Empirical? Nah, vibes only.

Pidato yang Kenyang Sendiri

Adrian Janitra Putra

3 min read

Suasana ruang sidang itu penuh dengan simbol. Karpet merah, deretan jas dan kebaya, wajah-wajah elite politik yang duduk dalam satu ruangan. Ada tepuk tangan yang datang pada momen-momen tertentu, ada senyum yang ditahan kamera, ada kata “merdeka” yang diulang-ulang sampai terasa seperti mantra. Presiden kedelapan Republik Indonesia, Prabowo Subianto, berdiri di podium. Suaranya berat, kadang terputus oleh jeda, kadang meninggi dengan nada marah, lalu turun lagi dengan lirih seakan memberi wejangan.

Itulah wajah pidato kenegaraan tahun ini: bukan hanya laporan kerja, tetapi sebuah pertunjukan. Panggung di mana angka-angka berubah menjadi medali, jargon berubah jadi senjata, dan publik diingatkan bahwa negara ini masih punya pemimpin yang katanya berani melawan siapa pun yang merampas hak rakyat.

Kenyang Angka, Lapar Fakta

Sejak awal, pidato itu terasa penuh “kenyang.” Presiden menumpahkan angka demi angka dengan percaya diri. Dua puluh juta anak dan ibu disebut sudah menikmati Makan Bergizi Gratis hanya dalam hitungan bulan. Cadangan beras nasional diklaim mencapai rekor tertinggi sejak Orde Baru. Puluhan ribu koperasi desa diumumkan telah berdiri. Pertumbuhan ekonomi disebut stabil, investasi meningkat, dan pengangguran menyentuh titik terendah sejak krisis ’98.

Baca juga:

Di telinga awam, ini adalah kabar yang menyejukkan: sebuah narasi bahwa dalam waktu singkat, negara ini bergerak jauh meninggalkan masalah-masalah lamanya. Tetapi angka-angka itu, jika ditarik keluar dari podium dan ditempatkan dalam konteks, segera menunjukkan keretakan.

Program makan gratis, misalnya, memang sudah berjalan. Tapi data resmi terakhir sebelum pidato hanya mencatat 15 juta penerima, bukan 20 juta. Target akhir tahun masih jauh di depan, dan tantangan utama bukan soal angka, melainkan soal rantai distribusi dan pengawasan di lapangan. Pangan murah bukan hanya soal makanan yang sampai ke meja anak sekolah, tapi soal bagaimana dana raksasa—ratusan triliun—dikelola agar tidak bocor di jalan.

Cadangan beras nasional memang tinggi. Namun di balik klaim itu, Indonesia masih mengimpor beras di awal tahun. Sementara ekspor beras yang disebut dengan penuh kebanggaan sebenarnya hanya setetes air: simbolis, bukan strategis. Demagog bekerja dengan cara seperti ini: mengubah skala jadi rasa. Publik tidak diajak menghitung, cukup diajak merasa bahwa negara kembali berdaulat.

Begitu juga dengan koperasi. Delapan puluh ribu koperasi desa terdengar seperti pasukan yang siap menggerakkan ekonomi rakyat. Tapi kita pernah belajar dari sejarah koperasi massal yang banyak berhenti sebagai papan nama di kantor desa, rapat anggota yang tak pernah kuorum, dan catatan kas yang tak pernah diisi ulang. Di podium, semua koperasi itu tampak hidup dan bergairah. Di lapangan, belum tentu.

Musuh Bersama yang Tanpa Wajah

Salah satu strategi retoris yang paling kuat dalam pidato Prabowo adalah menciptakan musuh bersama. Kali ini, musuh itu diberi label “serakah nomik.” Sebuah istilah yang diulang-ulang untuk merujuk pada segelintir pihak yang menimbun pangan, memanipulasi harga, dan merampok hak rakyat kecil.

Publik diajak percaya bahwa pemerintah berhadapan langsung dengan monster yang tak kasat mata: oligarki pangan, pengusaha nakal, bahkan mungkin oknum aparat yang bermain di tambang dan sawit. “Yang besar dan kaya tidak boleh lagi bertindak semaunya,” katanya, disambut tepuk tangan. Retorika ini bekerja persis seperti manual populisme klasik: tunjuk musuh, beri label, bangkitkan amarah, lalu posisikan diri sebagai pembela rakyat.

Namun musuh itu tak pernah benar-benar diberi wajah. Tidak ada daftar nama perusahaan, tidak ada kasus hukum yang dibuka rinci, tidak ada data tentang siapa yang persisnya akan disita asetnya. Yang ada hanya janji: bahwa negara ini tidak gentar, bahwa tentara bisa dikerahkan untuk menertibkan, bahwa hukum ada di tangannya. Inilah politik angka yang berubah jadi politik imajinasi. Publik mengisi sendiri tokoh-tokoh di balik istilah “serakah nomik,” dan presiden tinggal berdiri di atas amarah itu.

Rakyat dalam Narasi, Bukan dalam Kebijakan

Di bagian lain, Prabowo menegaskan dirinya sebagai pemimpin yang berpihak pada wong cilik. Ia bicara tentang petani yang kembali tersenyum karena harga gabah stabil, nelayan yang bangga, guru yang dihargai, dan anak miskin yang tidak lagi harus mewarisi kemiskinan orang tuanya. Bahkan, ia menggunakan bahasa Jawa: yen wong cilik iso gemuyu—kalau orang kecil bisa tertawa—itulah tujuan kemerdekaan.

Kalimat seperti ini bukan sekadar slogan. Ia adalah inti dari politik populis: membangun ikatan emosional dengan rakyat lewat bahasa sehari-hari, lewat gambaran hidup yang sederhana, lewat janji yang terasa dekat. Tetapi kita tahu, jarak antara janji dan kebijakan seringkali panjang. Harga gabah mungkin stabil untuk sementara, tapi sistem pangan kita masih rapuh. Sekolah unggul bisa dibangun di atas kertas, tapi pemerataan kualitas guru jauh lebih sulit.

Baca juga:

Rakyat hadir sebagai narasi yang menggerakkan, bukan sebagai subjek kebijakan yang dirinci dengan segala kerumitannya.

Nasionalisme di Persimpangan Pasar Bebas

Pidato itu juga melompat ke panggung dunia. Prabowo dengan bangga mengumumkan Indonesia kini duduk di meja BRICS, seakan menandai babak baru kedaulatan geopolitik. Ia juga mengklaim perundingan dagang dengan Uni Eropa selesai, membuka akses pasar tanpa tarif.

Kedua klaim ini penting, tapi juga kontradiktif. BRICS sering dipahami sebagai aliansi alternatif terhadap dominasi Barat, sementara CEPA adalah pintu masuk ke liberalisasi dagang Eropa. Nasionalisme ekonomi ala Pasal 33 bersanding mesra dengan pasar bebas global.

Pertanyaan mendasar yang tak dijawab adalah: bagaimana memastikan bahwa petani kecil dan UMKM tidak jadi korban dari kesepakatan semacam itu? Bagaimana menyeimbangkan retorika berdikari dengan kenyataan integrasi ekonomi global? Di podium, kontradiksi ini tak terasa. Di lapangan, ia bisa menjadi batu sandungan.

Retorika yang Mengenyangkan, Realita yang Menguji

Seperti pidato-pidato populis di banyak negara, Prabowo memilih untuk mengisi panggung dengan kepastian, bukan keraguan. Ia menyingkirkan detail yang bisa melemahkan semangat, mengganti kerumitan dengan narasi sederhana: rakyat sedang ditolong, negara sedang kuat, musuh sedang dilawan.

Tetapi politik bukan hanya soal cerita. Politik adalah tentang mekanisme. Tentang bagaimana uang ratusan triliun untuk program gizi didistribusikan tanpa bocor. Tentang bagaimana koperasi bisa hidup lebih lama dari masa jabatan presiden. Tentang bagaimana sawit dan tambang yang katanya disita benar-benar berubah status di pengadilan, bukan sekadar di podium.

Tanpa itu, semua capaian hanyalah pertunjukan. Dan seperti semua pertunjukan, ia bisa membuat penonton bertepuk tangan, tapi tidak memberi mereka makan.

Optimisme Tanpa Celah

Mungkin memang itulah sifat pidato kenegaraan: ia dirancang untuk memberi optimisme, bukan untuk mengakui masalah. Tapi optimisme yang terlalu penuh, tanpa ruang bagi keraguan, justru bisa membuat kita kenyang oleh retorika.

Pidato Prabowo terasa seperti meja makan yang penuh hidangan: angka besar, jargon nasionalisme, musuh bersama, dan janji kesejahteraan. Semua tersedia, semua terasa meyakinkan. Tetapi seperti hidangan yang terlalu banyak, kita bisa keluar dari ruang sidang itu dengan perut kembung, tanpa benar-benar merasakan gizi.

Dan di situlah ujian sesungguhnya: apakah negara ini akan benar-benar memberi makan rakyatnya, atau hanya terus memberi makan dirinya sendiri dengan angka-angka yang mengenyangkan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Adrian Janitra Putra
Adrian Janitra Putra Empirical? Nah, vibes only.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email