Saat ini tengah menimba bidang ilmu Sastra Inggris di kota yang tidak ia sukai sama sekali.

Rantai Perlawanan Perempuan: Dari Jeanne d’Arc hingga Nek Awe

Ifan Reynaldi Yz.

3 min read

Saya tidak perlu berandai-andai bagaimana jadinya jika Joan of Arc (Jeanne d’Arc) tidak dibakar hidup-hidup di alun-alun Rouen pada tahun 1431. Juga tidak perlu membayangkan ia menua dengan luka-luka perang yang membatu. Karena, pada 27 Desember 2024, dalam kunjungan Aliansi Mahasiswa Se-Kota Batam ke Pulau Rempang, saya seolah menemukan kembali semangat Joan dalam sosok perempuan sepuh: Siti Hawa (67), atau yang akrab dipanggil Nek Awe.

Ia memang tidak mengenakan zirah besi melainkan gamis panjang  yang warnanya dapat dikatakan perlahan memudar. Namun, dari keteguhannya bercerita, menolak angkat kaki dari tanahnya, semangat itu tidak dapat saya bedakan dengan keberanian Joan semasa memimpin Perang Seratus Tahun. Nek Awe, juga menunjukkan rontgen pergelangan tangannya yang patah kepada kami, akibat bentrok dengan pihak PT MEG. Maka saya mengartikan, misalnya, luka-luka Joan di medan perang juga tengah dirasakan oleh Nek Awe di umurnya yang kini telah sepuh.

Dengan mengenal Joan dalam literatur, dan melihat semangat Nek Awe secara langsung, saya mendapat benang merah akan suatu tradisi panjang, di mana perempuan-perempuan dari berbagai zaman kerap menegakkan keadilan atas tanah dan kehidupan. Maka dalam tulisan ini saya, pendengar cerita, akan menggali kisah itu dari akar matrilineal dan ekofeminis, hingga para tokoh dunia (Hildegard von Bingen, Jeanne d’Arc, Lady Mary Wroth), untuk menegaskan bahwa perempuan memang penjaga keberlangsungan hidup di muka bumi.

Kedekatan Kosmis dan Historis antara Perempuan dan Tanah

Dalam budaya tradisional, perempuan memegang posisi sentral terkait tanah warisan dan rumah tangga, misalnya, masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana rumah pusaka (rumah gadang), tanah ulayat (komunal), dan harta pusaka diwariskan melalui garis ibu. Perempuan Minangkabau “pemegang otoritas sebagai penentu, yang mempunyai rumah gadang, tanah ulayat, gala sako (harta nikah),” sedangkan laki-laki hanya diberikan hak pakai. Ungkapan adat Minangkabau, misalnya, menyatakan perempuan “harus menjaga marwah kampung halaman, pandai menata dan menghadirkan kebahagiaan di rumah tangga”. Gambaran ini menunjukkan betapa perempuan dipandang sebagai penjaga nilai, tatanan komunitas, termasuk pengelolaan sumber daya alamnya.

Baca juga:

Secara filosofis, relasi perempuan dan alam banyak dituangkan pada konsep “Ibu Pertiwi,” atau kesuburan bumi. Dalam perspektif ekofeminis sendiri, kedekatan antara perempuan dan bumi bukanlah kebetulan. Sama halnya dinyatakan Abby Gina Boang Manalu (Jurnal Perempuan) dalam diskusi ekofeminisme, bahwa, alam dan non-manusia harus dipandang sebagai subjek moral, bukan hanya objek belaka, sehingga, “terdapat relasi langsung antara penindasan terhadap alam dan perempuan, maka pembebasan keduanya harus dilakukan bersamaan”. Abby menggarisbawahi bahwa, ekofeminisme menawarkan perspektif non-linear yang menghargai proses organik, interkoneksi manusia-alam, dan penekanan kolaborasi sosial.

Dalam praktik sehari-hari, kearifan lokal perempuan memancarkan nilai ekofeminis ini. Di berbagai kelompok masyarakat adat yang, misalnya, perempuan menjadi penjaga benih, pemelihara lingkungan desa, dan penjaga ramah-tamah alam. Aktivis dan akademisi juga mencatat fenomena ‘viriditas’ (ke-hijauan), diperkenalkan mistikus abad pertengahan, Hildegard von Bingen, sebagai kekuatan hidup kosmis yang menghubungkan perempuan dan alam. Dengan kata lain, perempuan diidentikkan sebagai “bintang paling hijau” bumi. Mereka diharapkan untuk merawat tanah seperti merawat keluarga sendiri. Dan perlawanan perempuan atas pengrusakan alam tersebut tidak terlepas dari perjuangan mereka menuntut keadilan gender, juga mengembalikan tata kelola berkelanjutan berbasis komunitas.

Dari Hildegard ke Nek Awe: Narasi Juang Perempuan Lintas Zaman

Sejarah mencatat berbagai tokoh perempuan yang melawan ketidakadilan zamannya, misalnya, Hildegard von Bingen (1098 – 1179), seorang biarawati Jerman, juga sungguh layak dikatakan seorang visioner. Hildegard, sebagai seorang polymath: mendalami filsafat, musik, pertanian obat, hingga sejarah alam. Ia menolak ditaklukkan hierarki patriarkal Gereja dan aktif menciptakan karya-karya orisinil, kitab-kitab penglihatan, kitab-kitab musik religius, serta risalah medis. Konsepnya tentang viriditas yang, misalnya, menggambarkan alam sebagai kekuatan hidup kosmik.  Sebagai seorang biarawati penerima gelar Doktor Gereja dan santo pelindung musik, warisan-warisan Hildegard membuktikan bahwa perempuan, sejak masa lampau, adalah penjaga budaya alam dan ilmu pengetahuan.

Di akhir Abad Pertengahan, lahir sosok Joan of Arc (1412–1431), gadis petani Prancis yang menentang norma gender militer. Joan merasa dipilih Tuhan untuk memimpin Prancis dalam Perang Seratus Tahun, sehingga dengan gagah ia mendobrak pasukan Inggris dan mengangkat pangeran Charles menjadi Raja Charles VI. Meski tanpa pelatihan tempur, keberanian Joan di medan Orleans (1429) menjadikannya seorang legenda. Rekan-rekan perang mengisahkan bagaimana ia berjasa menebus kehormatan bangsanya, hingga ia ditangkap musuh, dituduh penyihir, dan dibakar hidup-hidup pada usia 19 tahun. Kemudian Joan diangkat sebagai santo pelindung Prancis dan simbol perempuan pejuang, dan hingga kini ia tetap dikenang dalam sejarah dan kebudayaan Perancis.

Beberapa abad setelahnya, Lady Mary Wroth (1587–c.1651), penyair bangsawan Inggris, menolak tunduk pada tata krama Elizabethan yang membungkam perasaan perempuan. Dalam Pamphilia to Amphilanthus, Wroth membongkar mekanisme kekuasaan yang bersembunyi dalam bentuk harapan, maksud saya, Soneta ke-35, “False hope which feeds but to destroy,” menelanjangi sistem patriarki dan kekuasaan monarkis yang memanipulasi harapan demi keuntungan sendiri, misalnya, “So Tyrants do who falsely ruling earth,” pengandaian ini mengikat antara pengalaman batin perempuan dan struktur tirani sosial-politik. Melalui bait-baitnya, Wroth menolak menjadi pion dari narasi besar lelaki bahkan, sebut saja, mengambil alih papan permainannya.

Dewasa ini, perjuangan Nek Awe dan perempuan-perempuan Rempang adalah kelanjutan nyata dari narasi-narasi tersebut. Sejak mula konflik agraria Rempang (2023) mereka kerap memimpin aksi-aksi protes dan pengawalan posko penolakan. Misalnya juga, saat polisi menjemput salah satu tokoh masyarakat; ibu-ibu Rempang langsung mendatangi lokasi dan mengecam kebijakan yang memaksa relokasi.

Baca juga:

Nek Awe telah menjadi ikon perjuangan itu karena sejak awal vokal menolak PSN. Ia dijerat tuduhan dan disidang, namun, “Nenek tetap berjuang… tetap pertahankan tanah leluhur nenek moyang kami ini,” tegasnya. Hingga pada pertemuan dengar pendapat Komisi VI DPR RI (28 April 2025), terungkap bahwa proyek Rempang Eco City akhirnya dibatalkan.

Gerakan perempuan Rempang, dari umur sepuh, ibu-ibu, hingga pemudinya, memperlihatkan kesinambungan antara tanggung jawab ekologis perempuan dan pelestarian tanah adat, atau kembali menunjukkan, bahwa pola perlawanan perempuan terus terulang serupa era Hildegard, Joan of Arc, ataupun Lady Mary Wroth. Perlawanan-perlawanan ini menegaskan bahwa “perempuan berdaya” bukan hanya sekadar slogan retorika, karena dalam banyak kasus, misalnya, perempuanlah yang memimpin gerakan adil lingkungan, mengorganisasi warga, dan memastikan warisan ekologis tetap terjaga.

Seperti Joan yang membela tanah Prancis dari jajahan Inggris, Nek Awe berdiri di barisan terdepan menolak relokasi paksa dan peminggiran budaya leluhur. Ataupun, dengan kata lain, mulai dari pedalaman Eropa ke pesisir Indonesia, perempuan telah mematri posisi mereka sebagai penjaga keberlangsungan hidup. Saya jadi berandai-andai bahwa, Nek Awe adalah perwujudan Joan of Arc tanpa zirah, Lady Mary Wroth tanpa pena, Hildegard von Bingen tanpa kitab. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Ifan Reynaldi Yz.
Ifan Reynaldi Yz. Saat ini tengah menimba bidang ilmu Sastra Inggris di kota yang tidak ia sukai sama sekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email