan kita bergantung pada keberanian menata ulang hubungan dengan alam dari eksploitatif satu arah yang melayani segelintir elit, menjadi hubungan timbal balik yang adil dan berkelanjutan bagi semua, terutama yang paling rentan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

sajad Khawarismi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email