Dilema dalam Mencintai Tuhan Konsepsi

Ni Made Cantya Fuza Adelamajid

3 min read

Beberapa waktu lalu saya menghadiri sebuah seminar yang bertemakan filsafat cinta. Di dalamnya dibahas mengenai definisi cinta dari sudut pandang para filsuf, lengkap dengan unsur-unsur cinta dan level-levelnya, mulai dari cinta yang bersifat erotik hingga agape. Semakin saya menggali, saya memahami bahwa sejatinya cinta antar manusia itu rasional, bersifat duniawi, dan beralasan. Lalu apakah unconditional love itu nyata adanya? Dan apakah hanya dapat terjalin antara manusia dengan sesuatu yang metafisik, karena dengan begitulah manusia tidak perlu mempertimbangkan segala sesuatunya menggunakan panca indra dan rasionalitas. Sebagaimana sufi Rabiah Al Adawiyah yang ingin membakar surga dan memadamkan neraka, karena cintanya terlampau suci untuk sekedar menagih janji. Atau Ibrahim yang rela menyembelih putranya untuk mengikuti bisikan ilahi. 

Membuat saya merefleksikan kembali mengenai cinta ilahiah di masa kini. Cinta manusia kepada Tuhan, yang terkadang rasa cintanya justru menjadi justifikasi untuk menyakiti dan merendahkan manusia lain yang tidak sejalan. Apakah manusia tersebut sedang mencintai Tuhan sebagai entitas atau konsepsi? Apakah mencintai Tuhan sebagai entitas murni itu nyata adanya? Bukankah untuk dapat mencintai sesuatu, kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai apa yang sedang kita cintai? Tapi apakah manusia pada hakikatnya dapat mencintai sesuatu yang tidak diketahui eksistensinya? Dari mana perasaan cinta itu berasal? 

Terdapat beberapa alasan yang biasa saya temukan, salah satunya adalah pengalaman spiritual. Di kalangan umat muslim misalnya, bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dianggap sebagai sebuah pengalaman spiritual yang istimewa, yang dapat meningkatkan keimanan muslim terhadap Muhammad sebagai utusan Allah SWT. Adapun beberapa kesaksian orang Kristen yang merasakan penjamahan Yesus terhadap hatinya, sehingga meningkatkan keimanannya terhadap Yesus sebagai juru selamat. Atau pun orang yang merasa semakin dekat dan terkoneksi dengan Sang Hyang Widhi ketika bermeditasi dengan cara peribadatan Hindu. 

Jika Tuhan itu esa dengan konsepsi yang mutlak adanya, mengapa pengalaman spiritual setiap orang dapat berbeda-beda? Yang kemudian menghasilkan pandangan yang berbeda-beda pula terhadap Tuhan itu sendiri. Dari mana umat Kristiani dapat yakin bahwa yang menjamah hatinya adalah Yesus? Darimana umat Muslim dapat yakin bahwa yang mendengar doanya adalah Allah SWT? Dan dari mana umat Hindu yakin bahwa yang sedang terkoneksi dengan dirinya adalah Sang Hyang Widhi? Pengalaman spiritual setiap orang adalah valid karena kita tidak pernah melihat wujud Tuhan secara riil. Namun jika demikian, tidakkah sebetulnya yang sedang kita cintai adalah pengalaman itu sendiri, pengalaman-pengalaman subjektif yang kita kaitkan dengan konsepsi Tuhan yang didapat dari kitab suci?

Namun terdapat pula alasan lainya yang mendasari rasa cinta terhadap Tuhan, beberapa orang beralasan mengenal Tuhan melalui kitab suci yang dibaca, di dalamnya termaktub karakter-karakter Tuhan yang tampak menjadi entitas baik dan layak untuk dicintai. Yang atas kebaikan tersebut, Tuhan menurunkan firman-firman yang menunjukan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Tampak menjadi sebuah alasan yang ajeg namun mengingatkan saya akan Euthyphro Dilemma, dialog antara Socrates dengan Euthyphro yang mempertanyakan, “what makes the good thing good?” atau apa yang membuat hal baik dianggap baik? Jawaban Euthyphro adalah “good is what is dear to the god” (Kebaikan adalah apa yang mengarah kepada Tuhan). Socrates bertanya kembali “is what is morally good commanded by God because it is morally good, or is it morally good because it is commanded by God?” (Apakah Tuhan memerintahkan kebaikan karena hal tersebut memang “baik” atau kebaikan tersebut menjadi “baik” karena diperintahkan oleh Tuhan?).

Pertanyaan tersebut memaksa kita untuk merenung lebih dalam tentang sifat cinta dan moralitas. Apakah cinta kita kepada Tuhan murni karena Tuhan adalah sumber segala kebaikan, ataukah kita mencintai Tuhan karena Tuhan sejalan dengan apa yang kita pahami sebagai kebaikan? Apabila dalam ayat-ayat kitab yang saat ini kita baca tidak memuat nilai-nilai yang sejalan dengan moralitas yang kita pahami, misalnya, menginstruksikan untuk membunuh manusia tanpa alasan yang jelas, apakah rasa cinta itu akan terus ada? Atau dikatakan bahwa manusia akan masuk neraka terlepas dari amal baiknya, apakah sikap tunduk itu akan tetap ada? Cinta ilahiah tampak berdiri di persimpangan jalan antara penyerahan total pada kehendak Tuhan dan pencarian akan kebenaran yang universal dan abadi. Bagaimana pun juga, perjalanan spiritual tak hanya sekadar tentang mencintai yang Maha Kuasa, tetapi juga mencari jawaban atas pertanyaan mendasar tentang hakikat cinta dan kebaikan itu sendiri.

Pertanyaan tersebut sekaligus mempertanyakan realitas dan relevansi beragama pada era saat ini. Agama seakan menjadi baju yang dipakai untuk menegaskan posisinya dalam kalangan masyarakat. Setiap agama akan mengklaim bahwa agamanyalah yang terbaik karena konsepsi Tuhan yang ditawarkan adalah yang paling benar, baik itu dengan dalih historis maupun sains. Padahal pada realitanya, tidak ada satupun kitab agama yang memiliki bukti historis yang konret dan komprehensif, banyak ayat dalam kitab berisikan campuran dari akulturasi budaya pada masa itu, bahkan beberapa di antaranya merunut kejadian-kejadian tanpa kesaksian. Secara sains pun wujud absolut Tuhan tidak dapat dibuktikan. Semuanya menjadi benar bergantung pada iman penganutnya.

Jadi, apakah ada agama atau konsep Tuhan yang paling benar secara kolektif? Apakah benar yang sedang kita cintai saat ini merupakan Tuhan sebagai entitas yang absolut? Atau Tuhan dalam konstruksi iman?

Pertanyaan tentang kebenaran Tuhan dan agama yang kita cintai mungkin akan menjadi misteri yang tidak mudah terjawab. Setiap agama dan keyakinan membawa pengalaman spiritual yang berbeda, dan masing-masing penganut menemukan Tuhan dalam caranya sendiri.

Pada akhirnya, hubungan manusia dengan Tuhan lebih merupakan sebuah perjalanan personal—sebuah dialog antara hati dan keyakinan, yang tidak selalu membutuhkan pembuktian definitif. Sesungguhnya Tuhan memanglah mahabenar, tetapi manusia tidak memiliki kapasitas untuk menjustifikasi kebenaran Tuhan berdasarkan pemahaman sendiri. Biarlah eksistensi Tuhan menjadi misteri ilahi yang tak perlu selalu terungkap sepenuhnya, karena di situlah keindahan iman: sebuah keyakinan yang dijalani dengan ketulusan hati, terlepas dari apakah kita mampu benar-benar memahaminya.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ni Made Cantya Fuza Adelamajid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email