Lebih sering menulis untuk bertanya daripada menjawab.

Politik Kata di Ruang Digital

Salman Alade

3 min read

Ada satu ironi yang terus menghantui penutur bahasa Indonesia: kita memakai bahasa ini sejak bangun tidur hingga kembali memejamkan mata, tetapi begitu sedikit yang sungguh-sungguh memahami cara kerjanya. Kita menyebutnya bahasa ibu, tetapi kita memperlakukannya seperti anak tiri. Terlalu mudah disepelekan, namun terlalu sulit dipelajari dengan benar. Di tengah ironi ini, muncul sebuah buku yang tidak hanya mengajak pembacanya merenungkan bahasa, tetapi juga bercermin pada dirinya sendiri: Gratis Ongkir (Kelindan dan Sengkarut Bahasa) karya Darmawati Majid, diterbitkan pada tahun 2025.

Membaca buku ini seperti memasuki sebuah ruang pameran yang penuh kaca pembesar. Setiap esai Darmawati adalah lensa yang membongkar kebiasaan linguistik kita—yang kerap tidak kita sadari, tidak kita pedulikan, atau sengaja kita abaikan. Ia menunjukkan bahwa fenomena bahasa tidak lahir di ruang steril, tetapi di ruang publik yang berisik: di papan reklame, unggahan media sosial, notifikasi marketplace, dialog sinetron, spanduk pinggir jalan, hingga di dalam ruang-ruang gim. Bahasa ada di mana-mana; yang tidak selalu ada adalah kesadaran untuk memahaminya.

Baca juga:

Fenomena kata “anggota” yang meledak hanya karena satu adegan dalam Gadis Kretek menjadi contoh bagaimana masyarakat Indonesia dapat memperpanjang usia percakapan dari hal yang tampak sederhana. Kata yang seyogianya memberi rasa aman justru menjadi titik kegelisahan kolektif. Darmawati seakan berkata: “Beginilah hidup bahasa, ia terus hidup karena dipakai, diributkan, ditafsirkan ulang.” Dan keributan itu sendiri adalah data sosial yang berharga.

Namun pengamatan Darmawati bukan hanya tajam, melainkan juga personal. Ia menuliskan sesuatu yang mungkin dirasakan oleh banyak pembelajar bahasa, tetapi jarang diucapkan: semakin kita mendalami bahasa, semakin besar beban kehati-hatiannya. Kita tak lagi bisa menonton televisi dengan santai karena mengalami gangguan kecil setiap kali mendengar struktur kalimat yang keliru. Kita merasa ingin mengoreksi spanduk di pinggir jalan. Kita membaca menu restoran sambil mengelus dada. Ini adalah bentuk cinta yang aneh, cinta yang memaksa kita untuk terus waspada.

Daya pukau buku ini justru terletak pada bagaimana Darmawati menjelaskan bahasa dengan kombinasi antara keluwesan sastra dan ketelitian akademik. Ia tidak sekadar mengutip KBBI, tetapi menelusuri akar leksikal melalui kamus-kamus seperti Merriam–Webster, sehingga setiap kata dibedah hingga inti. Ini menjadikan buku ini tidak hanya mudah dinikmati pembaca awam, tetapi juga menyenangkan bagi pembaca yang mencintai linguistik.

Yang membuat buku ini semakin unik adalah latar belakang Darmawati sendiri. Selain sebagai peneliti bahasa yang rajin menelisik fenomena linguistik, ia juga seorang cerpenis yang aktif berkarya. Maka tidak mengherankan apabila banyak esai dalam buku ini memiliki napas penceritaan yang kuat—sebuah gaya yang membuat pembaca merasa sedang menikmati cerita pendek yang kebetulan berbicara tentang bahasa. Tidak berlebihan saat Prof. Gufran A. Ibrahim mengatakan bahwa membaca Gratis Ongkir terasa seperti membaca “cerpen tentang bahasa”. Dalam hal ini, Darmawati berhasil menghadirkan genre hibrida: esai yang informatif sekaligus naratif, ilmiah sekaligus intim.

Salah satu esai paling mengesankan adalah “Gratis Ongkir”, sebuah potret terang tentang bagaimana bahasa bekerja dalam dunia niaga. Di tangan Darmawati, istilah-istilah pemasaran yang tampak sepele berubah menjadi studi kasus yang menggugah: bagaimana bahasa dapat mengelabui persepsi, membentuk ilusi keuntungan, sekaligus memanipulasi daya beli masyarakat. Kata-kata seperti “gratis”, “hemat”, “dapat lebih banyak”, atau “promo terbatas” disulap menjadi perangkat retorika yang membujuk, memancing, bahkan menipu dengan cara yang halus. Bahasa dalam pasar bukan lagi alat komunikasi, tetapi alat strategi. Ia membujuk secara elegan, menggiring secara tak kasat mata, dan membuat pembeli percaya pada sesuatu yang mungkin tidak pernah benar-benar ada.

Kecermatan Darmawati membaca bahasa pemasaran ini penting karena dunia digital telah mengubah cara kita berhubungan dengan kata-kata. Marketplace tidak lagi sekadar tempat bertransaksi, tetapi juga arena manipulasi linguistik. Gratis Ongkir menunjukkan bahwa dalam ruang-ruang niaga modern, bahasa telah berkembang menjadi alat psikologis yang memengaruhi keputusan secara bawah sadar. Darmawati mengupas ilusi-ilusi promosi dengan cara yang kritis namun tetap lucu, menjadikan esai ini salah satu bagian yang paling memikat dalam buku.

Baca juga:

Fenomena bahasa di era digital semakin memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia sedang mengalami percepatan perubahan makna. Serangan kata-kata asing tidak hanya mengganti kosakata lama, tetapi juga menciptakan ketergantungan baru. Dari sinilah Darmawati menegaskan pentingnya pemerkayaan kosakata dan usaha serius dalam pemadanan istilah. Jika tidak, bahasa Indonesia perlahan akan kehilangan jati diri dan kehilangan pemakainya.

Darmawati menunjukkan bahwa kerja kebahasaan bukan hanya perihal memperbaiki kata, tetapi menjaga ekosistem makna. Ia memperlihatkan bahwa banyak istilah baru yang muncul bukan karena kebutuhan, melainkan karena keengganan penuturnya memanfaatkan kekayaan kosakata Indonesia yang sudah ada. Dalam konteks ini, Darmawati seakan mengingatkan: bahasa yang tidak dirawat tidak hanya akan rusak, tetapi bisa perlahan mati tanpa disadari.

Namun buku ini tidak berhenti pada bahasa. Darma juga menyoroti para penuturnya. Dalam esai “Tersandung”, ia mengangkat eufemisme bukan hanya sebagai gejala linguistik, tetapi sebagai gejala moral. Kata “tersandung” dapat menghaluskan skandal, menyamarkan penyelewengan, dan melunakkan bobot kesalahan publik. Eufemisme adalah pelembut kata, sekaligus pelembut luka sosial. Ia menutup kebenaran dengan wangi-wangian linguistik, membuat publik menerima sesuatu yang seharusnya ditolak.

Di titik ini, kritik Darmawati begitu terasa. Ia menyadari bahwa bahasa tidak hanya dipakai untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk melindungi martabat, mengamankan kepentingan, dan kadang menipu masyarakat. Melalui pembacaan yang jeli, ia memperlihatkan bahwa eufemisme dapat memulas wajah kekuasaan. Kata bisa menjadi topeng yang memutihkan kesalahan. Dan ketika penuturnya terbiasa dimanipulasi bahasa lembut, batas moral pun ikut mengabur.

Daya puitik buku ini muncul dari cara penulis memerhatikan hal-hal kecil dan membuatnya berbicara besar. Ia menulis bahasa seperti seseorang yang mengamati jalan raya makna: melihat kata-kata yang berjalan rapi, frasa yang menyalip tanpa aba-aba, hingga kalimat yang tiba-tiba melanggar rambu. Di tengah arus itu, para “polisi bahasa” sering tampil layaknya polisi lalu lintas—sibuk meniup peluit, mengatur kesalahan, dan menertibkan pengendara bahasa yang tidak selalu patuh. Namun Darmawati memilih posisi berbeda: ia tidak berdiri di tengah simpang untuk menghukum, tetapi berdiri di trotoar, mengamati aliran kata dengan rasa ingin tahu dan empati.

Dalam setiap esainya, ada nada lirih seperti seseorang yang mencintai bahasa tetapi sekaligus cemas melihatnya terserempet, tersandung, atau disalahgunakan. Dan di saat yang sama, daya kritisnya tampak dalam keberaniannya menelusuri simpang-simpang kecil bahasa: menemukan bagaimana sebuah istilah bisa memutar arah persepsi, bagaimana eufemisme dapat bekerja seperti tikungan tajam yang menyamarkan bahaya, serta bagaimana kata yang tampak sederhana membawa konsekuensi sosial yang luas.

Pada akhirnya, Gratis Ongkir bukan hanya buku tentang bahasa Indonesia—ia adalah buku tentang kewarasan. Tentang bagaimana kata-kata dapat menyelamatkan atau menipu, membangun kejelasan atau menciptakan kabut. Darmawati Majid mengajak kita kembali merawat bahasa sebagaimana kita merawat nilai-nilai hidup: dengan kehati-hatian, ketelitian, dan cinta. Sebab bahasa, sebagaimana manusia, dapat tumbuh baik hanya jika tidak dibiarkan sendirian. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Salman Alade
Salman Alade Lebih sering menulis untuk bertanya daripada menjawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email